x

Iklan

Iman Zanatul Haeri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aksi Politik Kelas Menengah

Tulisan ini merupakan catatan analisa politik Jakarta selama selama bulan Desember 2016 hingga Maret 2017.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

" Sejarah telah memberi kita berbagai contoh bahwa negara yang menikmati rahmat dari agama (ed) menunjukan adanya usaha penyembunyian hal-hal yg bersifat keduniawian dan oposisi yang berbahaya dalam sebuah kekudusan atau kesucian. Dan hal ini tampak tidak lebih menarik dalam perjuangan melawan kelaliman rohani."

--Karl Marx, "Revolusi-Revolusi di Eropa" page 34. –

 

I

Penangkapan beberapa aktor politik dengan tuduhan makar, mengesankan bahwa pemerintah memiliki ketakutan yang terbuka bahwa eskalasi aksi "membela Islam" 411 dan 212 membuka perdebatan lama nengenai politik identitas Islam di Nusantara. Melalui media Sosial setiap individu merasa harus berbicara tentang isu tersebut, sehingga kemudian analisa politik identitas menjadi sangat gemuk dan mubazir. Disisi lain, para pengamat yang hendak melakukan kajian politik kelas atas peristiwa tersebut dilingkari oleh kepercayaan diri rendah untuk membedahnya, sebab begitu kurang terperincinya beberapa mekanisme teori analisa politik kelas memetakan aktor-aktor politik dalam peristiwa tersebut. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama-tama bahwa peserta aksi diikuti oleh berbagai lintas kelas sosial dilingkupi tebalnya kabut visual tentang "penanda" bahwa mereka adalah suatu unity dari politik identitas Islam. Kedua, bahwa perangkat ekspresi politik seperti gadget dimiliki oleh semua kelas sosial sehingga kemudian kita menemukan banyak kelas bawah yang berwatak kelas menengah, misal gaji UMR tapi gaya hidup ala selebgram.

Kecenderungan ini membuat kita melupakan bahwa kisruh politik di DKI dimulai oleh konflik laten lembaga eksekutif dan legislatif yang telah berlangsung cukup lama, sehingga korban diantaranya merupakan massa berbasis kekecewaan atas pergantian rezim kapital antara borjuasi lokal DKI dengan kapital global. Seandainya analisa politik kelas ini diterapkan, kita akan mampu melihat bahwa aktor-aktor politik dalam kekisruhan yang menyeret agama didalam ring tinju tanpa pengaman apapun, membuat "Islam" babak-belur secara diskursif, bahkan oleh pendukungnya sendiri. Sementara itu kompetisi tersebut hanya menyediakan pemenang tunggal; kapital dan kapital.

Politik kelas tetap akan menyatakan jurang yang menganga diantara drama politik alam bawah sadar ini; bahwa ketika kapital global dan borjuasi nasional serta kelas menengah lokal berseteru sekencang-kencangnya, tetap saja bahwa Kelas bawah/proletar/kaum miskin kota/angkatan kerja berpendidikan rendah berada pada jaminan bahwa mereka tetaplah alas kaki atas perseteruan itu; diinjak, digusur, ditangkap atau ditundukan oleh perseteruan antar kapital tersebut diatas.

Mari kita mengambil tiga sample; Habib Rizieq, Ahmad Dhani dan Rachmawati Soekarno Putri. Dapatkah analisa politik kelas menempatkan aktor-aktor populer dalam kisruh politik tersebut kedalam koridor politik kelas?

Lalu, tanpa harus berdebat tentang jumlah peserta aksi tersebut; dapatkah kita mengetahui mengapa aksi tersebut sangat bergantung pada peserta impor dari wilayah kota-kota menengah seperti Bekasi, Cilegon atau Kupang? Apakah relasi antara kota besar dan kota menengah? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dapat mengungkap bagaimana perubahan-perubahan politik dilakukan oleh agen-agen kelas menengah di kota-kota menengah yang berbeda dengan kelas menengah ibukota. Sedikitnya, terjawab dengan hasil poling yg selalu menempatkan Ahok sebagai calon terkuat (di DKI) sebelum kekisruhan tersebut muncul. 

Hipotesa pertama, bahwa kepemimpinan Ahok adalah angin segar bagi kapitalisme Global, dengan dukungan kelas menengah ibukota yang berkesadaran global (transparansi, efesiensi, go green, anti-kumuh,  hingga tata kota futuristik). Hipotesa kedua, relasi antara kelas menengah kota menengah dengan borjuasi lokal yang tersinggir (contoh: hj lulung), serta elit masa kelas menengah relijius (misal Habib Rizieq) semakin terkonsolidasi akibat menyebarnya atmosfer "rasa tersinggir", yang dalam kajian Klinken dan Berenshot (2016), mereka, menyimpan sisi konservatif agama (Islam) dalam sanubarinya. [1]

 

 

II

Pemandangan mengejutkan dari terminal-terminal, stasiun-stasiun kota Serang, Cilegon, Bekasi, Ciamis, Kupang, Jambi, Padang, Banjarmasin, Palu dan kota-kota lainnya yang disesaki oleh massa berbaju putih menuju Jakarta merupakan gambaran tentang kuatnya konsolidasi umat Muslim terhadap wacana-wacana yang dianggap menodai agama mereka. 

Lebih dari sejuta orang dari berbagai kota di Indonesia tersebut datang untuk mengikuti aksi yang dinamai “Aksi Bela Islam”, yang berjilid-jilid itu.  Solidaritas ini disambut oleh keharuan dan militansi yang dikobarkan oleh agen-agen hegemonik agama melalui media dan para pengkhotbahnya.  Perhatikanlah senyum Aa Gym ketika jadwal Dakwahnya makin padat. Ahok menyelamatkannya dari masa-masa suram berdakwah tanpa pamrih meski Aa tak ada niat untuk berterima kasih.

Betul kata Ali Syariati, Marxisme tidak akan mampu memahami mengapa sejengkal tanah di sekitar Ka’bah lebih berharga daripada sejengkal tanah dimanapun. Materialisme Marx, kata Syariati, tidak akan mampu membuat gerakan-gerakan politik berlandaskan ketakwaan dan ketaatan umat selama melihat dunia rasional yang didalamnya angka-angka statistik. 

Namun juga, disitulah letak persoalannya. Indonesia merupakan kuburan bagi manifesto-manifesto politik tentang kekecewaan yang bergentayangan. Fakta sejarah sosial di Indonesia selalu menunjukan bantahan-bantahan terhadap proyeksi politik yang pernah singgah dibumi pertiwi.

Pertama-tama marilah kita sambut kegagalan spectacle yang dilakukan oleh Comte dalam studi Sejarah Perkembangan Manusia, bahwa diakhir sejarah perkembangan masyarakat akan mengalami dunia positif, yang diisi oleh perangkat teknologi disegala aspek dan fakta ilmiah adalah Tuhan yang terakhir, yang pantas disembah. 

Namun sampai abad XXI, ketika teknologi hampir mengisi seluruh ruang hidup masyarakat Indonesia, agama tetap menjadi anomali irasional yang terus menari-nari diatas regulasi teknologi rasionalitas. Sebutlah studi belakangan yang dilakukan oleh Cliford Geertz pada tahun 1950-an terhadap masyarakat Pulau Jawa, bahwa mereka terbagi dalam Tripologi; Santri, Abangan dan Priyayi. Tripologi ini malah menambah persoalan; bagaimana Clifford Geertz memandang Soekarno? Yang memiliki ketiga karakter “Religion of Java” sekaligus.

Meski Indonesia bukan hanya Pulau Jawa, namun sangat mungkin menganggap bahwa Jawa adalah miniatur Indonesia yang dipadatkan. Cara yang memaksa ini mirip rencana Pembuatan TMII, yang mengkerdilkan Indonesia menjadi sekedar selera Seni Nyonya Besar Orde Baru yang diselimuti wewangian Jawasentris. 

Dipulau ini seluruh kepentingan wilayah lain yang terbentang dari ujung Sumatera, Samarinda, Ujung Pandang, Maluku hingga Papua bertarung dalam regulasi ekonomi, birokratik, jaringan-jaringan lama dan baru yang silih berganti. Lebih padat lagi, bahwa pertarungan antara Ideologi Negara, kepentingan Kelas sosial dan pertarungan lainnya terjadi dan terus menjadi Sorotan adalah posisi strategis ibukota Jakarta.

Peristiwa ekonomi politik di Jakarta lebih menjanjikan bagi pemirsa diwilayah ‘daerah’. Kematian tokoh sinetron Si Boy Anak Jalanan Contohnya; adalah bukti hegemoni budaya industri televisi di Jakarta yang mampu membuat beberapa Ibu-ibu di daerah (Sumatra, kalimantan, Sulawesi dll) meraung-raung menangisi tokoh sinetron tak mendidik itu.

Jakarta adalah skup kecil yang pertarungan kelas sosialnya dimainkan oleh para pendekar daerah, yang mencoba peruntungan ditanah rantau yang kejam itu. Sedikitnya mampu bertahan, kebanyakan kandas karena watak konsumtif kelas menengah daerah tak akan mampu membayar banyak penjual hasrat diJakarta, yang hampir membuat segalanya menjadi mungkin dibeli dan menjadi sangat tidak dicapai “daya beli”.

Sebelum tahun 2012, tidak ada konsultan politik manapun yang percaya diri untuk menawarkan draf harapan pada calon Gubernur Jakarta, bahwa dengan menjadi Gubernur, prospek politik menuju Kursi tertinggi diHamparan Nusantara akan semakin terbuka.  Namun begitulah, mirip dengan ibu-ibu kelas menengah yang mengejar diskon dibeberapa mall Jakarta, para politikus kesiangan berbondong-bondong mencoba berkontestasi untuk menjadi DKI 1. Kesalahannya hanya satu, namun sulit disembuhkan; mereka memakai cara-cara lama. 

Mereka lahir dan disusui oleh Orde baru beserta watak-wataknya yang puluhan tahun membuat para pemain kapitalisme Global mengerutkan dahi. Kekecewaan kelas sosial ini bertemu panggilan-panggilan pengkhotbah yang menyediakan jawaban melalui ayat-ayat suci dan memberi tempat terbaik; untuk marah se-marah marahnya pada keadaan, ketika cara-cara lama terbukti tidak berhasil; ketika itulah, ketika kelas menengah merapatkan diri dalam lautan masa yang siap untuk marah.

Lalu para calo fundamentalisme agama Palsu ini mengambil alih estafet kekuasaan. Ketika pikiran kritis kelas menengah atas perasaan tertipu itu muncul, para fundamentalis palsu itu mengakhiri langkah terakhirnya dengan menjejali mereka dengan ayat-ayat suci kembali. 

Dengan begitu, satu-satunya yang tersisa adalah kekecewaan inheren, maka hidung mereka sudah dicongcong dengan sempurna.  Mungkin saja, tahun-tahun kedepan Pemerintahan Jokowi akan dilingkupi kekecewaan kelas menengah yang tidak memahami lagi kebutuhan kelas sosial mereka, sebab saluran kritisnya tengah ditumpulkan oleh seruan para penyebut nama Tuhan dijalanan; meskipun mereka menyesal, tak ada jalan kembali, sebab mereka kini adalah martir yang dalam satu tombol akan bergerak untuk perintah yang tak bisa dilawan lagi; khawatir-membenci-lalu marah.  Begitulah cara terbaik membuat kelas sosial ini menjadi mayat hidup diantara beton-beton sosial.[2]

 

III

Pendukung Militan Ahok merupakan tanda tumbuhnya kelas menengah berkesadaran global. Mereka adalah penduduk berideologi poros tengah yang merasa kompetisi ekonomi-politik selalu dimonopoli oleh elit tradisional warisan Orde Baru. Mereka hadir untuk mendukung reformasi birokratik, mendukung keindahan individualistik dan sepakat: orang miskin mengganggu pemandangan saja.

Sehingga cukup mungkin mereka kehilangan rasa iba dalam setiap penggusuran.  Karena dangkalnya cita-cita hidup kelas menengah ini, maka mudah bagi mereka untuk berpelukan dengan monster dimasa lalu bernama Orba, sebab konsekwensi hasrat liberal yang tak matang itu. 

Disisi bersebrangan kekuatan elit tradisional yang terdiri dari kelas Menengah berkesadaran lokal, mulai terhimpit oleh terbukanya akses informasi diera digital sehingga klik jaringan lama mulai usang dan ditinggalkan. Contoh sederhananya adalah nasib haji lulung yang mulai kehilangan akses monopoli terhadap beberapa pusat ekonomi di Jakarta.

Kenyataan menakutkan itu mulai menemukan sang malaikat baru tatkala Anies Baswedan bersafari politik menjanjikan kemegahan masa lalu, yakni kenangan indah kala mereka berbisnis dengan jutaan kemudahan-kemudahan ekslusif dan terbatas pada mereka-mereka saja. Hal ini ditandai dengan foto berpelukan di haul sang ditaktor jendral Soeharto beberapa waktu lalu. 

Sehingga satu kali Tommy Soeharto memajang wajahnya di media, mereka akan meraung menangis terharu oleh karena kerinduan yang konyol. Pada Tahun-tahun berikutnya mereka telah dan akan terus bekerja membuat kisruh politik menjadi agenda harian, sebab, dari suramnya persaingan dengan pencari kerja multi-talent futuristik; hanya upah dari kisruh politik yang pembayarannya begitu sederhana dan mudah mereka fahami. 

Kelas menengah tradisional ini terhitung dengan jari kepemilikan tanah mereka di wilayah Administrasi DKI Jakarta. Mereka yang sedikit ini harus merangkai solidaritas dari pinggiran Ibukota untuk memungut sisa-sisa korban dari efesiensi yang keras dari Jakarta yang semakin tekno-sentris. Basis mereka tersebar dikota Satelit seperti Depok, Bekasi dan Bogor.

Mereka akan berkumpul ditempat-tempat orang-orang keras kepala menemukan Tuhan mereka yang Pemarah. Barisan mereka akan semakin rapat, terutama konsekwensi dari penolakan atas kemajuan zaman. Sangat mudah menduga mengapa peristiwa berdarah akan mengintai simbol-simbol perubahan seperti Ojek online

Menang atau kalah, reformasi birokratik Ahok sudah menjadi wacana harian warga Jakarta lintas kelas sosial. Meski Anies Menang, kelas menengah berkesadaran global tetap diatas angin karena sudah menyatu dengan lapangan tekno-sosial di Jakarta. Kecuali bila kelas menengah tradisional mendapat panggung dalam suatu peristiwa sejarah (lagi) dan memutar balik roda sejarah penuh darah—seperti tragedi 1965.

Namun ambisi Anies untuk sampai R1 akan membuatnya berupaya menyenangkan semua orang; sehingga partisipasi politik mereka akan cenderung melalui jalur demokratis. 

Pilkada DKI sudah beralih fungsi. Dan terkadang disinformasi. Bagi kaum miskin kota dan Kelas menengah dalam ketegangan (gaya hidup tinggi tapi kreditan), yang dalam sekali peristiwa saja bisa turun kelas sosialnya, akan menjadi manusia mengambang ditempatnya berpijak. Menyewa rumah seumur hidup adalah satu kemungkinan yang tidak pernah dibisikan penguasa manapun.

Laporan Tirto.id tidak mengejutkan kala menampilkan fakta justru kelas menengah yang terusir dari Jakarta. Bila pada tahun 1960 penduduk yang bekerja dijakarta mudah memiliki rumah di wilayah Jakarta, pada tahun 1990an mereka bekerja di Jakarta namun rumahnya dipinggiran Jakarta, lalu pekerja tahun 2000an tercatat memiliki rumah di Bekasi, Bogor, Depok dan wilayah luar Jakarta lainnya. Dan menjelang 2008, sudah tersedia perumahan diperbatasan ujung kota-kota satelit itu meskipun faktanya mereka masih bekerja di Jakarta. 

Sebagaimana penipuan yang sudah-sudah. Kelas menengah berkesadaran global dan kelas menengah elit tradisional terlena oleh mimpi kosong mereka Sendiri. Bersorak ramai mengusung pemimpin mereka yang dalam keadaan apapun akan menjadikan mereka penyewa permanen.

Maka cukup masuk akal bila banyak kelas menengah terlena ustad televisi karena janji bisa melakukan investasi disurga dengan hitung-hitungan duniawi (LOL). Karena memang selama ini secara objektif mereka di Jakarta tak memiliki apapun. 

Namun, pembiusan ini harus tetap terjaga, sehingga setiap solidaritas antar kelas yang menghubungkan antara (1) kaum miskin kota tersisih (proletar/ wong cilik) dan (2) kelas menengah di DKI Jakarta ( yang berkesadaran global maupun tradisional) harus dipatahkan. Pemisahan ini selalu diupayakan agar elit Nasional mampu menghadirkan "dirinya" sebagai "pahlawan yang dipanggil", yang dibutuhkan banyak pihak untuk menyongsong hari-hari baru dan kepalsuan baru tentunya. 

Oleh karenanya, pertarungan diantara kelas Menengah adalah media kampanye paling murah untuk menghadirkan wacana politik Nasional sebagai interest Rate yang tinggi dan stabil. Misalnya, pemberitaan pernyataan dan tindakan bahkan skandal elit Nasional yang menggempur tiap gadget kelas menengah dengan informasi apapun, yang tidak penting sekalipun. Meskipun itu hanya berita kelahiran seekor Kambing. 

Bagaimanapun, kelas menengah adalah kunci gerakan sosial. Untuk meminimalisir hadirnya pemimpin populis dari Ultra-kanan atau moderat-pasif, pendidikan politik-media saja tidak cukup, sebab basis ideologi keberpihakan pada kaum miskin kota/tertindas akan menentukan sejauh mana kesadaran kelas menengah mampu menggapai kondisi objektif kelas dibawahnya.[3]

Sejarah mencatat korban dari pertarungan elit tidak sepenuhnya ditanggung oleh aktor politik tersebut secara menyeluruh. Prilaku politik Ahok tidak hanya mengancam karir politiknya sendiri, Namun mengancam kehidupan luas etnis yang teridentifikasi Cina.

Sebab sejarah mencatat bagaimana Pilkada DKI merupakan kelanjutan dari proses dialektik historis yang pernah terjadi sepuluh tahun silam ditempat berbeda dengan agitasi yang hampir mirip. Bagaimana hal ini bisa diungkap, tentu melalui proses yang rumit dan unik. Sebab kita akan sama-sama menyaksikan bahwa kaum Libertarian global membuka peluang analisa ini.

Bersambung,



[1] Bagian kesatu ini sudah ditulis pada tanggal 10 Desember 2016

[2] Catatan ini dibuat pada tanggal 27 Januari 2017

[3] Catatan ini dibuat pada tanggal 17 Maret 2017

Ikuti tulisan menarik Iman Zanatul Haeri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB