x

Iklan

Fahmy Radhi

Pengamat Ekonomi Energi UGM
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pertamina Tidak Mampu Bangun Kilang

Tanpa solusi mengatasi ketidakmampuan Pertamina, jangan harap kemandirian energii, melalui pengurangan ketergantungan impor BBM dapat diwujudkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kendati belum kinclong, pencapaian Pemerintahaan Jokowi di bidang kemanidirian energi dinilai sudah pada jalur yang tepat (the right traack). Capaian itu, di anataranya pengalihan subsidi BBM dari konsumtif ke produktif, BBM Satu Harga, percepatan elektrifikasi di 25.000 desa,  pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga, pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). peningkatan iklim investasi yang semakin kondusif dengan mengubah contract regime dari Product Sharing Contract menjadi Gross Split Contract, serta pengambil-alihan Blok Mahakam dan Freeport.

Namun, tidak semua program kemandirian energi Jokowi dapat dicapai sesuai target. Selain Proyek Listrik 35.000 MW, Pemerintahan Jokowi belum berhasil mengurangi ketergantungan impor BBM, bahkan volume impor BBM justru cenderung meningkat. Pada 2014, konsumsi BBM sudah mencapai 1.450 ribu barrel per hari, sedangkan kapasitas Kilang Minyak terpasang sebesar 860 ribu barrel per hari, sehingga dibutuhkan impor BBM sekitar 590 ribu barrel per hari. Pada April 2017, konsumsi BBM meningkat menjadi 1.740  ribu barrel per hari, sedangkan kapasitas Kilang terpasang naik hanya sedkit menjadi 920 ribu barrel per hari, sehingga impor BBM naik menjadi  820 barrel per hari, hampir mencapai 50% dari total konsumsi BBM.

Mengetahui data impor BBM itu, Presiden Jokowi memperingatkan dengan mengatakan: “Saya kira kita tahu semuanya 50% produksi dari dalam dan 50% kurang lebih kita masih tergantung impor. Saya kira ke depan sangat berbahaya sekali apabila kondisi ini masih kita pakai terus menerus, tanpa kita melakukan riset, tanpa kita melakukan terobosan dalam membangun kemandirian energi kita," Peringatan itu, secara implisit menunjukkan kekecewaan Presiden Jokowi bahwa pencapaian kemandirian energi melalui pengurangan ketergantungan impor BBM tidak akan tercapai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegagalan mengurangi ketergantungan impor BBM disebabkan kenaikkan konsumsi BBM yang lebih besar dari produksi BBM dalam negeri, akibat keterbatasan kapasitas Kilang Minyak yang dioperasikan oleh Pertamina. Pasalnya, Pertamina tidak pernah membangun Kilang Minyak baru sama sekali dalam 20 tahun terakhir. Padahal Kilang Minyak Pertamina merupakan kilang-kilang yang sudah tua-renta. Bahkan kilang yang dibangun pada zaman Penjajahan Belanda, antara lain Kilang Balik Papan (1894) dan Kilang Plaju (1903), masih saja digunakan. Sedangkan Kilang Minyak yang dibangun Pertamina umumnya juga sudah relatif tua, di antaranya Kilang Dumai (1971), dan Kilang Cilacap (1976), serta Kilang Kasim, yang terkahir dibangun pada 1997.

Direktur Utama Dwi Sotjipto sesungguhnya sudah untuk melakukan berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan impor BBM secara bertahap. Bahkan Soetjipto mematok target pada 2023 Indonesia akan mencapai swasembada BBM, semua kebutuhan BBM akan dipasok dari Kilang Minyak dalam negeri. Upaya untuk menambah kapasitas Kilang Minyak dengan melakukan pengembangan dan modifikasi existing Kilang dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Pembangunan Kilang baru. Total penambahan kapasitas Kilang Minyak melalui RDMP dan GRR ditergetkan sebesar 2 juta barrel per hari, yang akan diselesaikan pada 2022.  Sedangkan konsumsi BBM pada periode yang sama diproyeksikan mencapai 1,9 juta barel per hari, sehingga pada 2023 Indonesia tidak akan impor BBM lagi.

Untuk mencapai target itu, Pertamina menjalankan 4 Proyek RDMP Kilang CIlacap, Balik Papan, Balongan dan Dumai, serta 2 Proyek Gross Root Refinery (GRR). Setiap Proyek RDMP membutuhkan dana investasi sekitar US$ 5 miliar atau sebsesar Rp 67,5 triliun  (asumsi US$ 1 setara Rp. 13.500). Sedangkan satu Proyek GRR dubutuhkan dana investasi  sekitar US$ 12,5 miliar atau setara Rp. 168,75 triliun. sekitar US$ 45 miliar atau setara Rp. 607,5 triliun.

Memang berat bagi Pertamina untuk menyediakan dana investasi sebesar itu. Namun penyelesaian semua Proyek RDMP dan GRR merupakan suatu keniscayaan yang harus direalisasikan tepat waktu sesuai target, seperti yang diharapkan oleh Presiden Jokowi. Namun, manajemen baru di bawah direktur utama Elia Massa Manik ternyata tidak memiliki kemampuan keuangan untuk menyelesaikannya, sesuai yang ditargetkan oleh manajemen lama di bawah direktur utama Dwi Soetjipto. Pertamina harus menunda waktu penyelesaian RDMP dan GRR antara 1 hingga 3 tahun, sehingga target untuk swasembada BBM pada 2023 tidak akan dapat dipenuhi.

Untuk mengatasi ketidakmampuan dalam menyediakan dana, Pertamina harus menawarkan sejumlah saham Proyek RDMP kepada swasta. Kalau perlu proporsi kepemilikan saham swasta lebih besar dari pada proporsi Pertamina. Selain itu, Pemerintah harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada swasta untuk membangun Kilang Minyak baru. Masuknya swasta, baik dalam Proyek RDMP dan GRR, maupun dalam Proyek Pembangunan Kilang baru sesungguhnya sangat dimungkinkan. Lantaran Menteri ESDM sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 35 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak di Dalam Negeri oleh Badan Usaha Swasta.

Agar investor swasta tertarik untuk masuk pada investasi Proyek Pengembangan dan Pembangunan Kilang Minyak di Indonesia, Pemerintah harus memberikan kemudahan dan fasilitas, serta insentif  kepada investor swasta. Insentif itu berupa percepatan pembebasan tanah dan perizinanan, serta  memberikan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal. Selain itu, Kilang Minyak baru yang dibangun harus dapat diintegrasikan, tidak hanya untuk menghasilkan BBM, tetapi dapat juga  untuk menghasilkan produk-produk petro-kimia, sehingga tercapai kapasitas keekonomian (economic of scale)

Upaya untuk melibatkan swasta akan menjadi solusi untuk mengatasi ketidakmampuan Pertamina dalam menyelesaikan proyek pengembangan dan pembangunan kilang minyak sesuai target ditetapkan. Tanpa ada solusi mengatasi ketidakmampuan Pertamina, jangan harap program kemandirian energi Presiden Jokowi,  dalam pengurangan ketergantungan impor BBM, dapat diwujudkan selama periode Pemerintahan Jokowi. (Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas)

Ikuti tulisan menarik Fahmy Radhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler