x

Iklan

Iman Zanatul Haeri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aksi Politik Kelas Menengah Bagian Empat

Aksi Politik Kelas Menengah yang bermuara pada gerakan politik Pilkada DKI dipengaruhi formasi politik global

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

IV

HADIRNYA WIKILEAKS di jagad politik global menunjukan kontradiksi di dalam ideologi liberal,  bahwa para libertarian mulai mengamuk dengan jalan pintasnya masing-masing. Terutama jeritan mereka atas situasi yang tak bisa disangkal lagi bahwa proyeksi neoliberalisme bersamaan dengan demokrasi yang semakin menuju ritual kosong, transparansi yang lebih menunjukan ketelanjangan nir-keterbukaan, dan kucuran dana hutang yang tak pernah menyelesaikan persoalan kesejahteraan sejak IMF didirikan. 

Orang-orang kiri di garis terdepan mesti juga menyadari bahwa libertarian adalah cikal-bakal hadirnya sosialisme—yang pada akhir abad ke-19 dianggap alternatif paling mungkin menutup mata terhadap rakusnya kapitalisme. Masa itu telah berlalu, kita memang butuh alternatif lain.

Wikileaks yang lebih menonjolkan sikap martir ketimbang jawaban sistematis harus diperpanjang umurnya dari kontrak politik yang pendek itu dengan memaksimalkan energi terakhirnya; bocoran data.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekurang-kurangnya, basis perjuangan nafas terakhir mereka adalah bocoran data yang tidak pernah disangkal oleh negara-negara ‘terduga’ melakukan persekongkolan jahat untuk mendapatkan segala keuntungan di seluruh permukaan bumi.

Melalui itu semua, relasi antara watak kelas menengah berkesadaran global dan watak elit lokal-nasional Ibu Pertiwi yang sudah diperkosa berkali-kali akan tersimpul bersama momentum politik tertentu dimana mereka mulai menampakkan wajahnya masing-masing.

Momentum politik tersebut adalah Pilkada—bahwa melalui nafsu politik yang tidak bisa ditutup-tutupi, kampanye politik mereka akan menunjukan prilaku saling menusuk dibelakang namun sangat nyaring bunyi-bunyi sobekan-sobekan berdarahnya. Melalui data Wikileaks, pendengaran kita semakin jelas dan mampu dikenali. 

Satu momentum penting dari sejarah etnis di pulau tropis bernama Indonesia adalah munculnya kesadaran berpolitik etnis Tionghoa. Hal ini bukan tanpa hambatan atau perdebatan sejauh mana keamanan etnis ini untuk tidak lagi menjadi tumbal penguasa—entah kolonial di abad ke-19 atau era Orde Baru—dikarenakan kecakapan mereka berkompetensi secara ekonomi.

Satu hal yang jelas, sentimen Anti-Cina dibentuk era kolonial. Penjegalan Ahok di Pilgub Bangka Belitung (Babel) bisa menjawab fenomena aksi di jalanan pada akhir Desember 2016, dan hasil suara Pilgub DKI Jakarta bulan April 2017. Eko Maulana Ali berhasil mengalahkan Ahok dalam Pilgub dengan serangkaian kampanye hitam dengan diksi: “Lebih baik makan babi daripada memilih pemimpin kafir.[1]

Dalam kabel diplomatik Wikileaks tersebut, di Babel komunitas Kristen melaporkan beberapa grafiti atau coretan tembok menjelang Pilgub Babel 2007 lalu yang bertuliskan “Poso Kedua”, “Cina kafir”, hingga beragam selembaran bertuliskan ancaman bila memilih Ahok, yakni ancaman rumah mereka akan dibakar.

 

Apa yang baru dari semua ini?

Tentu saja gaya kampanye ini menjadi diksi yang sering muncul dipermukaan untuk kampanye-kampanye Anti-Ahok. Kata-kata “kafir”, “Cina”, “Babi” dan lainnya  muncul secara masif di media sosial menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017. Bukan kebetulan bila Eko Maulana Ali, lawan politik Ahok Pilgub Babel 2007 lalu didukung oleh PKS, PKB, PAN dan yang menjadi kunci pertarungan politik DKI 2017; Demokrat.

Partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yodhoyono ini sudah berpengalaman mengalahkan Ahok dalam Pilkada Provinsi Bangka Belitung tahun 2007. Itu-pun dengan susah payah kemenangan hanya terpaut 2%, tentu saja dengan kampanye negatif yang didorong secara besar-besaran.

Melihat pengalaman politik Demokrat di Babel, dengan sampel yang sama, kemungkinan besar Partai Demokrat akan melakukan hal yang sama—meski energi yang dikeluarkan cukup banyak. Termasuk resiko mencuatnya isu persekongkolan antara SBY, sebagai petinggi Demokrat, dengan Maaruf Amin sebagai petinggi lembaga Fatwa MUI.[2]

Mengkonsolidasikan propaganda Anti-Cina, kafir dan sentimen kristenisasi di Babel merupakan hal yang cukup mudah mengingat sifat kedaerahaan yang minim keterbukaan. Seperti yang dikatakan oleh Joseph Stiglitz, kejahatan ekonomi terbesar adalah “informasi asimetris”. Namun Jakarta sudah menumbangkan banyak petualang politik, Hidayat Nurwahid hingga Yusril Izra Mahendra hanya menjadi catatan kaki bahwa pernah ada kader partai Islam yang ikut serta dalam pertarungan politik Jakarta.

Sebuah pengecualian, Anies Baswedan, bukan kader Partai Islam, tapi seorang populis lulusan PhD Amerika yang memanfaatkan sentimen pemilih muslim. Lagipula, Ahok tidak benar-benar menang dalam pertarungan Politik Jakarta, ia hanya wakil Jokowi ketika Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.

Ahok sudah melakukan beragam manuver politik—melalui beragam kebijakannya, eksekusif dan transparansif—dengan memperkenalkan cara politik reformis kepada punggawa strategiawan-strategiawati politik tradisional di Indonesia. Melalui cara-cara transparansif yang bercampur dengan semantik bahasa rendah, maka lahirlah video penistaan agama bernomor 51.

rongrongan FPI selama tiga tahun belakangan—akhirnya—mendapatkan  panggungnya melalui solidaritas agama pemeluk Islam atas blunder pernyataan Ahok yang tidak memahami estetika bertutur politik. Munculah aksi jalanan bernomor 212 dan 411 memenuhi lingkaran Monas dan mesjid Istiqlal yang dirancang oleh arsitek Protestan.

Di ujung jalan, Partai Demokrat merayakan bonus dari rumitnya distribusi informasi hoax mengembangkan pidato kecil sosialisasi kebijakan seorang Gubernur Jakarta bernama Ahok disebuah pulau kecil menjadi malapetaka besar. Gema politik kanan yang terdiri elit lokal-nasional mencoba menegaskan kembali keberadaannya sebagai pemilik sah atas kekuasaan arus investasi global di negeri ini.

Di sisi lain, dengan kekuatan jaringannya yang mengandalkan media-media reformis, Ahok bertahan melalui serangkaian akses investasi global yang dilindunginya, dengan sepenuh jiwa dan raganya.

Reklamasi Jakarta adalah satu-satunya modal yang ia miliki. Impian kelas menengah berkesadaran global, yang mendominasi kelompok pemilih rasional Jakarta harus mencabik-cabik hatinya. Tatkala, di sisi lain, ketaatan mereka terhadap agama harus dipertentangkan dengan kenyamanan reformis yang ditawarkan Ahok bagi masa depan Jakarta.

Perlu dicatat, bahwa kemudian intelektual-intelektual muda Nahdatul Ulama (Organisasi Islam terbesar di dunia) yang karena terobosan-terobosannya (orang-orang ini sering disebut JIL) melukai ortodoksi ulama fundamentalis tanah air. Mereka menegaskan keberadaannya melalui serangkaian kritik terhadap pola konsolidasi Islam internal-populis berjangka pendek, guna meredam radikalisasi bermotifkan pertarungan politik sempit.

Apa yang tidak berubah dari lakon politik kanan adalah sikap basa-basi imut mereka terhadap investasi global. Cepatnya kapital global mengubah dirinya menjadi makhluk tanpa nama, membuat bingung pengamat populis televisi—bahkan hanya—untuk menuju sebuah pertanyaan besar terhadap situasi politik nasional secara menyeluruh.

Termasuk gagapnya mereka memisahkan istilah Cina sebagai sebagai sentimen budaya, relasi peradaban hingga kedatangannya sebagai arogansi Yuan dibelantara kawasan ekonomi Pasifik. Tidak bisa dinafikan hadirnya kawasan-kawasan elit senyap strategis yang dibuat di sekitaran Jakarta, seperti Pluit hingga Pantai Indah Kapuk merupakan pertanda hadirnya elit-kota di dalam Ibukota.

Namun, amarah muslim Fundamentalis palsu terhadap Cina melalui sentimen “Kafir” dan “Pendatang yang meresahkan” merupakan cara cepat membuat retakan-retakan besar dengan muslim moderat di dalam tubuh konsolidasi muslim di Indonesia. Muslim Fundamentalis Palsu diartikan sebagai kelompok-kelompok Islam yang Memuja kekhalifahan abad ke 10-15 Masehi, namun berprilaku seperti manusia Modern. Berteriak meminta kepatuhan umat sambil menikmati demokrasi.

Sebagaimana ketika Slavoj Zizek diwawancara mengenai kedudukan ISIS di Timur Tengah, ia menganggap kelompok radikal tersebut bukanlah fundamentalis sejati selama mereka masih menggunakan cara-cara modern dalam propaganda politik maupun militer.

Di sisi lain, muslim moderat adalah kelompok Islam mayoritas, memaklumi kehidupan modernitas namun tidak pernah memiliki penjelasan praktek-sistematis atas istilah plural dan toleransi yang abstrak itu.

Ribuan masa Islam yang akan terus melakukan aksi bernomor 212, 411 dan lainnya melakukan pemborosan sentimen pemirsa politik dalam negeri. Melalui sifatnya yang keras kepala, yang mirip dengan keangkuhan elit di kawasan Teluk Arab—mereka menafikan potensi yang bisa membuat serangkaian aksi masa lebih murah, dengan mengajak kaum muslim miskin yang sedang berhadap-hadapan dengan koorporasi rakus.

Jawabannya bisa dipakai untuk menganalisa jangkauan ideologi pengusung aksi tersebut. Sejak awal aksi tersebut adalah proses tawar-menawar sesama elit politik Jakarta, seperti “Atomisme Logis”-nya Bertrand Russell—bahwa pertarungan tersebut hanya persoalan mengembang atau tidaknya pengaruh satu elit terhadap elit lainnya.

Radikalisasi di sebelah kanan hanya berlaku ditataran menengah kebawah. Ditataran elit Jakarta, semuanya hanyalah persoalan transaksional. Sebagaimana Ahok yang sejak mula sudah menasbihkan dirinya sebagai pelindung kapital global di garis pantai Jakarta—Reklamasi Jakarta adalah tiket pertama baginya untuk modal awal dari neraca yang membingungkan. Terutama citra Ahok yang transparansif mesti diragukan setelah peristiwa perdebatan ia dengan Badan Pengawas Keuangan.  

Malapetaka lainnya, bahwa hampir semua calon Gubernur DKI Jakarta, termasuk Anies Baswedan, tidak pernah sekalipun melontarkan bahasa tegas untuk menghentikan Reklamasi tersebut. Reklamasi di negara kepulauan sungguh melukai akal sehat dengan nafsu bisnis yang tak kenal batas.

Bolehlah kita mengira, bahwa semua petualang elit Politik sepakat—reklamasi Jakarta adalah tiket yang sangat penting untuk mengantarkan siapapun menjadi berada dipuncak politik ibukota Jakarta. Karena ini persoalan uang yang sangat besar.

Di sisi lain, sikap militer sudah jauh-jauh hari mengambil peran yang sangat pragmatis atas situasi tersebut. Sesekali Jendral Gatot Nurmanto melontarkan kata-kata “Persatuan Bangsa”, namun kemesraannya merangkul kelompok muslim Fundamentalisme Palsu—dengan fotonya memakai peci haji—sementara hampir seluruh pejabat negara Indonesia memakai peci hitam, adalah tanda ketertarikannya untuk menjadi pemain dalam politik elit nasional.

Di arena global, TNI melalui Koperasi Angkatan Darat seringkali terlibat bisnis Impor[3] dengan Cina, dan di wilayah publikasi, dengan presentasinya yang terkenal itu Sang Jendral Nurmanto membeberkan potensi konflik di Laut Cina selatan—dengan sangat menggelikan. [4]

Tentu saja bisnis Koperasi Induk TNI AD tidak dijelaskan di sana. Para pensiunan TNI sudah melupakan bagaimana takdir tentara antara kesetiaan, kematian dan trofi penghargaan. Mereka melupakan takdirnya, bahwa tentara adalah alat negara. Trend sekumpulan pensiunan TNI yang berkumpul lalu mendirikan partai politik, mungkin masih lebih baik daripada mereka mendirikan boyband.

Artinya, tradisi Orde Baru selama 32 tahun yang menempatkan pensiunan TNI sebagai pejabat-pejabat Pemerintahan menghasilkan generasi prajurit yang memiliki sindrom pasca-pensiun (berbeda dengan post-power sindrome). Bukan lagi rahasia, sejak Soeharto, yang menurut David Harvey Indonesia[5] termasuk proyek The Neoliberalsm State global.

Neoliberalisme menghianati prinsip inti mereka sendiri tentang pasar yang bebas dari intervensi negara. Namun kenyataannya, mereka perlu mengajak “diktator militer” untuk membangun pasar bebas. Video tentang kedatangan taipan Tomi Winata  ke kantor gubernur DKI Jakarta, dan di sana sang taipan menceritakan leluconnya ketika bertemu Jendral TNI Moeldoko[6]—membandingkan antara karyawannya dengan tentara ketika menjaga hutan. Di sanalah tentara Indonesia, sebagai penjaga pintu arogansi kapital.

 

V

Ketika kekuatan politik kanan saling mencakar dengan nafsu dan keterbatasan psikologisnya masing-masing, kekuatan kiri melebur entah kemana. Bila memang dikotomi antara kiri dan kanan sudah tidak relevan, tentu saja sejarah tidak mungkin hanya berisi sampah. Ketika bangsa ini dibentuk, UUD 1945 sangat bernuansa sosialis dan imajinatif. Di sisi lain, bersifat lokal.

Tentu, melalui simpul sejarah yang demikian, kita memiliki landasan yang jelas untuk membubarkan pertarungan antara kelas menengah berkesadaran global dengan kelompok elit lokal-nasional: antara Ahok dan para penjegalnya; antara Reformis dan konservatif.

Sementara pertarungan politik itu sedang berlangsung, serangan-serangan di antara keduanya tidak memperdulikan banyak diantara kita—yang bukan bagian dari elit yang sedang berperang—menjadi korban dari kacaunya serangan di antara mereka. Bukan karena mereka tidak bisa mengendalikannya, namun karena mereka memang tidak peduli bila kita menjadi korban.[7]

 

“Dimana mereka berkata diantara makhluk-makhluk miskin ini dan siapa yang dalam setahun dari kehidupan parlemen telah berbelok ke dalam sikap-sikap idiot yang kompleks”

Karl Marx[8]



[1] "It's Better to Eat Pork than Vote for a Kaffir" https://wikileaks.org/plusd/cables/07JAKARTA568_a.html

[4] Lihat tayangan ILC TVOne secara lengkap di https://www.youtube.com/watch?v=QS_CNUY4DKE

[5] David Harvey,  A Brief History of Neoliberalsm (Oxford Press: London) Hlm. 76

[7] Tulisan ini dibuat pada Bulan Februari 2017

[8] Tulisan-tulisan ini pada awalnya adalah suatu cara untuk mengikuti cara Karl Marx menganalisa perbagai peristiwa politik di Eropa Menjelang Perang Dunia Pertama. Terutama fokus Marx terhadap kelas menengah di Eropa. Ketika itu Marx seringkali mengirimkan tulisan-tulisannya ke New York Tribunnes. Kumpulan tulisan ini paling luput dipelajari, karena sifatnya yang khusus dan dinamis atas peristiwa politik di Eropa. Meskipun, bila dibaca secara seksama, tulisan-tulisan tersebut merupakan tulisan yang berupaya paling menghindar untuk memprediksi arah masa depan namun memiliki presisi analisa yang cukup akurat.  

Ikuti tulisan menarik Iman Zanatul Haeri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler