x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tiap Kata Bisa Ditelusuri Jejaknya: Pribumi

Karena tiap kata tidak pernah berangkat dari ruang hampa. Setiap kata mewakili latar pikiran dan ambisi penuturnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiap kata bisa dirujuk jejaknya. Karena tiap kata tidak pernah berangkat dari ruang hampa. Setiap kata mewakili latar pikiran dan ambisi penuturnya.

Dan salah satu cara menelusuri jejak tiap kata adalah konteks zaman dan tempat ketika kata itu diucapkan. Tiap kata juga dapat ditelusuri jejaknya dari lawan katanya (yang mungkin tidak terucapkan). Dan ini sesungguhnya adalah acuan klasik dalam semantik (ilmu tentang makna kata dan kalimat).

Menarik mencermati kontroversi kata pribumi, ketika diucapkan oleh Anies Baswedan dalam pidato pelantikannya sebagai Gubernur DKI di Balai Kota Jakarta pada 16 Oktober 2017.

Saya membaca banyak protes, dan banyak postingan yang mencoba membelanya. Kata pribumi yang meluncur dari mulut seorang Gubernur yang baru dilantik seolah memiliki mantra tersendiri. Jagat dan wacana politiknya menjadi melebar kesana-kemari.

Dan bisa diduga, para pemrotes adalah mereka yang dalam Pilgub DKI 2017 adalah pendukung atau simpatisan Ahok-Djarot. Begitu pula sebaliknya.

Sebenarnya, kata ‘pribumi’ terucapkan hanya satu kali dalam pidato Anies Baswedan, dan ditempatkan pada satu alinea yang terdiri dari dua kalimat, yang saya yakin menjadi pemicu tafsir dan tafsir ulang itu:

“Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri”, ujar Anies Baswedan.

Kalimat pertama “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan”, seandainya Anies berhenti di kalimat ini, saya yakin tidak akan jadi persoalan. Namun kalimat lanjutannya yang saya pikir memicu banyak tafsir: “Kini telah merdeka, saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri”.

Kalimat “Saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri”, suka tidak suka, memang mengirim pesan yang sangat jelas. Sebab meski tidak disebutkan dalam piadatonya, namun jelas bahwa non-pribumilah yang menjadi bagian atau tujuan utama dari penggalan kalimat itu.

Terus terang, saya tidak terganggu dengan kalimat pribumi itu. Bahkan seandainya pun kata pribumi itu dijadikan “trade mark” kepemimpinan Anies-Sandy selama menjadi Gubernur DKI, juga bukan persoalan serius buat saya, karena sejumlah alasan berikut:

Pertama, kebijakan tentang pribumi dan non-pribumi ini bukan persoalan baru. Jika mau, silahkan menengok ulang Instruksi Gubernur Yogyakarta tahun 1975 tentang tidak bolehnya WNI Non-pribumi memiliki tanah di Yogyakarta. Instruksi Gubernur Yogya itu pernah dibawa ke Mahkamah Agung, dan MA memenangkan putusan itu menjadi Yurisprudensi.

Pidato Anies yang notabene baru wacana itu, atau kalau mau sebut saja sebagai ambisi Anies, tidak ada apa-apanya dibanding Instruksi Gubernur Yogyakarta thun 1975.

Kedua, di lingkungan ASEAN, ada sebuah fakta sejarah yang berlangsung hampir tiga dasawarga: Mahatir Mohammad memperkuat legitimasi politisnya selama menjadi Perdana Menteri Malaysia, dan saya pikir masih berlangsung sampai detik ini, justru melalui kebijakan yang terang-terangan pro pribumi (di Malaysia dikenal dengan sebutan bumiputera).

Ketiga, banyak orang tidak menyadari bahwa di bumi ini, benua yang paling kental tradisi primordial etnisnya adalah benua Eropa. Membaca sejarah sosial di Eropa adalah sama dengan membaca etnis dan sub-etnis. Di Jerman, di Perancis, di Spanyol, di Italia, di Inggris. Makanya kasus referandum untuk meredeka di Catalonia, Spanyol pada 1 Oktober 2017 bisa dibaca sebagai kebangkitan karakter asli Benua Eropa.

Keempat, Amerika sering dibangga-banggakan sebagai negeri para imigran dalam arti struktur sosial dan politik di Amerika dikuasai oleh imigran. Dan ketika membaca sejarah sosial Amerika Serikat, kita akan tiba pada satu kesimpulan: orang keturunan Jerman dan Irlandia yang menguasai hampir semua lini sosial dan politik di Amerika.

Mengelola kategorisasi sosial berdasarkan pribumi dan non-pribumi, tidak mungkin dengan menghapusnya, tapi harus dikelola dengan peraturan-peraturan yang menjunjung tinggi keadilan.

Tegasnya, bila keadilan di segala bidang, terutama di bidang ekonomi, hanya mungkin ditegakkan melalui wacana pribumi dan non-pribumi, maka saya akan mendukung wacana itu. Sebab keadilan itu harus “dipaksakan” melalui aturan. Ini juga wacana klasik, Bung.

Sebab, keadilan sosial dan keadilan ekonomi tidak pernah bisa ditegakkan dengan mengandalkan niat baik. Harus diatur, Bung. Dan saya yakin, itulah yang melatarbelakangi kebijakan Instruksi Gubernur Yogyakarta Tahun 1975 dan juga kebijakan Bumiputera Mahathir Mohammad di Malaysia. Dan semoga itu juga yang melatarbelakangi atau menjadi jejak kata ‘pribumi’ di pidato Anies Baswedan.

Meskipun harus juga disebut bahwa Anies Baswedan memang kurang peka dengan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.

Syarifuddin Abdullah | 18 Oktober 2017 / 28 Muharram 1438H.

Sumber foto: ANTARA FOTO

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler