x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kita Memang Tidak Lagi Hidup di Zaman Kuda Gigit Besi

Aksi unjuk rasa awak angkutan konvensional terhadap keberadaan angkutan online justru semakin menambah rmasalah. Sebaiknya mereka introspeksi diri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tadi pagi, saat membuka beranda FB, saya membaca status yang ditulis Pepih Nugraha, mantan wartawan di sebuah harian nasional terkemuka yang di masa pensiunnya sekarang ini mengelola blog pribadi, sekilas saya senyam-senyum membacanya. Tetapi bila kemudian direnungkan, membikin kepala ini manggut-manggut.

Betapa tidak. Pepih menulis: “Tukang delman tidak pernah mempersoalkan kehadiran angkot, ia mengerti perubahan zaman.” #Peptalk.

Bisa jadi yang dipikirkan Pepih Nugraha, dan dituangkannya dalam status di linimasa fb-nya terkait gelombang unjuk rasa sopir dan pengelola moda transportasi, seperti sopir taksi, angkutan kota, dan pengemudi ojek yang menentang kehadiran layanan angkutan online, datang silih berganti mulai dari Jakarta, hingga ke berbagai daerah. Padahal kalau mereka mampu berpikir lebih jauh lagi, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang laiknya secepat kedipan mata, penolakan itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Bahkan jika semua pihak mampu bersikap bijak, tidak perlu mencari kambing hitam, suka atau tidak justru kelemahan ada pada diri masing-masing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Betapa tidak. Bagi generasi yang lahir pada awal 1960-an sampai 1970-an, tidak hanya di kota kecil saja, di kota kabupaten maupun di ibu kota provinsi, masih banyak terlihat moda transportasi berupa kereta yang ditarik oleh kuda dengan sebutan delman, andong, cidomo, dan sebagainya. Akan tetapi seiring perkembangan jaman, sekarang ini bisa jadi alat angkutan itu sudah terpinggirkan. Kalah oleh keberadaan angkot (angkutan kota), angdes (angkutan perdesaan), ojek, bus kota, bahkan di Jakarta ditambah pula dengan busway yang mulai menyisihkan keberadaan bus kota dan metromini.

Ketika itu para kusir, atawa sais, yaitu yang mengemudikan delman, sama sekali tidak berunjuk rasa sebagaimana dilakukan sopir taksi, sopir angkot, maupun tukang ojek pengkolan seperti sekarang ini. Sebagaimana kusir delman milik keluarga kami, ketika itu hanya terdengar mengeluh saat menyerahkan uang setoran kepada ibu saya. Bahkan tak lama kemudian, kuda milik keluarga kami tak pernah digunakan untuk menarik delman lagi. Karena delmannya sudah dijual, dan beberapa bulan kemudian sudah berganti menjadi sebuah mobil angkutan perdesaan.

Demikian juga halnya dengan para sopir taksi, pengemudi angkot, awak bus kota, maupun tukang ojek pangkalan, kalaupun tidak berubah haluan, mengikuti tren yang sedang berkembang, yaitu bergabung menjadi layanan transportasi online, paling tidak di dalam pelayanan pada calon penumpang perlulah ditingkatkan. Orang sono bilang harus memiliki daya saing yang tinggi secara positif. Ditambah lagi dengan daya kreatif dan inovatif yang mumpuni. Buatlah calon penumpang “jatuh hati” terhadap layanan yang diberikan moda transportasi yang dikelolanya. Jangan lagi terdengar membawa penumpang dengan gaya ugal-ugalan, atawa dibawa ngetem sampai kehilangan waktu. Apalagi masih juga terdengar cerita serem tentang masih adanya rudapaksa oleh sopir terhadap penumpangnya.

Bahkan dengan aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan mereka saja, ditambah dengan mogok masal, dan aksi menurunkan penumpang di tengah jalan, para calon penumpang pun jadi berpikir dua kali untuk menggunakan layanan angkutan yang bersikap telah merugikannya.

Oleh karena itu, paling tidak kita mesti ingat dengan ungkapan Sekarang bukan lagi zamannya kuda gigit besi, melainkan apabila tidak mau tergerus oleh perkembangan zaman, maka kita sendiri yang harus mampu beradaptasi. ***

Sumber foto: di sini

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler