x

Ketua KPU Arief Budiman (kiri) bersama dua komisioner Ilham Saputra dan Pramono Ubaid Thantowi (kanan), saat menunjukkan contoh alternatif bentuk kotak suara transparan terbuat dari kertas karton dan Box plastik akan digunakan dalam Pilkada serentak

Iklan

Andrian Habibi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sipol Bermasalah KPU Siap Digugat

Pemamfaatan tekhnologi dalam penyelenggaraan pemilu dinilai mampu mengefektifkan dan mengefesiensi kerja KPU, benarkah demikian?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia menciptakan aplikasi Sistem Informasi Partai Politik atau disebut dengan nama SIPOL. Aplikasi yang membantu proses pendataan partai politik dan memberikan data ‘abadi’ di di bank data KPU. Agar memiliki legalitas formas administratif, KPU pun menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) nomor 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Peserta Pemilu.

Menurut seluruh komisioner KPU RI periode 2017-2022, SIPOL merupakan implementasi motto KPU Melayani. Yakni melayani partai politik dalam memudahkan proses pendaftaran administrasi partai politik. SIPOL sekaligus menjadi alat bantu bagi parpol dalam menggunakan teknologi untuk tertib administrasi dan data informasi partai.

Akan tetapi, SIPOL menuai banyak kritik. Beberapa diantaranya terkait dasar hukum dan lingkup teknis. Tulisan ini berusaha mengurai persoalan SIPOL dari dua masalah tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perdebatan Dasar Hukum

Pertama, dasar hukum SIPOL berasal dari PKPU 11/2017 yang mengunakan diktum menimbang dari Pasal 174 ayat (3) dan 178 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Akan tetapi, sebelum membaca Pasal 174, ada baiknya kita melihat pasal 173 terlebih dahulu. Pada Pasal 173 ayat (1) menyebutkan ‘Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU’. Ada dua peserta pemilu di ketentuan ini, yaitu peserta pemilu yang ‘ditetapkan’ dan yang ‘lulus verifikasi’.

Dalam pemahaman yang sederhana, parpol peserta pemilu bisa menggunakan salah satu jalur untuk menjadi peserta pemilu. Bisa saja KPU menetapkan peserta pemilu dan menetapkan calon peserta pemilu yang telah diverifikasi. Jadi, ada dua kelompok peserta pemilu di sini, peserta yang ditetapkan dan yang membutuhkan verifikasi.

Bagi partai politik yang baru mengikuti proses “verifikasi” dan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu (Pasal 173 ayat 2). Maka, calon peserta “tidak diverifikasi ulang” dan “ditetapkan” sebagai peserta pemilu (Pasal 173 ayat 3). Calon peserta pemilu yang melalui jalur “verifikasi” untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu. maka dia harus membaca Pasal 174 yang memuat frasa “penelitian keabsahan administrasi”.

Bila di lihat pada Pasal 176 yang memuat frasa “dapat”. Kita bisa mengartikannya dengan kalimat bahwa yang dapat” menjadi peserta pemilu sesuai dengan Pasal 173 dikhususkan dan melakukan verifikasi adalah partai politik baru yang belum pernah mengikuti proses pemilu. Kata “dapat” mendaftar ke KPU adalah bentuk orang baru yang datang terlebih dahulu untuk mendaftar, lalu diverifikasi, kemudian ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Masalah Teknis

Dalam hal progresifitas, KPU patut diancungi jempol terkait penggunaan SIPOL. Hal ii membuktikan bahwa KPU tidak anti-teknologi. Bahkan KPU selalu berkembang dalam hal pemamfaatan teknologi tepat guna bagi pembaharuan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

SIPOL sendiri, menurut saya, adalah bentuk penafsiran dari kata “verifikasi” di dalam Pasal 173. Selama ini, parpol calon peserta pemilu masih saja menggunakan cara manual dalam hal pendafataran di KPU. Ini lah pembaharuan proses pendafataran penyelenggaraan pemilu.

Secara teknis calon peserta pemilu, mengunggah administrasi yang termuat di Pasal 173 ayat (2) ke dalam SIPOL. Dengan demikian, data softcopy dengan hardcopy memiliki kesesuaian. Begitulah kira-kira niatan KPU menciptakan aplikasi SIPOL. Namun masalah baru secara teknis muncul berbarengan.

Misalnya, Pengurus DPP menginput data ke KPU RI, tetapi pengurus wilayah dan daerah mengalami perbedaan data. Bagaimana cara KPU mengantisipasi perbedaan data yang diinput? Pertanyaan ini penting di jawab mengingat SIPOL menjadi ranah khusus (dimiliki) oleh parpol melalui penugasan operator SIPOL.

Seandainya data yang di input –antara pusat dan daerah- berbeda. Bagaimana cara KPU menindak parpol yang melakukan kesalahan input data berbeda? Permasalahan ini bisa selesai di tangan parpol melalui perbaikan data oleh operator SIPOL. Kita tidak tahu, apakah data tersebut memang berbeda atau sengaja di buat.

Oleh sebab itu, mengingat proses pendaftaran calon peserta pemilu merupakan wewenang teknis KPU. Sudah sewajarnya KPU lah yang menyediakan operator khusus input data SIPOL, bukan partai. Kalau pun ada operator SIPOL dari parpol. Maka, KPU harus mengawal proses input data tersebut.

Alat Melawan

Membaca masalah dasar hukum dan teknis SIPOL. Maka, pantas lah kita memberikan peringatan dini kepada KPU. Jangan sampai SIPOL digunakan sebagai alat menyerang balik atas proses pendaftaran calon peserta pemilu oleh parpol. Karena, bentuk perlawanan parpol akan menggantu tahapan penyelenggaraan pemilu. Minimal KPU akan membagi fokus perhatian dari seharusnya menjalankan tahapan. Jadi terbelah menghadapi gugatan parpol.

Sepanjang yang saya ketahui, setiap proses pendaftaran calon peserta pemilu selalu heboh. Ada saja parpol yang melakukan perlawanan kepada KPU. Munculnya SIPOL adalah salah satu alasan bagi parpol untuk malawan. Terutama bagi parpol peserta pemilu 2014.

Dalam ketentuan UU Pemilu, parpol peserta pemilu tahun 2014 langsung menjadi peserta pemilu 2019. Mereka cukup mendaftar ke KPU tanpa harus mengikuti proses verifikasi. Hal ini disebabkan Pasal 173 ayat (1) memuat frasa “ditetapkan”. Dengan begitu, parpol lama tidak butuh input data ke SIPOL. Bahkan, parpol lama tidak membutuhkan membawa puluhan berkas pendaftaran.

Selain itu, frasa “wajib” di PKPU No. 11/2017 bisa digugat oleh parpol. Hal ini disebabkan tidak ada kata SIPOL dalam UU Pemilu. Mengutip pendapat Bagir Manan,  yang menyatakan bahwa dalam hierarki peraturan perundang-undangan dikenal asas lex derogat superior yaitu perundang-undangan tingkatan lebih rendah harus mengalah dengan aturan yang lebih tinggi.

Jadi, penafsiran yang melahirkan aplikasi SIPOL bisa dikatakan inskonstitusional atau “batal demi hukum”. Semoga saja divisi hukum KPU sudah mempersiapkan upaya menghadapi gugatan SIPOL. Saya mengakhiri tulisan ini dengan mengingatkan KPU. Bahwa pengalaman pemilu 2014 bisa dijadikan pelajaran bagaimana Yusril Ihza Mahendra memenangi gugatan terkait peserta pemilu di Mahkamah Konstitusi.

 

 

…………………………………………………………………………………………………………………………….

Andrian Habibi adalah paralegal di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional dan Deputi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia juga Fungsionaris Bidang Hukum dan Ham Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI).

Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler