x

Iklan

Fahmy Radhi

Pengamat Ekonomi Energi UGM
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kemandirian Energi pada 3 tahun Pemerintahan Jokowi

Pergantian Presiden pada 2019 dikhawatirkan pembangunan kemandirian energi, yang belum selesai, tidak akan pernah dilanjutkan oleh Presiden baru

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kinerja selama 3 tahun Pererintahan Jokowi di berbagai bidang, dinilai cukup baik dan signifikan, termasuk capaian kemandirian energi. Kendati belum semua target dicapai, namun kebijakan dan langkah dalam pencapaian kemandirian energi dinilai sudah sudah pada jalur yang tepat (the right traack).  Kebijakan energi pemerintahan Jokowi yang berdampak besar, salah satunta adalah pengalihan subsidi BBM dari konsumsi ke sektor produktif, dengan mencabut subsidi Premium dan mengurangi subsidi Solar.

Pengurangan beban subsidi melalui penaikan harga BBM sesungguhnya  sesuai dengan visi dan misi Jokowi-JK yang dijanjikan. Dalam kampanye Pipres, tim sukses Jokowi-JK melontarkan bahwa Pemerintahan Jokowi akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan. Pengurangan subsidi itu dilakukan dengan mengalihkan subsidi untuk konsumsi dialihkan pada kegiatan produktif, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Pada 2014, Pemerintah masih memberikan subsidi BBM sebesar 46,79 juta KLturun drastis menjadi 7,15 juta KL pada semester I/2017. Sedangkan subsidi LPG dari 4,99 juta MT diturunkan menjadi 3,10 juta MT.

Demikian juga dengan Kebiajakan BBM Satu harga, tidak hanya menciptakan keadilan, tetapi juga memberikan multiplier effect di daerah-daerah Indonesia bagian Timur. Kebijakan ini memang sangat mulia, utamanya bagi rakyat Papua. Pasalnya, harga Premium di Papua selama ini bekisar antara Rp. 25 ribu hingga Rp. 100 ribu per liter, bandingkan dengan harga Premium di Jawa hanya sebesar Rp. 6.450 per liter. Hingga akhir September 2017, penerapan kebijakan BBM Satu Harga sudan mencapai 59 lokasi dari 157 lokasi yang ditargetkan dicapai pada 2019.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain capaian itu, penerimaan negara dari sektor Migas juga mengalami penurunan secara drastis, selama 3 tahun Pemerintahan Jokowi. Pada 2014, penerimaan Migas masih sekitar Rp. 320,25 triliun turun menjadi Rp. 92,43 triliun pada semester I/2017. Penurunan pendapatan dari sektor Migas lebiah banyak disebabkan adanya penurunan harga minyak dunia dan lifting Migas Indonesia. Pada 2014 harga minyak dunia masih bertengger sekitar US$ 61, 23 per barrel turun menjadi US$ 57.75 per barrel. Sedangkan Lifting Migas pada 2014 masih mencapai 794.000 barel per hari (bph) turun menjadi 729.000 bph pada semester I/2017, masih lebih rendah ketimbang target lifting yang ditetapkan pada APBN sebesar 815.000 bph.

Untuk mengatasi penurunan lifting dan meningkatkan kemandirian energi, Pemerintahan Jokowi mengambil alih beberapa lahan Migas dari kontraktor asing, yang kontraknya sudah berakhir, lalu menyerahkan pengelolaan kepada Pertamina. Setelah lebih 50 tahun, Blok Mahakam dikuasai oleh Total E&P Indonesie diserahkan kepada Pertamina pada 2018, saat kontrak berakhir. Meskipun, Total E&P Indonesie masih diberikan kesempatan untuk memiliki saham hingga 39%, namun Pertamina akan bertindak sebagai operator Blok Mahakam

Pengalihan pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina akan menjadi “preseden baik” bagi negeri ini. Pertamina akan semakin PD alias percaya diri dalam setiap pengambil-alihan Lahan Migas dari kontraktor asing, sehingga semakin meningkatkan akumulasi kemampuan Pertamina dalam pengelolaan Lahan Migas. Akumulasi kemampuan Pertamina itu akan sangat berguna pada saat Pertamina mengoperasikan lahan Migas di luar negeri, yang diakuisisi oleh Peramina.

Demikian juga dengan upaya pengambil-alihan Freeport merupakan capaian kinerja yang patut diacungi jempol. Keberhasilan dalam perundingan dengan Freeport, untuk mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK), dengan ketiga syarat Smelterisasi, Divestasi 51% saham, dan tax rezime, merupakan wujud nyata pencapaian kemandirian energi Pemerintahan Jokowi. Persetujuan Freeport itu menunjukkan bahwa posisi Indonesia saat ini di atas angin dalam proses perundingan dengan Freeport. Hanya persetujuan Freeport terkait mekanisme dan metode penetapan harga saham divestasi 51% masih harus dirundingkan lebihi lanjut.

Meskipun capain kinerja kemandirian energi Pemerintahan Jokowi cukup menggebirakan, namun masih ada yang “jeblok”, salah satunya adalah capaian pembangunan Listrik 35.000 MW. Mega Proyek, yang ditargetkan selesai pada 2019, mencakup 109 proyek. Sebanyak 35 proyek pembangkit dibangun oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan total kapasitas 10.681 MW. 74 proyek dengan total kapasitas 25.904 MW diserahkan kepada Perusahaan Swasta dalam skema Independent Power Producer (IPP).

Hingga memasuki tahun ketiga Pemerintahan Jokowi, capaiannya masih sangat rendah. Data PLN menunjukkan dari 35.000 MW baru 639 MW atau 0.02% sudah beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date). 10.442 atau sekitar 29,83% sudah memasuki tahap konstruksi. Sedangkan, 7.533 MW atau sekitar 21,52% dalam tahap perencanaan, 8.217 MW atau sekitar 23,47  tahap pengadaan, dan 8.806 MW atau sekitar 25,16% sudah diserahkan IPP, tetapi belu belum memasuki tahap konstruksi.

Rendahnya capaian tersebut menjadi alasan bagi berbagai pihak untuk mendesak Pemerintah untuk merevisi proyek 35.000 MW, baik revisi terhadap besaran 35.000 MW yang dianggap terlalu besar, maupun revisi terhadap target waktu penyelesaian. Kalau revisi terhadap waktu penyelesaian masih bisa ditoleir. Namun kalau revisi, dengan memangkas 35.000 MW menjadi 20.000, barangkali akan menimbulkan permasalahan serius bagi pembangunan industri. Alasannya, penetapan 35.000 MW sudah didasarkan pada sisi kebutuhan (demand based) untuk mememuhi 100% electricity rate, yang saat ini masih mencapai 92%. Selain itu, kapasitas listrik 35.000 MW juga dibutuhkan untuk memasok perkiraan peningkatan  permitaan industri, yang menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi di atas 7%.

Meskipun Pemerintah akan menunda waktu realisasi penyelesaian Proyek Listrik 35.000 MW, namun Pemerintah masih memprioritaskan percepatan elektrifikasi di Pedesaan Indonesia. Melalui Peraturan Menteri ESDM No. 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, Pemerintah berkomitmen untuk mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik, dengan prioritas: pedesaan belum berkembang, pedesaan terpencil, pedesaan perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk. Prioritas elektrifikasi pedesaan menunjukan komitmen pemerintah pada rakyat di pedesaan. Komitmen serupa juga ditunjukan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir tahun 2017 dan tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450W, serta 30% pelanggan 900W, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin.

Target kemandirian Energi memang belum sepenuhnya dicapai pada 3 tahun Pemerintahan Jokowi, bahkan di akhir periode pertama masa bakti Presiden Jokowi pada 2019 diperkirakan belum juga akan tercapai. Agar target pembangunan kemandirian energi dapat dicapai secara tuntas, ada urgensi bagi Jokowi untuk melajutkan masa bakti Presiden periode kedua pada 2019-2024. Pergantian Presiden pada 2019 dikhawatirkan bahwa pembangunan kemandirian energi, yang belum selesai, tidak akan pernah dilanjutkan oleh Presiden baru, seperti yang terjadi selama ini. (Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas)

Ikuti tulisan menarik Fahmy Radhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB