x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

NU dan Soal Pelarangan Ceramah Ustadz Bahtiar Nasir

Saya yang merasa hidup dan besar dalam kultur NU, justru sangat menyayangkan sikap “NU struktural” yang tampak tidak bisa akomodatif dan bijak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini viral di media sosial yang mengunggah surat resmi dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon yang menolak kehadiran Ustadz Bahtiar Nasir (UBN) berceramah dalam menyambut MTQ Kota Cirebon, Kamis mendatang. Padahal, sejauh ini UBN adalah sosok penceramah yang dipandang moderat, bukan yang selalu mempertentangkan praktik keagamaan Islam dengan budaya atau cenderung fundamentalis dengan mempertajam segala hal menyangkut perbedaan di tengah umat. UBN, dikenal sebagai sosok bersahaja, walaupun dirinya seringkali dikaitkan dengan kelompok GNPF yang menginisiasi aksi-aksi umat Islam sepanjang akhir tahun 2016 di Jakarta. Lalu, apa sesungguhnya yang dipersoalkan NU Cirebon sehingga menganggap UBN sebagai sosok penceramah yang tidak menyejukkan sebagaimana ditulis dalam surat keberatannya?

Sejauh yang saya tahu, NU merupakan ormas Islam yang paling moderat, bahkan sangat mudah beradaptasi dengan banyak hal, termasuk dengan budaya yang bertentangan sekalipun. NU bahkan sejak dahulu dikenal sebagai ormas Islam yang “luwes” bahkan jika harus berhadapan dengan kekuasaan politik sekalipun, dirinya mampu bersikap akomodatif. Bahkan, NU bisa berjalan beriringan dengan kelompok paling liberal sekalipun, kelompok paling ekstrem atau bahkan mereka yang cenderung fundamentalis sekalipun. Barangkali, ini adalah perwujudan “NU kultural” yang kemudian bisa saja bertolak belakang dengan kenyataan “NU struktural”. Kultur NU yang akomodatif, luwes dan adaptif, pada kenyataannya dapat “terkalahkan” secara struktural oleh para pemimpinnya yang justru “alergi” terhadap pelbagai perubahan.

Saya yang merasa hidup dan besar dalam kultur NU, justru sangat menyayangkan sikap “NU struktural” yang tampak tidak bisa akomodatif dan bijak terhadap kenyataan sosial-keagamaan. Ceramah agama atau bahasa tradisi NU “pengajian” adalah fenomena khas budaya Islam Nusantara yang semestinya telah lama tumbuh dalam kultur NU. Pengajian tentu saja bagi kalangan tradisionalis mempunyai keistimewaan dan daya tarik, karena selain mendatanginya bisa berpahala, terlebih memberikan penghormatan kepada penyampainya (ulama). Lagi pula, kultur NU dalam penghormatan kepada ulama tidak kemudian dibatasi oleh “sekat” keulamaan, selama seseorang itu dianggap banyak memberi manfaat kepada umat melalui pengajiannya, maka tak segan-segan, gelar ulama melekat kepadanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

UBN, sepanjang yang saya ketahui, adalah sosok ulama moderat yang banyak memberikan pencerahan kepada umat melalui berbagai ceramah keagamaannya. Walaupun kemudian banyak pihak yang mengkaitkannya dengan serangkaian aksi umat muslim yang memang dikomandoi oleh GNPF-MUI yang didalamnya, UBN menjadi ketuanya. Terkadang pengkaitan antara dirinya dengan GNPF-MUI seringkali dibaca berbagai kalangan secara simplistis: ia adalah representasi dari gerakan fundamentalisme atau radikalisme. Pembacaan terhadap sosok UBN dengan serentetan keterlibatannya dalam aksi-aksi umat muslim, justru juga dipandang secara sangat simplistik oleh kalangan “NU struktural”, khususnya di Kota Cirebon.  

Untuk kasus penolakan NU terhadap UBN, saya mencoba menelusuri hal ini, hingga akhirnya dengan penuh pertanyaan di kepala, saya menghubungi Ketua MUI Kota Cirebon, KH Solihin Uzer. Menurut beliau yang juga Ketua FKUB Kota Cirebon, NU mensinyalir bahwa UBN terkait dengan ormas HTI yang justru saat ini statusnya dilarang oleh pemerintah. Alasannya, lagi-lagi sederhana, UBN adalah Ketua GNPF, dekat dengan FUI dan mendukung HTI. Dengan anggapan bahwa HTI dilarang, lalu serta merta siapapun yang terlibat didalamnya, tak ada toleransi walaupun hanya sekadar memberikan ceramah keagamaan. Walaupun—menurut saya—ceramah keagamaan belum tentu terbukti sebagai bentuk penghasutan kepada umat untuk kemudian “melawan” atau mendiskreditkan pihak-pihak lain, dan tentu saja termasuk para penguasa.

Ketua MUI kemudian menambahkan, memang sangat disayangkan bahwa terdapat penolakan yang begitu ketat dari NU, bahkan hingga terselip kalimat “ancaman” dalam isi suratnya. Jika tetap diizinkan UBN hadir memberikan ceramahnya di Alun-Alun Keraton Kota Cirebon, maka dikhawatirkan akan ada gerakan massa yang membuat situasi daerah tidak kondusif. Sepertinya, NU sedang mengultimatum agar setiap pengajian atau ceramah agama yang tidak sejalan dengan “ideologi” mereka, maka secara tegas harus ditolak. Padahal, tokoh NU almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sepanjang hidupnya adalah sosok paling moderat dan mudah menerima semua kalangan dan golongan, tidak hanya terhadap golongan Islam yang begitu beragam, terhadap kalangan non-muslim sekalipun Gus Dur tetap bersikap akomodatif.

Friksi dalam tubuh umat muslim Indonesia sudah sangat akut, terpolarisasi kedalam segmentasi keumatan yang satu sama lain justru saling bertentangan. Anehnya, ormas NU yang digadang-gadang sebagai perwujudan moderatisme Islam di Indonesia, jusrtu mengalami distorsi luar biasa, merasa takut terhadap kekuatan fundamentalisme (jika memang ada) bukannya membuat pencerahan kepada masyarakat dengan cara-cara damai dan bermartabat. Tetapi, sekali lagi, moderatisme Islam hanya mewujud dalam “NU kultural” karena dalam banyak hal, “NU struktural” justru seringkali memperlihatkan kekakuannya dalam menghadapi realitas sosial-keagamaan.

Saya masih teringat, betapa perwujudan kultur NU yang sangat akomodatif berpegang pada nomenklatur ushul fiqh, “al-muhafadzatu ala qodimi as-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah” (Menjaga suatu tradisi yang dianggap baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Jika kemudian pengajian atau ceramah keagamaan dianggap sebagai tradisi yang baik, maka tak perlu melihat kepada sosok siapa yang menjalankannya, bahkan jika ini merupakan “tradisi baru” yang lebih baik, semestinya harus diambil sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara. NU di Kota Cirebon justru telah kehilangan ruh ke-NU-annya yang senantiasa berpegang secara kuat pada kaidah-kaidah ushuliyyah yang memang moderat. NU seharusnya menjadi ormas penjaga tradisi yang tak mudah “mempertentangkan” tetapi harus lebih akomodatif terhadap hal-hal baru. Jika NU saja sudah luntur sikap moderatismenya, lalu kepada siapa warga nahdliyyin seperti saya berharap?  

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler