x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tragedi Choirul Huda, Perbaiki Pelayanan Medis Atlet

Sudah saatnya dokter spesialis jantung menjadi bagian dari pelayanan medis atlet.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Meninggalnya Choirul Huda, kiper kesebelasan Persatuan Sepak Bola Lamongan (Persela), akibat bertabrakan dengan sesama pemain di lapangan hijau, Ahad lalu, layak kita sesali. Kejadian ini menegaskan bahwa keselamatan manusia di dunia olahraga belum menjadi prioritas utama.

Penyelenggara turnamen, panitia pertandingan, maupun klub-klub yang bertanding hendaknya berpikir bahwa kecelakaan fatal sangat mungkin terjadi dalam olahraga. Karena itu, sistem pelayanan medis, khususnya dalam penanganan kecelakaan pemain—baik akibat tabrakan tak disengaja, kekerasan antarpemain, maupun penyakit seperti serangan jantung—harus betul-betul disiapkan dengan benar dan lengkap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

PT Liga Indonesia Baru dalam “Manual Liga 1 2017” memang mewajibkan klub tuan rumah menyediakan seorang petugas medis, delapan awak tandu, serta dua unit ambulans yang dilengkapi tangki berikut masker oksigen, defibrilator, alat infus, obat darurat, dan petugas medis di stadion. Namun tidak ditegaskan ihwal kualifikasi petugas medis tersebut—dokter spesialis ataukah hanya perawat.

Sudah saatnya dokter spesialis jantung menjadi bagian dari pelayanan medis atlet. Banyak kematian pemain akibat penyakit yang berhubungan dengan jantung. Contohnya, meninggalnya Eri Irianto dari Persebaya Surabaya di rumah sakit pada April 2000 setelah bertabrakan dengan pemain lain di lapangan. Juga Sekou Kamara, pemain Pelita Bandung Raya yang wafat pada Juli 2013 saat menjalani latihan.

Ketepatan mengambil tindakan menentukan hidup dan mati para pemain. Kecelakaan Fabrice Muamba, pemain Bolton Wanderers, ketika menghadapi Tottenham Hotspurs pada Maret 2012 semestinya menjadi pelajaran. Muamba terjatuh akibat serangan jantung. Tapi bantuan petugas medis terlatih, yang tak berhenti memberi pernapasan dari mulut ke mulut dan 15 kali kejutan defibrilator, berhasil menolongnya. Detak jantungnya terdengar lagi setelah 78 menit terhenti.

Kesigapan beraksi juga sangat penting dalam melewati masa kritis. Kejadian yang menimpa pemain Persiraja Banda Aceh, Akli Fairuz, saat melawan PSAP Sigli, Mei 2014, menunjukkan bahwa kita masih menilai remeh kecelakaan. Setelah perutnya terbentur kaki kiper lawan, Akli tersungkur. Ia sempat tergeletak beberapa lama sebelum bantuan datang. Di rumah sakit diketahui kantong kemihnya bocor dan harus dioperasi. Enam hari berselang, Akli mengembuskan napas terakhir.

Kecepatan ambulans menuju rumah sakit juga merupakan faktor krusial. Meski “Manual Liga 1 2017” sudah menetapkan jarak tempuh antara stadion dan rumah sakit tak boleh lebih dari 30 menit, harus ada rute khusus sehingga pemain lebih cepat mendapat pertolongan dokter. Rumah sakit yang menjadi rujukan pun harus dipastikan memiliki tenaga medis yang kompeten dan mempunyai fasilitas yang tak cukup sekadar memadai.

 

Editorial Koran Tempo, Selasa, 17 Oktober 2017

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB