x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Edward Freeman dan Narasi Baru Bisnis Abad ke-21

Pada tanggal 8 Oktober 2017 Edward Freeman, sang penemu teori pemangku kepentingan, datang ke Indonesia untuk memaparkan pemikiran terbarunya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bulan Juli tahun ini adalah bulan yang sangat menyenangkan bagi saya yang sudah bertungkus lumus dalam dunia dunia CSR dan manajemen pemangku kepentingan.  Di bulan itu, saya mendapat sebuah buku baru berjudul Stakeholder Management – Business and Society 360 yang disunting oleh David Wasieleski dan James Weber.  Pembuka buku itu adalah bab yang ditulis oleh pembangun utama teori pemangku kepentingan, R. Edward Freeman.  Judulnya, Five Challenges to Stakeholder Theory: A Report on Research in Progress.   

 

Itu adalah salah satu bab paling kuat yang sangat penting bagi pengembangan teori pemangku kepentingan lebih lanjut.  Sejak keluarnya Strategic Management: A Stakeholder Approach di tahun 1984—ketika Freeman baru berusia 33 tahun—yang mengguncang kemapanan teori pemegang saham (shareholder theory), Freeman tak pernah berhenti menyajikan pukulan-pukulan kelas beratnya kepada teori yang akhirnya benar-benar runtuh itu.  Terkadang lewat petunjuk praktis macam buku Managing for Stakeholders: Survival, Reputation, and Success (Freeman, Harrison, dan Wicks, 2007), atau melalui kerja teoretis besar seperti dalam Stakeholder Theory: The State of the Art (Freeman, Harrison, Wicks, Parmar, dan de Colle, 2010). Kini, hanya mereka yang keras kepala tak keruan saja yang masih percaya bahwa hanya kepada pemilik modal sajalah perusahaan bertanggung jawab.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tapi, bulan Juli itu ternyata bukanlah puncak keberuntungan buat saya.  Di bulan ini, Oktober 2017, Universitas Virgina, tempat Freeman mengajar, merayakan ulang tahunnya yang ke-200.  Dan, betapa beruntungnya Indonesia, karena perayaan ulang tahun serentak di berbagai negeri itu, menugaskan Freeman untuk datang ke Indonesia!  Maka, pada tanggal 8 Oktober 2017, bertempat di hotel J.W. Marriott, kita yang berada di Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan kuliah Freeman secara langsung.  Saya bergegas mendaftarkan diri beberapa hari lalu, hanya beberapa menit setelah mendapat informasi tentang acara penting itu.

 

Kuliah singkat Freeman diberi judul Responsible Capitalism: Business for the 21st Century.  Setelah selesai kuliah itu, saya mendapati bahwa apa yang disampaikan itu adalah ringkasan dari apa yang sudah disampaikannya dalam Verizon Lecture in Business Ethics di Universitas Bentley pada tanggal 1 November 2016.  Publikasi atas kuliah di universitas tersebut bisa diunduh secara bebas.  Judulnya, The New Story of Business: Towards a More Responsible Capitalism.  Judul artikel yang sama ternyata kemudian muncul sebagai publikasi di jurnal Business and Society Review, Vol. 122/3 2017 yang baru saja terbit September lalu.  Jadi, apa yang disampaikan Freeman kepada publik Indonesia adalah di antara pemikiran terbarunya.   

 

Perbincangan saya dengan Freeman, bersama Sita Supomo, sebelum acara dimulai mengungkap sesuatu yang menarik.  Ternyata Freeman pernah bolak-balik ke Indonesia pada dekade 1990an karena mengajar di kampus IPMI.  Selama tujuh tahun ia mengajar di sana.  Jadi, Freeman bilang bahwa dia kembali ke Indonesia, setelah dua puluh tahun lebih tidak bertandang, adalah peristiwa yang sangat menggembirakan dirinya.  Ketika saya tanyakan soal di mana saja dia kini mengajar, jawabannya sangat menarik: di manapun etika dipandang sebagai panduan yang serius.  Itu juga yang membuat dia betah mengajar di Universitas Virginia, yang memegang teguh etika—bukan saja di Darden School of Business, melainkan di semua fakultasnya—sejak awal berdirinya.

 

Narasi Lama yang Perlu Dibongkar

Freeman membuka kuliahnya dengan menyatakan bahwa tokoh terpenting yang membuatnya menyadari pentingnya etika adalah Thomas Jefferson.  Kalimat terkenalnya, “That all men are created equal,” yang menjadi paragraf kedua deklarasi kemerdekaan AS, menurut Freeman adalah revolusi etika yang pertama.  Lalu, dia menyatakan bahwa sebuah revolusi etika kini sedang terjadi, yaitu revolusi etika yang terutama mengenai bisnis dan Kapitalisme.  Kali ini bukan soal kebebasan, melainkan soal kolaborasi dalem menciptakan dan membagikan manfaat perusahaan.  Dia kemudian menyatakan bahwa “standard story of business needs to change.

 

Apa saja narasi bisnis yang perlu diubah itu?  Ada lima, menurut Freeman. “The first claim is that business is primarily about making money and profits for shareholders.”  Freeman kemudian menjelaskan bahwa sesungguhnya bisnis itu bertujuan lebih luas, yaitu untuk melayani kebutuhan masyarakat luas, dan memecahkan masalah yang mereka hadapi.  Sebagai insentifnya, perusahaan kemudian mendapatkan keuntungan.  Jadi, alih-alih menjadi tujuan, sesungguhnya keuntungan hanyalah hasil sampingan dari keberhasilan melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

 

The second claim is that the only constituency that matters is shareholders.”  Ini adalah sebuah kesalahan yang sangat parah, menurut Freeman.  Bisnis seharusnya melihat bahwa seluruh pemangku kepentingan itu sama pentingnya.  Bahkan, pemilik modal sesungguhnya adalah pemangku kepentingan yang menerima hasil residual, setelah seluruh kewajiban perusahaan kepada pemangku kepentingan lainnya terpenuhi.

 

The third claim ... is that we live in a world of limitless physical resources, and that market forces will always determine which resources are economically feasible to use.”  Jelas, kita sesungguhnya hidup dalam dunia yang sumberdayanya terbatas.  Juga, walaupun pasar dapat mengalokasikan berbagai sumberdaya dengan efisien, namun pasar tidaklah sempurna, dan bukan satu-satunya pengalokasi sumberdaya.  Freeman menyatakan bahwa regulasi pemerintah sangat diperlukan untuk mengalokasikan sumberdaya, terutama untuk layanan dasar.

 

Kemudian, Freeman menyatakan “The fourth claim, that we see played out in the popular press all the time, is about what motivates business people.”  Tekanan-tekanan  itu juga yang membuat para pebisnis dan masyarakat luas kerap memaklumi bila mereka yang berada dalam perusahaan itu melanggar aturan, berbohong, atau curang.  Padahal, tak ada alasan sama sekali untuk memaklumi hal tersebut, mengingat bahwa sesungguhnya sektor lainnya juga mengalami berbagai tekanan, dan lolos dari tekanan dengan cara-cara negatif seperti itu tak bisa dibenarkan.

 

The fifth claim ... says that business and capitalism work because people and companies are self-interested, competitive, and greedy.” Gambaran negatif tentang manusia itu, menurut Freeman, telah membuat seluruh narasi bisnis menjadi buruk.  Padahal, sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak sekali fakta, banyak di antara pebisnis yang tidak menunjukkan karakter seperti itu sama sekali.  Ada banyak bukti bahwa pebisnis juga mengakomodasi kepentingan banyak pihak lain, mengutamakan kolaborasi, dan sama sekali tidak serakah.

 

Oleh karenanya, Freeman kemudian menyatakan bahwa narasi baru bagi bisnis abad 21 seharusnya bercirikan motivasi untuk menciptakan dan membagi nilai untuk masyarakat luas, bertanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan, mengakui peran pengatur sumberdaya ekonomi yang lain, menjunjung tinggi etika, dan disandarkan pada nilai-nilai positif manusia.  Secara tegas Freeman menyatakan bahwa buku-buku teks bisnis yang masih menggunakan dan mengajarkan narasi lama itu seharusnya ditinggalkan dan diganti sepenuhnya dengan narasi baru.  Oleh karenanya, Freeman kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang narasi baru seperti apa yang perlu dibangun.

 

Pemikiran di Balik Narasi Baru

Untuk memerbaiki narasi lama menjadi narasi baru, Freeman memfokuskan diri pada enam butir pemikiran.  Yang pertama, “the unit of analysis is stakeholder relationships.” Hubungan dengan pemangku kepentigan adalah kunci dari suksesnya seluruh bisnis yang ada.  Dengan menyatakan bahwa hubungan itu sebagai unit analisis, yang hendak ditekankan oleh Freeman adalah sifat jangka panjang.  Tentu saja, seluruh bisnis yang ingin meraih sukses harus memastikan bahwa pemangku kepentingannya terpuaskan oleh tata cara perusahaan mengelola isu-isu yang menjadi perhatian mereka.  Freeman juga menyatakan bahwa kalau ada ukuran tunggal yang bisa meramalkan keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang, maka itu adalah hubungan antara perusahaan dengan pekerjanya, bukan keuntungan di masa lalu.  Kalau pekerja menunjukkan kepuasan, angka retensinya tinggi, maka peluang keberhasilan perusahaan itu akan tinggi.

   

Pemikian kedua adalah keyakinan bahwa “stakeholders are interdependent.” Interdepensi antar-pemangku kepentingan, menurut Freeman, adalah hal yang lebih penting untuk disadari oleh perusahaan dibandingkan dengan sekadar ada pemangku kepentingan lain yang perlu diperhatikan (bahkan lebih penting daripada) pemilik modal.  Perusahaan-perusahaan yang menjalankan CSR strategis—di dalam artikelnya, Freeman mengutip model creating shared value yang dihasilkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer setelah meneliti tata cara Nestle berbisnis—adalah mereka yang menyadari soal jejaring pemangku kepentingan ini.  Mengapa?  Karena CSR yang strategis hanya mungkin diwujudkan bila itu terutama dilaksanakan di sepanjang rantai nilainya.  Dan di sepanjang rantai nilai itu pula jejaring pemangku kepentingan terbentuk.   

 

Pemikiran ketiga adalah yang paling menarik perhatian saya.  Freeman menyatakan bahwa “tradeoffs are managerial failures of creative imagination.”  Ketika kita memikirkan tentang keberlanjutan, maka kerap kali kita berpikir soal membuat keputusan yang akan menurunkan keuntungan perusahaan.  Ada banyak CEO yang rela melakukan hal ini, demi meraih kinerja yang lebih baik dalam jangka panjang.  Bahkan, di artikelnya, Freeman menunjukkan kisah nyata soal seorang CEO perusahaan bahan-bahan kimiawi yang bersedia untuk menutup pabriknya yang tua, lantaran proses produksi yang terlampau kotor.  Ketika keputusan sudah diambil, beberapa minggu kemudian para insinyur yang pekerjaannya terancam kembali dengan rencana brilian untuk memenuhi tujuan lingkungan sekaligus mempertahankan operasi pabrik.  Ketika sang CEO bertanya berapa ongkosnya—sekali lagi, dia bersedia mengeluarkan tambahan modal—para insinyur itu secara malu-malu menyatakan bahwa itu bukan saja tak membutuhkan tambahan modal, bahkan akan menurunkan biaya secara keseluruhan.  Mereka malu, lantaran sebelumnya ngotot menyatakan tidak mungkin kinerja lingkungan pabrik itu ditingkatkan.  Menurut Freeman, imajinasi kreatif adalah sumberdaya terbarukan yang paling penting namun kerap diabaikan oleh perusahaan.  Trade-off, menurut Freeman hanyalah pertanda kemalasan bahkan kegagalan berimajinasi.    

 

Purpose, values, and ethics must be embedded in organizations” adalah pemikiran keempat.  Purpose, atau tujuan mulia yang bukan sekadar pencarian keuntungan dinyatakan Freeman harus menjadi fokus bagi perusahaan di abad 21 ini.  Dan, dalam mencapai yang mulia tersebut diperlukan nilai-nilai dan etika sebagai pembimbingnya.  Yang menarik adalah bahwa ada banyak tujuan mulia yang bisa dipilih oleh perusahaan sesuai dengan bisnis intinya.  Novo Nordisk kini menyatakan ingin membantu dunia mengenyahkan diabetes. Whole Foods dibuat untuk memberikan semakin banyak pilihan sumber pangan yang sehat.  Ketika perusahaan memikirkan ulang apa yang selama ini mereka lakukan, dan keluar dari pemikiran sempit sekadar mencari keuntungan, mereka akan dapat melakukan reformulasi tujuan mereka.

 

Pemikiran kelima adalah “business exists in the physical world.”  Ini memiliki arti bahwa ada batas-batas alam yang sudah semestinya dihormati oleh bisnis.  Kalau batas-batas itu dilanggar, maka keberlanjutan tidak akan bisa diperoleh.  Namun, menurut Freeman, itu hanyalah separuh cerita.  Separuh cerita berikutnya adalah bagaimana perusahaan bisa melihat berbagai peluang di antara keterbatasan sumberdaya itu.  Perusahaan yang bisa melihat sebanyak mungkin peluang adalah yang paling mungkin bertahan.  Di dalam pengelolaan sampah ada peluang bisnis yang besar, sebagaimana yang ditemukan oleh mereka yang menekuni ekonomi sirkular.  Di dalam keterbatasan energi fosil—juga kesadaran akan dampaknya terhadap perubahan iklim—ada peluang untuk mewujudkan bisnis energi terbarukan.  Dalam kata-kata Freeman yang termuat di dalam artikelnya, “Adopting some kind of green values, and integrating respect for the environment into our purpose and values, can be a powerful elixir for creativity.” 

 

People are complicated” merupakan pemikiran pamungkas Freeman untuk membentuk narasi barunya.  Hal ini bukan saja merupakan penyangkalan atas model sederhana manusia serakah yang dianggap menjadi dasar bergeraknya perusahaan dan Kapitalisme.  Bagi Freeman, manusia jauh lebih kompleks daripada itu.  Mengutip perkembangan-perkembangan mutakhir dari munculnya fenomena bisnis sosial dan investasi berdampak positif (impact investing), jelas para pebisnis bukan saja sedang memperbaiki dirinya, melainkan sedang meredefinisikan kemanusiaan.  Dengan redefinisi itu juga bisnis kini dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah tua yang bahkan dahulu kerap disebabkan oleh bisnis—seperti kemiskinan, penyakit, kurangnya modal, dan sebagainya.

 

Sebagai penutup kuliahnya, Freeman menyimpulkan bahwa apa yang sedang terjadi adalah apa yang dia sebut sebagai responsible disruption.  Disrupsi memang terus terjadi dalam bisnis, namun yang akan menjadi penentu keberhasilan bisnis adalah apakah yang dipilih adalah bentuk-bentuk disrupsi yang bertanggung jawab (sosial), yang menjadikan bisnis sebagai pemecah permasalahan yang dihadapi masyarakat banyak, bukan sekadar bisnis yang menjadi budak kepentingan pencarian keuntungan bagi pemilik modalnya.

 

Diskusi lebih lanjut

Ada empat orang yang memberikan komentar dan bertanya kepada Freeman setelah kuliahnya ditutup. Saya tidak akan meringkas satu demi satu pertanyaan dan jawaban yang diberikan kepada khalayak, melainkan menuliskan pesan-pesan paling penting yang diutarakan oleh Freeman pada sesi tersebut.

 

Dia menyatakan keyakinan bahwa pergeseran menuju apa yang dideskripsikannya itu sedang terjadi di seluruh dunia, dan hal itu tidak tergantung dari apakah pemerintah itu melakukan sesuatu yang mendukung atau menentangnya.  Freeman memberi contoh bahwa ketika Presiden Donald Trump mengumumkan negaranya menarik diri dari Kesepakatan Paris, perusahaan-perusahaan progresif—bersama-sama dengan pemerintah negara bagian dan kota, juga kelompok-kelompok masyarakat sipil—langsung menyatakan bahwa mereka tetap berkomitmen untuk menjalankan Kesepakatan itu.

 

Perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia—dan diperantarai utamanya oleh perusahaan—beserta banyak hal lainnya telah membuat dunia menjadi berada dalam kondisi VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous).  Menurut Freeman, satu-satunya respons yang masuk akal dari perusahaan adalah menjadikan dirinya sebagai institution of hope, institusi yang memberi harapan bagi masyarakat luas, bukan yang malahan  menambah berat permasalahan yang mereka hadapi.  Dia kemudian menegaskan “We are in demand to great companies that solve world's toughest problems.”

 

Banyak di antara pebisnis yang tidak mau beranjak memperbaiki perusahaannya menjadi institusi yang membawa harapan lantaran berdalih bahwa mereka harus menghasilkan uang untuk keluarganya. Namun, Freeman menegaskan bahwa pertimbangan yang seperti itu adalah dangkal.  Ia menyatakan “If you worry about the future of your family, worry about purpose and ethics, not just money.”  Mengapa?  Karena dalam dunia di mana tujuan mulia dan etika diabaikan, maka uang tidak akan bisa bermanfaat banyak.  Kemudian, Freeman menyatakan bahwa dalam bisnis juga sangat penting untuk memertimbangkan dengan siapa kita mau bekerja membangun perusahaan.  Pilihan mitra akan sangat menentukan perusahaan seperti apa yang bakal dikembangkan.

 

Freeman kemudian meneruskan, bahwa bagi siapapun yang ingin mengajukan kritik terhadap tata cara bisnis yang ketinggalan zaman—yaitu bisnis dalam narasi lama—maka cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menciptakan bisnis baru yang membuktikan bahwa bisnis berlandaskan kebaikan adalah mungkin, dan bahkan lebih sukses.  Dia melihat bahwa mereka yang kerap mengikuti jalan ini adalah para milenial.  Mereka cenderung tertarik pada menciptakan bisnis yang baik, dan darinya bisa mendapatkan keuntungan.  Hal ini karena mereka masih memiliki kebebasan berpikir, dipenuhi ide-ide baru sesuai semangat zamannya, dan karenanya mereka jualah yang paling mungkin menciptakan berbagai responsible disruption.

 

Kalau hendak mencari buktinya, Freeman menyarankan untuk rajin-rajin membuka website perusahaan-perusahaan baru yang terkemuka.  Di situ akan jelas terlihat bahwa sebagian besar isinya adalah tentang tujuan mulia berbisnis.  “They only talk about money when they talk to analysts,” demikian yang diamati Freeman. Yang mereka bicarakan juga adalah tentang nilai secara keseluruhan—bukan sekadar nilai finansial.  Freeman mengajak peserta kuliah untuk membayangkan bahwa nilai sebuah telepon selular bukanlah sekadar harganya, melainkan fungsi yang mungkin dijalankan oleh benda tersebut, dan yang benar-benar dipergunakan oleh pemiliknya.  Telepon selular pintar sekarang sudah bisa menjalankan fungsi sebuah studio.

 

Menutup sesi diskusi, Freeman kembali menegaskan bahwa ukuran yang paling bisa memprediksikan kinerja perusahaan dalam jangka panjang adalah employee engagement, yang bisa dilihat dari turnover pekerja.  Semakin betah para pekerja, itu menandakan mereka berbahagia bekerja di perusahaan tersebut, dan pekerja yang bahagia adalah pekerja yang produktif. Kemudian, ia juga menyebutkan ukuran kedua yang juga bisa meramalkan kinerja itu, yaitu involvement of founders.  Menurut dia, kalau para pendiri perusahaan tetap mengelola perusahaan, tidak buru-buru menjualnya untuk mendapatkan keuntungan, itu juga merupakan pertanda perusahaan memang dikelola dengan manajemen yang baik dan gairah yang tinggi.

 

Demikian seluruh pesan yang disampaikan oleh sang mahaguru manajemen strategis yang lewat karya-karyanya berhasil melengserkan dan mengganti teori pemegang saham (shareholder theory) sebagai panduan berbisnis.  Ketika saya tanyakan apakah ada buku yang sedang ditulisnya, yang akan semakin mengokohkan teori pemangku kepentingan, dia tersenyum dan menyatakan bahwa dia sedang menyelesaikan sebuah buku—ditulis bersama Bidhan Parmar dan Kirsten Martin—yang akan selesai di penghujung tahun ini.  Judul tentatifnya The New Story of Business: Responsible Capitalism.  Giliran saya yang tersenyum membayangkan akan segera membacanya di tahun depan.  Saya percaya, dunia CSR dan manajemen pemangku kepentingan akan semakin menarik di masa mendatang.

 

 

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu