x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

AS Melarang Jenderal Gatot: Islamofobia?

Penolakan AS atas kehadiran Panglima TNI, justru disesalkan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwono

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin bagi sebagian besar orang Indonesia, soal penolakan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang secara tiba-tiba oleh otoritas AS, jelas agak membingungkan. Hal ini, bukan saja Indonesia tidak termasuk diantara 7 negara muslim yang terkena larangan memasuki wilayah AS oleh kebijakan Presiden Trump, tetapi juga bahwa Indonesia sejauh ini memiliki hubungan diplomatik yang erat  dengan AS. Saya kira, jika atas dasar klaim pihak AS bahwa “Jenderal Santri” ini dianggap dekat dengan kalangan muslim “garis keras”, sungguh terlalu naif bagi negara besar yang memiliki seperangkat intelejen yang paling canggih. Publik tentunya bertanya-tanya, ada masalah apa militer Indonesia dengan AS? Apakah soal isu senjata ilegal yang diungkapkan Jenderal Gatot? Rasa-rasanya, Panglima TNI sejauh ini tidak pernah menjadi sosok yang “dicurigai” oleh asing, apalagi dirinya akan bertolak ke AS karena mendapat undangan mitranya, Jenderal Joseph Dunford.

Bahkan hingga detik ini, pihak Kedubes AS belum bisa memerinci apa alasan ditolaknya Jenderal Gatot berkunjung ke AS, semakin membuat publik bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang menjadi keberatan pihak AS menerima kehadiran Jenderal TNI. Saya akhirnya hanya dapat berasumsi, soal adanya kedekatan “Jenderal Santri” ini dengan banyak kalangan muslim yang menjadi alasan utama Negeri Paman Sam, menolaknya. Walaupun seharusnya, AS sebagai sebuah perwujudan negara liberal dengan mengacu kepada amandemen pertama undang-undang yang diterapkan, mengakui eksistensi kebebasan beragama. Namun soal Islamofobia, AS sudah jauh-jauh hari memperketat aturannya. Pelarangan terhadap warga muslim dari 7 negara di Timur Tengah untuk masuk ke wilayah otoritas AS, jelas merupakan bentuk paling nyata dari sebuah paradigma Islamofobia.

Penolakan AS atas kehadiran Panglima TNI, justru disesalkan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwono. Dirinya jelas mengkritik sikap ororitas AS soal pelarangan pejabat RI yang diundang secara resmi, tetapi justru ditolak. Bahkan tanpa segan, pakar politik internasional ini beranggapan, jika memang kasus ini tak mendapat respon secara jelas dari pihak otoritas AS, bisa saja menjadi kesempatan pemerintah RI untuk mengusir diplomat AS. Lha wong pemerintah AS sendiri sudah “mengusir” pejabat negara kita kok, masa kita sendiri yang dilecehkan masih nyembah-nyembah berbaik hati pada negara yang sudah mengusir warga Indonesia, terlebih selevel Panglima TNI, pejabat resmi dan simbol negara RI.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya yakin, ada saja pihak-pihak yang merasa senang setelah AS menolak kehadiran pejabat negara RI, bahkan pelarangannya benar-benar last minute. Entah apakah karena Jenderal Gatot dianggap sebagai “duri” di pemerintahan Jokowi yang dianggap dekat dengan kalangan Islam, yang seringkali membuat manuver yang menggegerkan publik atau membongkar berbagai informasi “kerahasiaan” negara. Atau, justru ada sebagian orang yang merasa khawatir bahwa kans Jenderal Gatot untuk kontestasi politik di 2019 mendatang semakin terbuka. Ah, semua spekulasi publik semacam ini lambat-laun akan menjadi isu hangat yang pada akhirnya menjadi pro-kontra yang tajam ditengah  masyarakat dan membuat polarisasi semakin sulit terhindarkan.

Bagi saya, jika alasan utama AS karena indikasi kedekatan Gatot dengan kalangan muslim, yang dianggap mereka sebagai kalangan Islam “garis keras”, sama dengan membuat sebuah kesimpulan yang sangat prematur dan simplistik. Saya kira, Presiden Jokowi-pun juga sama memiliki kedekatan dengan kalangan Islam dari kalangan tertentu, yaitu NU. Rasa-rasanya tak pernah ada kecurigaan berlebih dari otoritas AS kepada segenap pejabat resmi Indonesia, terkecuali soal Jenderal TNI yang disebut dekat dengan kalangan “santri” ini. Bahkan ada kesan “tebang-pilih” yang dijalankan otoritas AS terhadap larangan pejabat negara RI, yang khusus diberlakukan kepada Jenderal TNI.

Ramainya pemberitaan soal larangan otoritas AS terhadap Panglima TNI, akan semakin menguak kecurigaan publik lebih jauh, terhadap berbagai kebijakan AS atas Islam yang jauh dari nilai-nilai kebebasan dan demokrasi . Hal ini, tidak saja akan merugikan pihak AS, bukan saja soal hubungan kerjasama ekonomi-politik yang sejauh ini dianggap baik, tetapi AS malah semakin disudutkan sebagai fenomena negara yang justru “anti-Islam”. Tidak hanya itu, nama Jenderal Gatot justru akan semakin melejit dan populer sebagai sosok “Jenderal Santri” yang menjadi “korban” atas kebijakan Islamofobia AS, apalagi penolakannya hanya karena suatu hal yang belum jelas. Nama Gatot, lambat laun akan semakin moncer ditengah hiruk-pikuk kepolitikan dalam negeri yang lebih banyak diwarnai carut-marut akibat perebutan kekuasaan dan korupsi.

Saya malah semakin meneguhkan asumsi, bahwa paradigma AS soal Islamofobia terlebih dibawah pemerintahan Donald Trump, jelas berdampak pelarangan terhadap siapapun—baik berasal dari negeri muslim atau bukan—jika keberadaan seseorang dianggap “dekat” atau terindikasi ada hubungan dengan kalangan “teroris” dalam perspektif mereka sendiri. Kecenderungan besar terhadap Islamofobia  AS, yang menganggap Jenderal TNI ada “kedekatan” dengan pihak-pihak “radikalisme-ekstimisme” justru telah merugikan mereka sendiri, karena AS luput melihat latar belakang Gatot sebagai Panglima TNI yang juga perwujudan simbol negara RI yang dihormati. Jabatan resmi yang melekat pada diri Gatot barangkali luput dari pantauan intelijen AS, dan kemudian dengan sangat terburu-buru dan sembrono, menganggap sang Jenderal adalah salah satu ikon muslim “garis keras” yang terkena dampak pelarangan memasuki wilayah otoritas AS.

Saya kira, pihak Kedubes AS di Indonesia sudah seharusnya secara cepat merespon dan mengklarifikasi ada apa dibalik pelarangan Jenderal Gatot untuk berkunjung ke AS. Membuka alasan yang sejujurnya, tanpa ditutup-tutupi bukan sekadar dibuat alasan-alasan yang terkesan “normatif” sekadar menutupi kelalaian yang lebih besar. AS dalam hal ini, justru terkesan naif dan tidak mencerminkan sebagai sebuah negara demokratis yang dibanggakan dunia. Meskipun banyak pihak yang berasumsi, jangan-jangan Jenderal Gatot dianggap memiliki kedekatan dengan kalangan muslim “garis keras”, sehingga jatuhlah pelarangan AS atas dirinya.

Lagi-lagi perlu ditegaskan, Indonesia bukanlah “negara teroris” sebagaimana larangan ketat AS terhadap negara-negara lain yang dianggap mensponsori terorisme. Perlu kiranya AS melalui Kedubesnya di Jakarta, secara jelas menjelaskan kepada publik seterang-terangnya, jika tidak, berlaku seperti diungkapkan Hikmahanto, kemungkinan pengusiran atau persona non grata pada diplomat AS yang berada di Indonesia. Tidak etis, saya kira, jika AS terus menerus menganut dan memelihara paradigma Islamofobia yang terlampau “ekstrim”, seakan-akan dirinya tidak sadar bahwa kebebasan beragama, adalah hal paling krusial dalam kesepakatan HAM Internasional dan AS adalah salah satu negara pelopornya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB