x

Sejumlah santri mengantre untuk mendapatkan makanan di Pondok Pesantren Al Hidayah di Sei Mencirim, Sumatera Utara, 22 Juli 2017. AP Photo

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Santri dan Ranggawarsita

Di pesantren, Ranggawarsita malas belajar ilmu agama dan bahasa Arab.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bandung Mawardi

Kuncen Bilik Literasi

Peringatan Hari Santri Nasional, yang jatuh pada 22 Oktober 2017, menuntun kita mencari asal sebutan dan perkembangan makna santri. Kita ingin melacak pengertian santri di pelbagai kamus. Siapa santri?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Santri itu Ranggawarsita (1802-1873). Saat remaja, Ranggawarsita adalah santri. Ia belajar di Pondok Pesantren Gebang Tinatar, Tegal Sari, Ponorogo. Biografi Ranggawarsita memang turut dipengaruhi selama berpredikat santri. Mengapa nama Ranggawarsita tak pernah disebut oleh para ulama, pejabat, dan elite Nahdlatul Ulama? Barangkali Ranggawarsita memang sulit disanjung sebagai santri nasionalis, tapi kerja literasi pujangga Solo itu turut menentukan arah identitas, mentalitas, estetika, dan intelektualitas di Indonesia. Peneliti asal Rusia malah menjadikan Ranggawarsita sebagai pemula sastra modern di Indonesia, bukan para pengarang Balai Pustaka masa 1920-an.

Di pesantren, Ranggawarsita malas belajar ilmu agama dan bahasa Arab. Dia memilih pelesiran dan berjudi. Ranggawarsita itu santri bandel. Predikat sebagai pujangga keraton di Solo cenderung memihak pada aksara Jawa dan Latin. Kemalasan dan kebandelan selama di pesantren turut mempengaruhi gubahan teks-teks sastranya.

Ranggawarsita menulis ajaran-ajaran Islam dalam teks sastra, tapi tak semumpuni ulama. Teks sastra beraksara Jawa mengisahkan mistisme Jawa-Islam. Simuh (1988) menilai Ranggawarsita membuktikan ketekunan mempelajari Islam meski kesantriannya tak tulen. Di kalangan Islam, Ranggawarsita mungkin masih sulit dihormati sebagai santri. Apakah akibat tak bersarung atau rajin membaca kitab kuning sehingga Ranggawarsita tak pantas dijuluki santri? Kita pantas meragukannya jika berkenan membaca Cemporet, Hidayat Jati, Kalatidha, Jaka Lodhang, dan Jayengbaya. Kehadiran teks-teks sastra itu tak terwujud jika Ranggawarsita tak berpredikat santri. Beliau itu santri beraksara Jawa dan Latin, bukan santri beraksara Arab.

Kini, publik mungkin semakin sulit menghormati Ranggawarsita sebagai santri meski menulis ajaran-ajaran Islam dalam sekian teks sastra beraksara dan berbahasa Jawa.

Kita beralih saja ke urusan bahasa. Siapa santri? Sebutan santri sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sebutan itu bersaing dengan sebutan student, murid, pelajar, atau siswa saat Indonesia bergerak ke zaman kemajuan, sejak awal abad XX.

Para ahli bahasa dan pembuat kamus tergoda memasukkan istilah santri di buku tebal. Mereka mesti mencari acuan agar pengertian tak sembarangan atau salah. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) menulis "senteri", bukan "santri". Beliau mengartikan "senteri" adalah "murid atau orang jang menuntut peladjaran Islam di madrasah atau pesantren". "Senteri" juga berarti "orang jang beribadat."

Sebelum Kamus Umum Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Balai Pustaka, Poerwadarminta sudah mengumumkan buku Logat Ketjil Bahasa Indonesia, terbitan J.B. Wolters Groningen-Jakarta, 1949. "Senteri" berarti "pengembara mentjari ilmu", "peladjar sekolah agama Islam", "orang jang beribadat benar-benar". Ikhtiar Poerwadarminta mengartikan santri dalam kamus sudah didahului oleh D. Iken dan E. Harahap dalam Kitab Arti Logat Melajoe (1916). Penulisannya tetap "senteri", yang berarti "moerid soerau" atau "peladjar Koeran".

Apakah usaha itu bakal diikuti para pembuat kamus di Indonesia? Pengertian santri terus diinginkan gamblang dan lengkap. E. Harahap dalam Kamoes Indonesia (1942) malah menambahi pengertian "senteri". Pembaca mendapat godaan "memperluas" arti. "Senteri" berarti "peladjar dalam sekolah tinggi oentoek ilmoe agama dan ilmoe hakim", "moerid bakal imam". Di Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1952) susunan Sutan Mohammad Zain, "senteri" berarti "bakal orang alim".

Barangkali kamus-kamus itu tak sempat dibaca oleh panitia Hari Santri Nasional, pejabat di pemerintahan, dan intelektual NU. Penjelasan tentang santri masih mengesankan referensi ke pesantren, bersarung, kitab kuning, dan fasih berbahasa Arab.

Saya jadi teringat lagi pada Ranggawarsita.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB