x

Iklan

Zdavir Andi Muhammad

Penulis merupakan alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Hasanuddin angkatan tahun 2012 dan kini tengah mengampuh Studi S2 untuk jurusan Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan di Sekolah Pasca Sarjana Unhas
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjembatani Perdebatan Budaya Dalam Agenda Pembangunan Kita

Tulisan ini berusaha menjembatani perdebatan kebudayaan dalam ekonomi, Misalnya apakah pelarangan becak termasuk dalam masalah budaya ataukah ekonomi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjembatani Perdebatan Budaya Dalam Agenda Pembangunan Kita

 

Tak jarang, terdapat perdebatan ketika pemerintah mengambil keputusan yang dianggap kontroversial (dan memang kontroversial, tapi tidak an sich!), lalu masyarakat sibuk mencibir dan mengkritik. Media sosial sibuk beriuh-rendah. Dan para akademisi sibuk dalam pergulatan teoritis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Misalnya, ketika pemerintah mengambil kebijakan pelarangan becak pada satu jalan. Orang-orang akan sibuk memperdebatkan pemerintah menghilangkan lokalitas kota. Di Makassar, kebijakan atau tulisan-tulisan akan naik cetak dengan tema argumen “Pemerintah menggerus budaya kita”. Atau misalnya di Jakarta ketika kebijakan pelarangan penggunaan bajai di Jalan Merdeka Utara, tepat di depan Istana Negara. Yang satu berargumen “Bajai mengganggu estetika kota”, yang satunya lagi berargumen “Pemerintah menghilangkan lokalitas dan budaya Jakarta”. Pertanyaan yang harus kita kemukakan ialah, apa itu budaya?

 

Apa Itu Budaya Dalam Ekonomi?

Perdebatan ini perlu kita utarakan dan perbincangkan sekarang. Agar kelak ketika pengambilan suatu kebijakan tidak acap menjadi kontroversial. Atau boleh jadi perdebatan ini terjadi akibat kegagalan pemerintah yang mengambil kebijakan namun gagal dalam merangkul seluruh elemen masyarakat.

Dalam literatur-literatur modern ekoomi sendiri, penulis acap gagal menemukan padanan kata budaya di tiap-tiap lembar literatur yang hadir. Joan Robinson sendiri minim mengutarkan kata ini. Jika anda membaca Laporan Roma: Batas-Batas Pertumbuhan juga anda akan gagal menemukan apa yang anda cari. Tampaknya penggalian kata ini memang hanya banyak ditemukan pada literasi yang membahas mengenai keadaan ekonomi di negara-negara dunia ketiga, walaupun jarang secara gamblang dan mendapatkan satu lembar khusus tersendiri.

Budaya acap diartikan sebagai perilaku yang menjadi kebiasaan. Misalnya, budaya dalam masyarakat timur acap disebut menyingkirkan peranan perempuan dalam agenda pembangunan. Dalam hal ini, budaya pembangunan masyarakat bersifat eksklusif. Berhenti pada titik ini, budaya tidak hanya berbicara pada bentuk, namun juga pada pola pikir masyarakat.

 

Budaya dan Mentalitas

Literatur ekonomi modern sendiri kurang menggarap sisi ini. Pun jika kita temukan, kita hanya menemukan padanan kata “Mentalitas”, “Kapasitas”, dan “Kapabilitas”. Dalam Koentjoroningrat, perdebatan mengenai budaya dan mentalitas pembangunan jarang menempatkan “kata benda” dalam perdebatannya, melainkan bagaimana progres serta pola pikir masyarakat dalam membangun identitas dan ekonomi bangsa. Lebih jauh bahkan ia berbicara bagaiman “budaya” masyarakat Jepang dalam membangun. Tidak ada perdebatan mengenai becak, bemo dan bentor di dalamnya.

Berbicara mengenai budaya dalam pembangunan maka kita akan menemukan padanan kata “Kapasitas” maupun “Kapabilitas”, yaitu kemampuan suatu entitas dalam melakukan suatu hal. Semakin baik kapabilitasnya, semakin berkualitas pula aktivitas yang entitas tersebut hasilkan.

Perdebatan apakah pelarangan becak maupun bajai mengganggu estetika kota acap disinggungkan mengenai perdebatan budaya. Pertanyaan yang mengemuka ialah, jika manusia merupakan makhluk yang terus menciptakan dan berkarya, bukankah kita akan terus menciptakan teknologi, dalam hal ini teknologi transportasi baru dan menggantikan yang lama? Menulis pendapat ini, mungkin akan ada yang kemudian berceloteh, saya merupakan orang yang anti budaya maupun antipatik terhadap masyarakat menengah bawah. Patut anda ketahui, tulisan ini belum selesai

 

Ekonomi dan Perdebatan Budaya

Melarang bentor, bajai maupun becak bukan berarti kita anti terhadap budaya (baik pun jika kita tidak membicarakan budaya dalam sesi tulisan kita) maupun antipatik terhadap masyarakat menengah ke bawah. Pun kebijakan pemerintah yang melarang bajai, bentor, maupun becak patut mendapat kritik dalam tulisan kita. Mengingat, pelarangan tersebut akan menghilangkan pendapatan masyarakat yang kehilangan potensi pendapatan akibat pelarangan yang baru saja kita sebut. Sehingga, strategi mitigasi dalam ekonomi, yaitu pemberian insentif ekonomi seperti pemberian pelatihan usaha maupun pelatihan kerja di bidang usaha lain merupakan sebuah upaya yang patut diambil oleh pemerintah agar masyarakat yang kehilangan pekerjaan ini bisa mendapatkan pekerjaan baru dengan skill baru yang dimilikinya.

Di satu sisi, pelarangan ini seharusnya memiliki insentif khusus ketika asumsi yang diambilnya diikuti asumsi lain yang mengikuti. Misalnya, pelarangan becak, bajai, maupun, bentor diambil akibat jenis kendaraan ini banyak memproduksi gas emisi buang yang dapat menciptakan polusi lingkungan yang tinggi dan memengaruhi kualitas lingkungan hidup. Maka, kebijakan pemerintah yang seharusnya berdimensi keadilan tidak hanya diterapkan pada tiga jenis kendaraan ini, juga diterapkan pada jenis kendaraan lain seperti truk yang telah melewati ambang batas umurnya sehingga memproduksi gas emisi buang yang sangat tinggi.

Atau misalnya pelarangan becak, bajai, maupun bentor diambil akibat jenis kendaraan ini dianggap banyak mengisi volume jalanan dan akibatnya tidak efektif dan efisien dalam mengangkut penumpang (misalnya, kapasitas volume yang digunakan oleh kendaraan ini tidak sebanding dengan kapasitas penumpang yang diangkutnya hingga tidak efektif dan efisien), maka asumsi tersebut harus diterapkan pula pada kendaraan pribadi yang juga banyak meluber di jalan raya dan menciptakan kemacetan di mana-mana ketika kendaraan pribadi roda empat hanya diisi satu-dua orang.

Definisi mengenai budaya harus kita artikan secara cermat dan jelas. Tak lagi implisit. Juga tak lagi menerawang. Agar tak ada lagi ruang perdebatan mengenai kebijakan yang diambil pemerintah yang ditimbang mengenai beberapa aspek. Perdebatan memang perlu. Namun perlu pula kita memikirkan solusinya. Jika kita mengartikan budaya dalam arti apa yang berada pada masa lampau dan itu patut kita pertahankan, bukankah seharusnya kita semua masih naik kuda?

Ikuti tulisan menarik Zdavir Andi Muhammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler