x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepunahan Petani Kita dan Distribusi Lahan

Faktanya, saat ini kultur bertani kian tergerus. Anak petani sebagian besar tak lagi bercita-cita menjadi petani.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis beberapa waktu lalu mengungkap fakta miris tentang regenerasi petani di Provinsi Jawa Tengah. Betapa tidak, rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di provinsi ini mencapai 52 tahun. Namun, generasi muda yang tertarik untuk melanjutkan usaha tani keluarganya hanya sekitar tiga persen (Antara, 20 September 2017).

Tidak membikin heran kalau ada yang bilang petani kita bakal punah. Proposisi bahwa petani kita bakal punah mungkin terkesan melebih-lebihkan. Benarkah demikian?

Faktanya, saat ini kultur bertani kian tergerus. Anak petani sebagian besar tak lagi bercita-cita menjadi petani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjadi petani adalah pilihan terakhir bagi generasi muda pedesaan untuk menyambung hidup. Seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) pernah berucap dalam sebuah workshop bahwa anak muda di kawasan Puncak lebih bangga menjadi tukang ojek atau penjaga villa ketimbang menjadi petani sayuran.

Salah satu penyebabnya adalah menjadi petani identik dengan kemiskinan dan ndeso. Sesuatu yang tentu saja sama sekali tidak menarik bagi generasi milenial.

Makanya, seperti yang dikeluhkan presiden Jokowi saat menghadiri acara wisuda di kampus IPB pada September lalu, saat ini banyak sarjana pertanian (termasukan jebolan IPB) yang ogah menjadi petani atau berkecimpung di sektor pertanian. Pendek kata sektor pertanian kian ditinggalkan.

Alhasil, mereka yang bertahan di sektor pertanian saat ini mayoritas adalah generasi tua (di atas 45 tahun).

Sedihnya, sebagian besar mereka juga memiliki kapabilitas yang rendah. Betapa tidak, mayoritas petani kita hanya tamatan SD atau bahkan tidak bersekolah.

Sebuah tantangan berat bagi penyediaan pangan dari produksi sendiri di masa datang, yang tentu saja membutuhkan inovasi dan modernisasi sektor pertanian.

Karena itu, kita patut khawatir, dan pemerintah harus berbuat sesuatu untuk mencegah agar tren ini tidak terus berlanjut. Mungkin petani kita tidak akan sampai punah, tapi tren yang tengah terjadi sangat merisaukan.

Lalu bagaimana caranya? Itulah yang perlu dipikirkan bersama.

Yang jelas, citra sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan yang lekat dengan kemiskinan harus dikikis. Dengan instrument kebijakan yang tepat, pemerintah harus meningkatkan profitabilitas kegaiatan usaha tani. Dengan demikian, sektor pertanian dapat dipandang sebagai sektor yang dapat memberi kesejahteraan, terutama bagi generasi muda.

Distribusi lahan timpang

Salah satu cara yang cukup efektif dalam meningkatkan profitabilitas kegiatan usaha tani adalah dengan meningkatkan skala usaha. Untuk kegiatan pertanian berbasis lahan seperti subsektor tanaman bahan makanan, skala usaha tani dapat ditingkatkan dengan memperluas lahan garapan.

Sayangnya, sebagian besar rumah tangga pertanian saat ini mengusahakan lahan pertanian dengan luas yang jauh dari skala usaha tani ideal. Distribusi penguasaan lahan yang timpang juga menambah runyam persoalan karena membatasi akses mayoritas petani untuk menguasai lahan sesuai skala usaha tani yang ideal.

Hasil perhitungan INDEF dengan menggunakan hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa indeks gini penguasaan lahan pertanian mencapai 0.64. Itu artinya, sebaran penguasaan lahan sangat timpang.

Kondisi ini mengakibatkan porsi terbesar dari pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian, yang sebetulnya jauh dari memadai (rata-rata kurang dari 4 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir), hanya dinikmati oleh sebagian kecil petani, yakni para petani kaya dan pemilik lahan garapan yang luas.

Fakta lain menunjukkan, sekitar 56 persen rumah tangga pertanian merupakan rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari setengah hektar. Padahal sejumlah kajian memperlihatkan bahwa break even point (BEP) dan surplus usaha tani untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai, misalnya, bisa tercapai jika petani mengusahakan lahan pertanian minimal 0.5 hektar.

Inilah salah satu akar masalah dari kemiskinan struktural di sektor pertanian yang sulit dientaskan.

Lahan adalah aset yang maha penting bagi petani. Jadi, kalau pemerintah benar-benar serius ingin memperbaiki kesejahtaraan mereka, sudah saatnya janji bagi-bagi lahan pertanian direalisasikan. Jangan hanya wacana. Apakah janji tersebut bakal kembali diumbar pada pemilu yang akan datang, yang tinggal sebentar lagi?

Pemerataan penguasaan lahan pertanian tidak hanya meningkatkan kesejahtreraan petani, tapi juga dapat mereduksi ketimpangan distribusi pendapatan yang saat ini menjadi salah satu isu utama pembangunan nasional.

Dipahami bersama bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mereduksi ketimpangan distribusi pendapatan adalah dengan mendorong peningkatan pendapatan kelompok 40 persen terbawah secara signifikan.

Faktanya, fraksi terbesar dalam kelompok ini adalah masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada ekonomi usaha tani. Data TNP2K memperlihatkan bahwa sekitar 55 persen kepala rumah tangga dengan status kesejahteraan 40 persen terendah mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama. (*)

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler