x

Seorang pengajar, Khairul Ghazali memberikan pembelajaran kepada para santrinya di Pondok Pesantren Al Hidayah di Sei Mencirim, Sumatera Utara, 22 Juli 2017. Mantan pendeta radikal, Khairul Ghazali ini merupakan pendiri dari pesantren tersebut. AP Ph

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Santri Kota dan Lunturnya Idealisme Kesantrian

Pesantren memang harus mampu menghadapi tantangan zaman, tetapi bukan berarti kehilangan identitas dirinya sebagai penjaga nilai-nilai tradisi kesantrian

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menarik ketika membaca salah satu artikel lawas yang ditulis almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berjudul, “Pesantren sebagai Subkultur” (1974) yang secara tidak langsung memberikan gambaran proses adaptasi pesantren dengan berbagai aspek modernisme dan perubahan sosial. Terdapat pola pergeseran nilai yang pada akhirnya menempatkan para “santri-kota” sebagai bentuk “generasi kekinian” yang cenderung “kapitalistik” karena lebih mengedepankan segala macam persaingan yang dilihat dalam kacamata keekonomian. Jika kultur pesantren yang sejauh ini menganut nilai-nilai kepasrahan soal rezeki, maka para santri yang kemudian berkiprah di level-level masyarakat perkotaan justru cenderung membuangnya jauh-jauh. Santri kota akan lebih memandang segala hal dari sisi keuntungan secara ekonomi-politik, dibanding harus mempertahankan nilai-nilai moral kesantriannya yang “fatalistik”, seperti kepatuhan pada kiai dan taat pada kultur pesantren sekadar mencari “keberkahan” jauh dari kecenderungan politisasi.

Cara pandang santri kota yang semakin menggejala, lambat laun sebenarnya telah berpengaruh pada perubahan secara gradual terhadap penerimaan atas nilai-nilai tradisional pesantren, sehingga secara keseluruhan—untuk tidak menyebut hilang sama sekali—idealisme pesantren sebagai penjaga “kultur” pendidikan tradisional: pengajian wetonan, sorogan atau fungsi kiai yang kharismatis, justru semakin kehilangan pijakannya. Pesantren bahkan dituntut untuk memodernisasi dirinya sendiri akibat berbagai tuntutan zaman atau hal-hal lain yang secara nyata “memaksa” pesantren untuk selalu menerima setiap perubahan. Maka, fenomena santri kota yang pernah mengenyam pendidikan tradisional namun selalu adaptif dengan budaya perkotaan, umumnya sangat “kompromistik” bahkan pada tahap tertentu cenderung oportunis terhadap realitas sosial-politik.

Melihat fenomena santri kota secara nyata dapat dilihat pada sosok calon kontestan politik di Pilkada Jawa Timur belakangan ini. Publik tentu paham, bahwa kedua cagub di Pilkada Jatim 2018 nanti adalah santri-santri “kampung” dulunya, tetapi telah berasimilasi dengan budaya perkotaan sekian lama. Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul dan Khofifah Indar Parawansa merupakan dua kontestan yang telah resmi akan mengikuti kontestasi politik di Jatim pada 2018 mendatang. Memahami Jatim, jelas tak bisa dilepaskan dari fenomena “kesantrian” karena wilayah ini merupakan basis terkuat pesantren bahkan cikal-bakal pesantren di Nusantara sejak ratusan tahun yang lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi saya, Pilkada Jatim justru semakin menarik ketika melihat dua orang kontestannya yang sama-sama berlatar belakang santri yang juga dibesarkan oleh kultur NU. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa kalangan pesantren yang diwakili oleh para kiai, justru diajak terlibat lebih jauh untuk sekadar memberikan dukungan secara politik kepada para santri yang sedang mengikuti ajang kontestasi. “Politik” pada akhirnya menjadi lebih menarik bagi para santri dan kiai, bukan dijadikan sebagai penguat tatanan ideal kepesantrenan, tetapi lebih kepada soal keuntungan-keuntungan ekonomi dan juga politik. Cagub Jatim Khofifah malah telah secara resmi membentuk “Tim 17” yang beranggotakan para kiai senior guna mendukung kemenangannya di Pilgub Jatim nanti. Bahkan, pesantren-pun pada akhirnya menjadi tempat “negosiasi politik” keduniaan, jauh dari nilai-nilai asketisme yang dulunya menjadi ciri khas pesantren secara kultural.

Ditengah antusiasme para santri yang akan menggelar Hari Santri Nasional, melalui refleksi kesejarahan dan penguatan idealisme kesantrian yang mengusung nilai-nilai tradisionalisme, sepertinya semakin tercerabut dari akar budayanya. Geliat perubahan yang diinisiasi oleh golongan santri kota, justru sejauh ini hanya nampak pada adanya sebuah “ikatan batin” sekadar bernostalgia untuk mendekati pesantren akibat dorongan syahwat politik-keekonomian. Saya kira, momen Pilkada Jatim yang juga kontestan politiknya adalah santri, juga tampak sedang memanfaatkan situasi ini.

Padahal, dalam situasi normal sekalipun—tanpa melibatkan pesantren atau kharismatis kiai—sebuah ajang kontestasi politik justru akan memperlihatkan kompetisi yang benar-benar fair dan bermartabat. Melibatkan pesantren apalagi para kiai yang menjadi “simbol kehormatan” pesantren hanya untuk kepentingan politik sesaat, justru semakin mengaburkan nilai-nilai kesantrian yang semestinya bisa memberikan kekuatan moral kepada masyarakat. Yang lebih mengharukan, hubungan kiai-santri sejauh ini semakin memudar, tak ada lagi nuansa tradisi yang jika melanggar nilai-nilai hubungan ini dikategorikan “kualat” atau sekadar manut kiai sebagai bagian dari tradisi mencari keberkahan yang membungkus jalinan kuat antara kiai-santri sejauh ini. fenomena santri kota yang sejauh ini diketahui mengikuti beragam ajang kontestasi politik, justru lambat-laun memudarkan idealisme kesantrian yang sarat nilai-nilai kejujuran, menjadi sekadar membangun ikatan-ikatan “afiliasi politik” yang semu dengan mengedepankan kepentingan sesaat yang cenderung mengejar keuntungan ekonomis.

Pesantren memang harus mampu menghadapi tantangan zaman, tetapi bukan berarti kehilangan identitas dirinya sebagai penjaga nilai-nilai tradisi kesantrian: hubungan keilmuan kiai-santri, mencari keberkahan dari para kiai, atau menempatkan kehidupan pesantren sebagai tatanan ideal di luar dirinya yang mampu menyebarkan nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Perubahan nilai-nilai dari luar yang dibawa oleh santri kota semestinya tidak serta merta memberangus identitas “kesantrian” yang telah lama hidup dalam lingkup pesantren, apalagi yang terlihat justru “mendikte” pesantren dan para pimpinannya untuk terlibat secara aktif dalam hal dukungan politik. Memang tak ada larangan bagi siapapun atau kelompok manapun dalam hal partisipasi politik, hanya saja sangat disayangkan jika pada akhirnya pesantren dan para kiai hanya dijadikan “alat politik” hanya sekadar tujuan kekuasaan sesaat.

Jika dulu pesantren dijadikan tempat berkumpulnya para kiai untuk menentukan arah perjuangan kemerdekaan bangsa dan perbaikan kualitas keumatan, maka tidak salah jika belakangan pesantren justru kehilangan “muru’ah” (penjaga nilai-nilai moralitas-kejujuran) kesantriannya dan jatuh dalam kubangan duniawiyah demi kepentingan politik sesaat. Jatim yang disebut merupakan wilayah pesantren, justru dimanfaatkan sebagai momentum kontestasi politik yang pada akhirnya, membuat dua kandidatnya yang santri, “membelah” pesantren menjadi basis dukungan politik yang saling berhadapan. Disinilah “godaan politik” yang semakin mengaburkan nilai-nilai identitas kesantrian yang tercerabut dari akar tradisionalismenya. Sebuah gambaran yang sangat kontras, ditengah euforia jelang Hari Santri Nasional yang merefleksikan penguatan nilai-nilai tradisi kesantrian, tetapi pesantren dan para pemimpinnya justru asyik “berburu” dukungan demi tujuan kekuasaan politik. 

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler