x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Toleransi dari Bapak

Nasihat Bapak kepada saya, “Dadi wong aja bener jare dewek bae, tapi kudu selamet” (Hidup itu bukan sekadar mempertahankan kebenaran sendiri...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya meyakini, bahwa kedua orang tua adalah kunci utama dalam membimbing anak-anaknya untuk menjadi apa saja yang mereka inginkan. Lingkungan merupakan faktor sekunder dalam hal pembentukan karakter seseorang, karena orang tua dalam lingkungan keluarga selalu menjadi ujung tombak dalam membentuk karakteristik anak-anaknya. Saya sangat merasakan hal itu, karena sedari kecil, Bapak selalu mengajarkan banyak hal, walaupun waktu itu bagi saya, Bapak terlampau ketat dan tegas yang terkadang bisa sulit menerimanya. Bapak, misalnya, selalu melarang saya dan anak-anaknya yang lain untuk pulang ke rumah melewati waktu magrib, dengan alasan kadang tak masuk akal, entah itu “kesambet” atau para “sandekala” waktu itu bergentayangan.

Namun, bukan itu sebenarnya, karena waktu magrib adalah waktu berkumpul keluarga dan disitulah peran Bapak lebih menonjol dibanding rentetan waktu sebelumnya. Bapak-lah yang gigih mengajarkan anak-anaknya mengaji setiap habis magrib dengan cara dan gayanya yang khas, “memaksa” agar semua anaknya bisa membaca Al-Quran. Jika ada saja yang belum bisa, Bapak tak segan-segan untuk memaksa agar mengulangi bacaan-bacaan Al-Quran hingga puluhan bahkan ratusan kali, sebuah paksaan yang waktu itu kadang sulit sekali diterima. Masih lekat dalam ingatan saya, ketika saya sulit mengeja kalimat “wasjud waqtarib” (QS Al-‘Alaq: 19), lalu Bapak memaksa saya untuk mengulangi kalimat itu hingga ratusan kali, ya cuma kalimat itu saja!

Saya dan keluarga dibesarkan dalam kultur NU, walaupun Bapak tampaknya bukan tipikal sosok yang taken for granted terhadap apa saja yang terkait dengan kultur, karena setiap apa yang tidak baik dan bertentangan selalu saja dikritisi. Jika dulu “kultur politik” NU pada medio 1980-an lekat dengan parpol berlambang Ka’bah, Bapak justru tidak at home didalamnya dan lebih memilih keluar dan bergabung dengan parpol lain yang cenderung didukung pemerintah. Bapak bukanlah aktivis politik yang “buta” menerabas apa saja yang penting bisa mencapai puncak kekuasaan, tetapi tidak juga “apolitis” yang masa bodo terhadap kondisi kepolitikan Tanah Air waktu itu. Saya baru memahami belakangan, kenapa Bapak justru tidak nyaman dengan “kultur politik” NU, karena Bapak justru ingin lebih “luwes” dalam hal menjalankan politik praktis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tanpa disadari, cara Bapak mengajarkan anak-anaknya dalam hal “kultur” dan “politik” justru membentuk cara pandang yang tidak kaku, menerima apa saja selama itu bernilai kebaikan dan manfaat bagi umat. Sikap yang terlampau kaku terhadap kultur, justru akan menjadikan seseorang tampak sulit bertoleransi, karena hanya itulah satu-satunya “kultur” yang bagi dirinya justru menjadi sebuah kebenaran tak terbantahkan. Ini justru dibuktikan oleh Bapak, ketika tiba-tiba selepas saya dipesantrenkan dalam kultur NU, Bapak malah mendikte saya agar mencari pesantren lain yang lebih modern, asal jangan terafiliasi NU. Ini adalah cara Bapak mengajarkan pemahaman kepada saya, bagaimana seharusnya seseorang mampu beradaptasi dengan beragam lingkungan dan menyerap beragam kultur keagamaan, sehingga bisa membentuk karakter dengan cara pandang yang lebih luas dan tentu saja tidak saklek!  

Salah satu ungkapan Bapak yang masih terngiang hingga kini adalah soal jihad, ketika saya “dipaksa” keluar dari kultur ke-NU-an. “Kalau kamu mati disaat menuntut ilmu, Bapak senang, karena itu adalah jihad dan kematian kamu bukan hal yang sia-sia”! Sekian lama saya memahami, bahwa jihad yang dimaksud Bapak bukanlah “berperang” atau ikut-ikutan “membela” sesuatu hal yang justru lebih menguntungkan pihak lain yang akhinya diri sendiri yang akan merugi. Disinilah pelajaran pertama soal toleransi yang diajarkan Bapak kepada saya, agar bisa menerima kultur lain diluar NU, dan memberikan pemahaman bahwa jihad adalah menuntut ilmu, sehingga untuk mendapatkannya bisa diperoleh di lingkungan manapun, tak mesti keukeuh terikat dengan satu kultur.

Soal toleransi agama, Bapak sangat piawai di bidangnya. Sebagai sarjana lulusan Perbandingan Agama yang judul skripsinya waktu itu, “Menyoal Ketuhanan dalam Islam dan Kristen”, justru membawa Bapak sangat terbuka dengan berbagai macam ideologi. Beberapa kali Bapak melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh Nasrani, bertukar pikiran soal dogmatisme agama, sehingga menjalin hubungan harmonis dengan banyak tokoh agama, tak hanya sebatas dengan kaum Nasrani. Saya masih teringat, ketika Bapak bercerita ketika membangun Masjid Al-Imam di Kabupaten Majalengka, dukungan dari seluruh pemilik toko bangunan yang didominasi non-muslim mengalir deras, bahkan saking percayanya, mereka para penyuplai bahan bangunan akan mengirimkan bahan-bahan yang diperlukan untuk pembangunan rumah ibadah, tanpa harus ada pembayaran terlebih dahulu. Ini pelajaran toleransi yang kedua dari Bapak bagi saya.

Saat ini Bapak berusia senja, sudah 72 tahun, dan saya begitu sangat merindukan beliau. Merindukan gaya beliau yang khas dan terkadang tegas dalam mendidik anak-anaknya agar selalu berpikiran terbuka, toleransi dalam banyak hal dan tentu saja menjaga citra Islam yang moderat yang tidak “kagetan” dalam menghadapi realitas sosial-politik. Di usia yang senja, Bapak masih dipercaya sebagai Ketua MUI Kota Cirebon, hingga dua periode dan semoga ini adalah periode terakhir beliau menjabat. Bapak juga masih dipercaya untuk tetap memegang kendali kerukunan umat beragama yang tergabung dalam organisasi Forum Kerukunan antarumat Beragama (FKUB) yang juga dua periode. Salut sekali dengan semangat Bapak untuk terus berbakti bagi kemajuan umat, tanpa harus tunduk pada kultur tertentu atau dikte buta dari para penguasa.

Beberapa bulan yang lalu, saya bertemu Bapak dan dengan suasana kehangatan menceritakan banyak hal, soal kondisi sosial, politik maupun keagamaan. Bapak selalu tegas terhadap kenyataan intoleran yang terjadi di masyarakat, tak pernah setuju dengan cara apapun yang justru mengusung tema-tema kekerasan yang akan memecah belah umat. Bapak, misalnya menceritakan, ketika ada ormas Islam “garis keras” yang akan membuka cabang organisasinya di Kota Cirebon, dengan serta merta Bapak menolak. Alasannya, di Kota Udang ini sudah banyak ormas Islam serupa, sehingga tak lagi diperlukan ormas lain yang pada akhirnya bisa terjadi friksi diantara umat beragama. Pembawaan Bapak yang tenang, penuh wibawa dan mengajukan argumentasi yang tepat, sulit rasanya untuk dibantah, meskipun mereka senantiasa berada di “garis keras” ormas keagamaan.

Sehingga, tanpa disadari, saya sebenarnya telah diajarkan bagaimana caranya bertoleransi dalam banyak hal: toleransi berkultur, berpikiran dan berpendapat, agama, politik dan bahkan toleransi sesama umat dan benar-benar menjaga agar terhindar dari friksi yang merugikan. Bapak senantiasa mengajarkan kedamaian, bukan permusuhan, tetapi jika ada yang memusuhi, Bapak selalu menunjukkan jika dirinya berpijak pada “kebenaran”.

Nasihat Bapak kepada saya, “Dadi wong aja bener jare dewek bae, tapi kudu selamet” (Hidup itu bukan sekadar mempertahankan kebenaran sendiri, tetapi juga bagaimana kita ini selamat). Saya kemudian memahami, bahwa merasa benar saja tidak cukup, karena kebenaran yang dimaksud bagaimana bisa menyelamatkan diri kita dan juga orang lain di sekitar kita. “Benar dan Selamat” adalah dua prinsip hidup yang selalu diamanatkan Bapak kepada saya. Semoga Bapak tetap sehat, berbuat terus untuk umat, entah kenapa hari-hari ini saya sangat merindukan Bapak.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler