x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penjajahan Kebahasaan

Belajar bahasa asing bukan berarti tidak nasionalis. Ini alasannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah sebulan ini saya belajar bahasa Belanda. Dan saat saya mengatakan itu pada teman-teman saya, mereka pikir saya kurang ‘kerjaan’ dan aneh. “Ngapain belajar bahasa penjajah sih?” atau “Memangnya kamu mau kuliah di Belanda?” atau “Mau jalan-jalan di Belanda ya?” atau “Mau menggaet cewek Belanda ya?” hanyalah beberapa sentilan yang diberikan begitu saya mengatakan sedang belajar bahasa kumpeni itu.

 

Hal ini sungguh berbeda saat saya memutuskan untuk studi bahasa asing dengan konsentrasi bahasa Inggris. Semua orang seolah paham mengapa saya belajar bahasa Inggris, yakni sebab bahasa asing tersebut sudah menjadi lingua franca atau bahasa pergaulan di seluruh belahan dunia. Dalam enam tahun setelah sekolah menengah atas, saya bahkan menerjunkan diri dalam pembelajaran sastra Inggris yang begitu menyenangkan. Saya katakan menyenangkan karena setelah saya berbincang-bincang mengenang masa-masa kuliah dengan sejumlah teman, saya tidak merasa masa itu adalah masa yang penuh cobaan. Saya menikmati setiap detiknya dan ingin kembali ke masa tersebut kapan saja jika ada kesempatan. Saat teman saya mengatakan dirinya kadang terbangun tengah malam karena masih terbayang-bayang sedang mempersiapkan diri begitu keras menjelang masa ujian saat masih menjadi mahasiswa dahulu, saya tidak merasakannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sejak kecil saya memang suka belajar kata dan bahasa serta semua yang berhubungan dengan itu. Tidak seperti anak-anak zaman sekarang yang sengaja dimasukkan oleh orang tua mereka ke dalam lingkungan yang intensif mengajarkan bahasa asing sejak dini, kecintaan saya pada bahasa asing tumbuh pertama kalinya sejak saya mendengar film berbahasa Inggris yang saya tonton sejak kecil. Bukan dalam ruang kelas atau karena diberikan pendidikan informal yang sarat dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Ada keinginan yang bersemayam dalam diri saya untuk mengetahui bagaimana orang dari bangsa dan negara lain bisa bercakap-cakap dalam bahasa yang sama sekali tidak dipahami oleh saya dan sebagian besar masyarakat tempat saya berada. Mampu berkomunikasi dalam bahasa asing seolah menjadikan seseorang sebagai alien tetapi alien yang mengagumkan, bukan mengerikan.

 

Karena itulah, saya ingin merasakan gairah belajar sesuatu yang baru, dan karena passion saya dalam bahasa, saya kemudian memutuskan belajar bahasa asing yang sekiranya membuat otak saya kembali semuda saat masih menjadi mahasiswa dulu. Dan selain bahasa Inggris, saya tidak memiliki ketertarikan khusus pada bahasa-bahasa asing Eropa. Kemudian secara naluriah, saya memilih bahasa Belanda.

 

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih bahasa Belanda sebagai bahasa asing yang perlu dikuasai. Pertama, saya terlahir di Indonesia, sebuah negara dan bangsa yang sejarahnya memiliki pertalian yang sangat erat dengan Belanda di masa lalu. Sejarah keduanya memang kelam tetapi dari sana ada banyak hal menarik yang bisa digali. Dengan belajar bahasa Belanda, saya akan bisa mempelajari lebih leluasa sumber-sumber asli literatur mengenai bangsa kita yang disusun oleh para ilmuwan dan sejarawan serta sosiolog Belanda yang dahulu begitu tekun mengabadikan detail-detail. Untuk menguatkan pendapat saya ini, saya masih teringat saat saya membaca sebuah buku soal suku-suku bangsa di tanah air, yang dalam daftar referensinya masih menyertakan sejumlah sosiolog kelahiran negeri kincir angin yang kebetulan menjalankan ekspedisi ke berbagai pelosok tanah air. Mereka ini dengan tekun mencatat kondisi alam dan masyarakat lokal saat itu. Entah apa motif dari ekspedisi mereka. Mungkin saja karena ingin memetakan daerah kekuasaan negara mereka (karena Hindia Belanda saat itu secara de jure masih dalam jajahan Belanda) atau demi tujuan ilmu pengetahuan yang mulia untuk memberikan informasi tentang dunia yang belum terjamah oleh manusia Barat kala itu di benua Eropa. Tetapi apalah arti tujuan itu, karena pada akhirnya semua dokumentasi itu akan menguntungkan kita sebagai pemilik aslinya.

 

Alasan lainnya ialah saya ingin membangkitkan nasionalisme saya. Mungkin agak terdengar kontraintuitif. Bagaimana bisa belajar bahasa bangsa lain, apalagi ini bangsa penjajah malah bisa menumbuhkan nasionalisme? Kalau mau menumbuhkan nasionalisme, belajar saja bahasa Indonesia! Mungkin demikian hardik Anda semua.

 

Sekilas memang begitu tetapi saya memiliki argumentasi tersendiri. Dengan belajar bahasa asing terutama bahasa Belanda, saya sebagai penutur bahasa Indonesia ini menjadi lebih memahami kondisi psikologis bangsa kita ini. Saat saya di awal pertemuan kursus bahasa Belanda, tutor saya mengklaim belajar bahasa Belanda itu mudah. Apa sebab? “Nederlands is makellijk (bahasa Belanda itu mudah). Karena bahasa Belanda banyak diserap dalam bahasa Indonesia sehingga banyak kata-katanya yang familiar di telinga kita dan maknanya juga mirip,” terang tutor saya itu. Kami pun mengamini. Untuk meyakinkan kami semua agar tidak gentar dalam proses belajar, ia memberikan banyak contoh kata serapan dari bahasa Belanda yang dipakai sampai sekarang dalam bahasa Indonesia. Contoh pun mengalir deras dari mulut kami, dari “verboden” (perboden), “kraag” (krah), “tas” (tas), “handoek” (handuk), “korsluit” (korslet), koelkast (kulkas), “pootlood” (potlot), “kantoor” (kantor), “politie” (polisi), dan masih banyak lagi.

 

Sayangnya panjangnya daftar itu tidak diimbangi dengan daftar kata serapan dari bahasa kita dalam bahasa Belanda. Tutor saya mengatakan ada beberapa kata serapan yang menurutnya dari bahasa Indonesia, yakni “pienter” yang bermakna pintar, cerdas.  Tidak cuma itu, ada juga kata “piekeren”, sebuah kata kerja yang diserap dari kata “pikir” dalam bahasa kita. Makna dalam bahasa Belanda juga sama, yakni “memikirkan sesuatu”. Tetapi daftar yang dibuat tutor saya berhenti di sana. Saya duga karena begitu sedikitnya kata serapan bahasa Indonesia dalam bahasa Belanda.

 

Bila kita mau berpikir lebih lanjut mengenai apa arti ketimpangan ini, terasa benar penjajahan masih begitu dalam merasuk ke relung-relung bahasa kita, batin saya. Pengaruh mereka pada kita bertahan begitu lama dan skalanya sangat masif. Sementara itu, kita hanya bisa sedikit saja mempengaruhi mereka. Tampak nyata mana yang superior dan inferior dalam aspek bahasa saja, belum dari beragam aspek lainnya. Ini baru kata-kata pinjaman dari bahasa Belanda, belum bahasa Inggris yang pengaruhnya lebih dahsyat terhadap bahasa Indonesia pasca kemerdekaan.

 

Karena itu saya bisa memahami jika seorang teman penerjemah saya merasa gundah saat menemukan media arus utama masih saja menggunakan kata-kata asing dan serapan saat sebenarnya sudah ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata “translasi” yang diserap mentah-mentah dari “translation”. Padahal dalam bahasa kita sudah ada kata “penerjemahan” yang maknanya juga sama persis. Lalu apa masalahnya di sini? Ketidaktahuan atau ketidakpedulian? Apakah menggunakan kata-kata dalam bahasa Indonesia dipandang kurang bergengsi? Sampai kapan kita bisa menghentikan sindrom inferiority complex ini? (Ah, saya juga terpaksa memakai istilah asing sekarang).

 

Saya kemudian berpikir bahwa negara dan bangsa sebesar Indonesia ini pengaruhnya masih begitu kecil di percaturan dunia. Kita cuma menang dalam aspek kuantitas. Soal kualitas dan pengaruh, sungguh kita masih belum ada apa-apanya. Kita terlalu sibuk dengan bagian-bagian paling menyenangkan dalam sejarah yang mengagungkan kejayaan masa lampau kerajaan-kerajaan tetapi di masa kini, sumbangsih kita pada kemanusiaan jauh dari memadai dan membanggakan.

 

Saya tidak hendak memvonis bahwa kita harus meninggalkan bahasa asing dan segala unsur serapan. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kita butuh bahasa asing dalam diplomasi dan komunikasi global. Namun, meskipun menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa pergaulan dunia terutama yang diakui sebagai bahasa utama di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) merupakan suatu cita-cita yang masih tergantung di awang-awang, setidaknya kita sendiri-lah yang mesti mulai memberikan penghargaan terhadap bahasa sendiri dengan menggunakannya sebaik mungkin dalam sebanyak mungkin kesempatan.

 

Dari belajar bahasa Inggris dan Belanda, saya juga akhirnya makin mengenal karakter bahasa dan bangsa Indonesia sendiri dengan membandingkan cara masing-masing bangsa menata kata dan menyusun konstruksi kebahasaan mereka. Dari belajar bahasa-bahasa inilah, saya juga akhirnya tahu bahwa bahasa Indonesia masih berjuang dalam merebut simpati dari masyarakat penutur aslinya sendiri. (*foto: Wikimedia Commons/ Akhlis.net)

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu