x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wanita Pejuang

Novel yang dibangun dari kisah nyata sang penulis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Akhir Sebuah Penantian

Penulis: Sri Suparni Soedomo

Tahun Terbit: 2014

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Multi Presindo

Tebal: x + 306

ISBN:  978-602-1227-09-1

Penulis buku ini, Sri Suparni Soedomo menggolongkan bukunya sebagai sebuah novel. Menurut saya buku ini bukanlah novel. Meski nama-nama pelakunya diganti atau disamarkan, namun alur kisahnya sungguhlah tetap sebuah kisah nyata yang tidak diubah. Sebuah novel yang berdasarkan kisah nyata sekalipun, selalu ada dramatisasi dalam alurnya. Namun “novel” ini benar-benar ditulis dengan alur apa adanya.

Novel ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Raharni. Kisah diawali saat Raharni bersiap menghadapi ujian S-1 di sebuah kampus di Tarakan. Selanjutnya kisah ditarik mundur sampai pada masa Raharni masih kecil di sebuah desadi Kabupaten Grobogan. Kisah tentang masa SD, SMP dan kemudian SPG di Grobogan ditulis dengan sangat rinci dan detail. Demikian pun dengan kisah percintaannya dengan Rahardi, tetangganya yang kemudian menjadi polisi. Raharni akhirnya menikah dengan Rahardi dan mengikuti suaminya ini pindah ke Tarakan. Sekali lagi, Sri Suparni menggambarkan dengan sangat rinci kondisi Tarakan, khususnya asrama polisi dan lingkungan dimana ia tinggal.

Saat anak keduanya lahir, pasangan Raharni-Rahardi memutuskan untuk kembali ke Jawa. Di sinilah terjadi sebuah musibah. Rahardi meninggal karena kecelakaan. Kesedihan Raharni menjadi-jadi karena mertuanya menganggapnya menjadi biang keladi kematian suaminya. Sebuah kepercayaan lokal yang menyebabkan Raharni disingkirkan oleh sang mertua. Merasa tak memiliki harapan, Raharni memutuskan untuk kembali ke Tarakan dan menjadi guru. Perjuangannya yang keras membawanya kepada sebuah keberhasilan sebagai seorang pendidik. Bahkan ia berhasil membawa adik-adiknya untuk ikut serta membangun hidup di Tarakan.

Seperti telah disinggung di atas, novel ini disusun berdasarkan kisah nyata, kehidupan penulisnya. Gaya penulisannya sebenarnya lebih cocok disebut memoir daripada novel. Sebab dalam pengisahan, Sri Suparni tidak membangun alur yang dramatis, seperti halnya sebuah novel. Sri Suparni memilih mengisahkan secara deskriptif perjalanan hidupnya. Bahkan nama-nama kampung, sekolah dan teman-temannya tidak ada yang disamarkan. Hanya tokoh utamanya saja yang berganti nama.

Novel atau saya lebih suka menyebutnya sebagai memoar ini sungguh sangat berguna. Sebab Sri Suparni menyusunnya dengan sangat rinci. Buku ini bisa menjadi acuan dalam penyusunan sejarah Grobogan. Rincian kondisi alam, persekolahan, situasi sosial dan kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh penduduknya terungkap dengan sangat jelas dan rinci dalam buku ini.

Banyak ahli sejarah menyusun kebenaran sejarah berdasarkan dokumen-dokumen yang ditulis pada jamannya. Jeffrey Hadler menggunakan tulisan-tulisan para guru untuk merekonstrukti sistem matriarkal di Tanah Minang dalam bukunya “Sengketa Tiada Putus.” Sejarah Nusantara disusun oleh banyak ahli dengan mengandalkan catatan-catatan para pengelana Arab maupun China. Peter Carey menyusun ulang riwayat hidup Pangeran Diponegoro berdasarkan babad yang ditulis oleh Diponegoro dan catatan-catatan pejabat Belanda yang bertugas di Jawa pada era Diponegoro.

Saya menghargai karya Sri Suparni ini sebagai sebuah dokumentasi sejarah Grobogan yang sangat penting. Catatan-catatannya yang rinci dan teliti sangat layak dipakai sebagai rujukan penulisan sejarah Grobogan era 1970-1990. Sayang sekali buku ini digolongkan sebagai novel oleh penulisnya.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler