x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Misteri Berlatar Abad 19

Misteri kematian selalu mengundang rasa ingin tahu, dan Matthew Pearl mengemasnya dalam fiksi yang membuat pembaca betah membaca hingga halaman terakhir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

The Last Bookaneer, The Technologists, dan The Professor’s Assassin menguatkan tempat Matthew Pearl atas pilihannya untuk bermain di arena thriller dengan latar belakang masa lampau, abad ke-19 khususnya. The Technologists (terbit pertama kali tahun 2012), misalnya, mengarungi dinamika yang berlangsung di masa-masa awal berdirinya Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Boston, AS, ketika Perang Saudara baru saja berlalu, tapi pertempuran di medan lain yang diwarnai intrik baru dimulai di kampus yang belum lama berdiri ini: antara masa lampau dan masa kini, antara tradisi dan teknologi.

Karya-karyanya memperlihatkan eksplorasinya yang jauh ke jantung kehidupan masa silam dan ia mengangkatnya ke halaman-halaman novelnya dengan piawai. Pearl memiliki bakat yang diperlukan sebagai penutur dongeng thriller, dan ini sudah terlihat sejak novel pertamanya yang menyita perhatian peminat sastra, The Dante Club.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tiga karya pertama Pearl ‘melibatkan’ sastrawan mashur dan menjadikan mereka judul karyanya. Ia mengambil inspirasi dari kehidupan dan karya Dante Alighieri, Edgar Allan Poe, dan Charles Dickens, lalu mengemasnya dalam cerita yang meramu suspense, misteri, dan sastra. Profesinya sebagai pengajar memberi keunggulan dalam kemampuannya menggali kasanah sastra dan menawarkannya kepada pembaca dengan cara yang membuat kita betah membaca hingga halaman terakhir.

Pearl memilih suasana Boston, AS, abad ke-19 sebagai latar belakang pengisahan The Dante Club. Serangkaian pembunuhan yang terilhami oleh adegan-adegan dalam Inferno, karya Dante Alighieri, penyair kelahiran Firenze, Itali, 1265, mengguncang kota ini. Hanya sejumlah scholar yang menekuni Dante yang diandalkan oleh polisi untuk memecahkan misteri pembunuhan ini. Mereka anggota The Dante Club, yakni penyair Henry W. Longfellow, fisikawan Oliver W. Holmes, penyair James R. Lowell, dan penerbit J.T. Fields—figur-figur yang memang pernah hidup di Boston pada masa itu.

Karya debutan ini banyak dipuji karena Pearl begitu piawai meracik kisah pembunuhan ini dalam bingkai karya Dante yang kontroversial sekaligus inspirasional. Anggota The Dante Club, yang di antaranya pengajar Universitas Harvard, punya target ambisius: menerjemahkan karya Dante ke dalam Bahasa Inggris. Beragam rintangan datang, khususnya dari birokrat Universitas Harvard yang tak menginginkan karya Dante diperkenalkan kepada masyarakat Amerika.

Serangkaian pembunuhan itu kian menyibukkan pekerjaan anggota Dante Club. Semakin banyak jiwa terancam, semakin tidak mudah tugas anggota Dante Club. Serangan-serangan atas upaya penerjemahan juga kian gencar serta merepotkan karena orang-orang dekat anggota klub menjadi incaran.

Dalam The Poe Shadow, Pearl juga mengambil latar sejarah abad ke-19—pilihan ini memperlihatkan minat Pearl terhadap sejarah dan karya-karya literer klasik. Seperti bisa ditebak dari judulnya, novel ini ‘melibatkan’ Edgar Allan Poe. Latar peristiwanya di Baltimore pada pertengahan abad ke-19 saat Poe meninggal. Seorang pengacara muda berambisi membongkar kasus ini dan melakukan apa saja yang membuatnya harus membayar mahal secara profesional, material, dan mungkin dengan hidupnya.

Kematian Edgar Allan Poe memang masih teka-teki. Suatu ketika, Poe menempuh perjalanan dari Richmond ke Philadelphia untuk menghimpun dana bagi sebuah majalah baru. Poe meninggalkan Richmond pada pagi hari 27 September 1849. Kenneth Silverman, penulis biografinya, menulis: “Tidak ada bukti yang dapat diandalkan tentang apa yang menimpa Poe antara tanggal tersebut hingga 3 Oktober, sepekan kemudian, ketika seorang pelukis bernama Joseph Walker melihatnya di Gunner’s Hall, mengenakan pakaian aneh dan seperti kurang sadar.” Poe meninggal pada 7 Oktober dan dikubur dengan delapan orang menghadiri pemakamannya.

Tentu saja, ini bukan sebuah biografi, melainkan novel. Alamiah belaka bila di dalamnya termuat kekaburan antara yang fiksi dan yang bukan fiksi: karakter Edgar Allan Poe adalah nyata, begitu pula kematiannya, tetapi bagaimana ia mati dan mengapa masih menjadi teka-teki—dan inilah yang ‘dimainkan’ oleh Matthew Pearl. Pearl bahkan menulis karya ini dengan mengandalkan riset di delapan negara bagian, sehingga mengundang tanya apakah ia kurang percaya pada kekuatan imajinasi hingga memasukkan lebih banyak fakta?

Pearl juga mengangkat misteri lain yang tak kalah menarik, kematian Charles Dickens—penulis Inggris yang hidup juga di abad ke-19, kisahnya yang terkenal antara lain A Tale of Two Cities dan Oliver Twist (yang sudah difilmkan). Di tengah kondisi kesehatannya yang kian memburuk, pada tahun 1869 ia mulai menulis The Mystery of Edwin Drood. Lantas terdengar kabar bahwa Dickens meninggal di Gad’s Hill Palace, rumah impiannya. The Mystery of Edwin Drood merupakan karya terakhir Dickens yang tak usai ditulis walau sempat diterbitkan secara serial di sebuah majalah.

Pearl, lagi-lagi, mengambil latar belakang Boston tahun 1870. Ketika kabar kematian Charles Dickens sampai ke kantor penerbit Amerika, Fields & Osgood, James Osgoods mengirim pegawainya Daniel Sand untuk menunggu kedatangan naskah novel Dickens yang belum selesai itu. Namun Daniel ditemukan tewas dan naskah Dickens tak diketahui raib kemana.

Osgood bekerja keras untuk mendapatkan kembali naskah itu guna menyelamatkan bisnisnya dan menyingkapkan siapa pembunuh Daniel. Osgood mengajak Rebecca Sand, kakak perempuan Daniel, untuk bekerjasama mengungkap kematian Daniel. Mereka segera menyadari bahwa peristiwa raibnya naskah Dickens terakhir dan kematian Daniel bukanlah soal biasa. Taruhannya hidup dan mati. Tapi, menemukan naskah Dickens itu dan memahami ‘akhir cerita’ The Mystery of Edwin Drood diyakini akan membuka rahasia siapa orang di balik pembunuhan itu dan apa motifnya. (Foto: pembangunan kampus MIT pada pertengahan abad 19/MIT Archives) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu