x

Iklan

Kamaruddin Azis

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Uji Kompetensi Kelautan dan Perikanan untuk Menghadapi MEA

Menjelaskan hakikat peningkatan kapasitas dan prosedur pelaksanaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

JIKA selama ini, kalau mendengar nama Kementerian Kelautan dan Perikanan diasosiasikan pada perikanan tangkap atau penenggelaman kapal, maka jangan salah, Kementerian yang dipimpin oleh Menteri Susi Pudjiastuti itu juga punya unit kerja bernama Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan disingkat BRSDM. (Keterangan foto: Mulyoto, berdiri, saat memberikan masukan pada uji kompetensi di Gresik)

Salah satu tugas Badan yang dikepalai oleh M. Zulficar Mochtar ini adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia kelautan dan perikanan melalui beragam program penyuluhan dan pelatihan berbasis kebutuhan (needs). Tulisan berikut ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih dekat apa perannya dalam menjamin berjalannya kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan.

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ide menulis tema ini muncul ketika berkunjung ke Kota Gresik dan menyambangi PT Graha Makmur Citra Pratama (GMCP) (25-26/10).

GMCP adalah satu perusahaan pengolah dan eksportir kepiting rajungan terpandang di Kota Gresik bersama Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM-KP) dalam hal ini Pusat Penyuluhan dan Pelatihan sepakat melaksanakan uji kompetensi pengolah produk perikanan bertempat di kawasan Buduran, Gresik, (26/10).

BRSDM-KP mengutus 9 assessor termasuk Kepala Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, Drs. Mulyoto, M.M, bersama M. Rizal Pahlevi, Tri R. Andayani, Yuliana Batti dan Sutrisno dari Poltek Kelautan Perikanan Sidoarjo. Hadir pula Asep Suryana, Lucky Sambuaga dan Pungky dari BPPP Bitung serta Erika Arisetiana dari BPPP Banyuwangi.  Merekalah yang melaksanakan uji kompetensi bidang-bidang teknis di lingkup perusahaan GMCP.

Dari pihak manajemen hadir, Hengki Setia Adi yang mewakili Direktur dan didampingi Zulis Mufidah dari bagian produksi, Candra dari bagian komersial, Wahyu Budi L dari bagian marketing serta Dita Tri Hapsari dari bagian umum dan personalia.  

Pelaksanaan uji kompetensi ini menyasar tidak kurang 160 peserta atau karyawan GMCP dan akan dilaksanakan selama kurang lebih seminggu. “Mereka tersebar di mulai dari bagian marketing, komersial, produksi hingga bagian umum atau personalia,” kata Hengki.

Nah, di tengah pelaksanaan uji kompetensi, saya mewawancarai Mulyoto, pejabat senior KKP yang telah berpengalaman dalam menjalankan beragam program peningkatkan kapasitas sumber daya manusia terkait Kelautan dan Perikanan.

Saya menyebutnya berbagi perspektif tentang substansi peningkatan kapasitas dan esensi uji kompetensi bagi para pihak di bidang kelautan dan perikanan kontemporer.

Memahami hakikat kompetensi

“Kami bagian dari Lembaga Sertifikasi Pelatihan (LSP) 1 Kelautan dan Perikanan. Kami berwenang untuk men-sertifikasi dan mengeluarkan sertifikat peserta didik atau pelatihan. Misalnya pada peserta pelatihan BPPP Bitung. Itu dikeluarkan oleh Kepala Balai, dimana kepala balai sebagai ketua LSP I meski yang menguji adalah pihak atau orang lain,” terang Mulyoto di restoran Tempo Doeloe, Surabaya, (25/10).

“Yang kita lakukan di Gresik ini yang pertama. Kami baru pertama kali untuk industri. Sebelumnya hanya pada purna widya, lulusan pelatihan. Ini berkaitan pula dengan adanya gagasan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan berlaku. Kita perlu mengambil bagian dan menyiapkan tenaga kompeten,” katanya.

“Makanya perlu di-assessment, dibangun standarnya dulu, kompetensinya, SKKNI untuk industri. Kalau bukan industri maka yang dipakai adalah SK3, bersifat khusus. Sementara SKKNI oleh kementerian tenaga kerja, Kementerian bersangkutan. Kalau yang kita lakukan sekarang SKKNI untuk industri, assesornya bukan kami yang mencetak tapi LSP,” papar Mulyoto.

“Kalau nggak punya sertifikat akan susah, eranya sekarang bersertifikat kompetensi untuk membuktikan bahwa Anda, kita, kompeten atau tidak,” tambahnya.

 “Aspek leadership itu terpisah, karena sertfikasi kompetensi adalah untuk menegetahui bahwa orang itu berkompeten dalam tugas dan jabatan yang dilakukan. Ibarat saya ini operator mesin, saya ini kompeten nggak?” ucapnya.

“Contohnya, untuk mengetahui kemampuan operator saya, maka saya diuji, ujinya menggunakan ada standar kompetensi. Sama dengan produk (kepiting rajungan), ini bisa diekspor ke Amerika, perlu dicek ada tidaknya unsure ‘hazard’ dan syarat-syarat lain,” katanya.

Menurut Mulyoto, yang dia disebut kompeten jika dalam melakukan prosedur, misalnya menyalahkan mesin, kayak gimana, kayak pengemudi, kalau menstarter mobil, AC nyala.

“Yang kompeten itu, SOP-nya menyalahkan AC, jendela dibuka dulu. Itu ujiannya kalau uji kompetensi,” jelasnya.

 “Pekerjaan yang dikerjakan ahlinya pasti lebih bagus, intinya kuasai kompetensi meski merangkap. Seperti sepakbola, seorang pemain tengah, bisa saja jadi penyerang yang handal. Punya banyak keahliannya akan bagus sepanjang ada (sertifikat) kompetensi,” katanya.

Di pikiran Mulyoto, sesuai pengalaman di BRSDM, sejauh ini memang ada prosedur, ada kurikulum, ada identifikasi kebutuhan pelatihan.

“Jadi intinya, kita harus kuasai standar kompetensi kerja. Setelah itu, kita identifikasi, atau assessment, seseorang yang dijajaki demi memastikan kesenjangannya di mana, Jika standar komptensi misalnya ada 10, jika dia punya 5 saja, maka lima ini yang akan diisi melalui pelatihan,” ujarnya.

“Lima itu kompetensi apa? Maka kita menyusun kurikulum, kurikulum berfungsi untuk pemenuhan unit kompetensi yang masih kurang. Kurikulum akan menentukan berapa lama belajar, siapa saja pelatihnya, makanya harus dirancang dan diselenggarakan. Nggak bisa sembarangan. Ada kadang-kadang program pelatihan, yang saya yakin tidak menggunakan rancang bangun pelatihan, harus ada kurikulum, bahan ajar,” katanya lagi.

Menurutnya, proses pelatihan selama ini banyak yang lebih menekankan pada model Bimtek semata, ceramah, padahal idealnya pelatihan harus bermuara pada keteramplan.

“Harus disusun kurikulum, berapa persen teori, berapa praktik. Kita itu menetapkan minimal 80% praktik, kalau bisa 10% persen teori dan 90% praktik. Teori itu memberikan pengetahuan dasar, kalau pelatiham itu pada keteramplan,” jelas Mulyoto.

Bagi Mulyoto, biro perencanaan di Kementerian harusnya bisa memastikan dan menilai program pelatihan yang relevan dengan melakukan evaluasi. Ada review, ada audit. Dia mengatakan bahwa pelatihan yang baik harus berhubungan dengan kelayakan pembiayaan, penganggaran dan penilaian efektivitas pelatihan sebelumnya melalui evaluasi.

Hakikat uji kompetensi

 Berkaitan dengan pelaksanaan uji kompetensi perusahaan Graha Makmur di Gresik, Mulyoto menyebutkan bahwa KKP saat ini punya assesor sebanyak 2.000-an.

“Saya assessor, di BPPP Bitung ada 60 orang. Itu melalui training yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Pelatihan. Di sana itu punya master assessor. Nah master ini meng-upgrade kawan-kawan yang layak jadi assesor dan juga meng-up-grade yang masa sertifikatnya habis,” terang Mulyoto. Seorang yang telah dapat sertifikat kompetensi, atau assessor, dianggap kompeten ketika sudah punya nomor NET atau terdaftar di BSP.

“Assesor tidak bisa sembarangan mengeluarkan, ini kompeten atau tidak, sebab dia harus bertanggungjawab. Yang kompeten adalah saat kerja, makanya punya kode etik,” tegasnya.

 “Yang dilakukan di Gresik ini adalah yang pertama. Ini untuk pertama kalinya untuk industri. Selama ini hanya untuk peserta pelatihan atau purna widya. Uji kompetensi ini sangat relevan dengan kebutuhan dan tantangan pada MEA (Masyarakat Ekonomi Asia).Tenaga kerja yang sudah kompeten dan terbukti pasti tidak akan bisa digantikan oleh orang lain,” kata Mulyoto.

Pada uji kompetensi tersebut, salah satu yang diujikan adalah mengecek kemampuan karyawan dalam melakukan diversifikasi usaha, mulai dari persiapan hingga produksi.

“Kompetesinya ada 14, di antaranya meliputi kemampuan menjaga kualitas bahan baku, menerapkan standar, operasi alat, produk fermentasi, proses pengalengan, dan lain sebagainya,” sebut Muhammad Riza dari Poltek KP Sidoarjo yang sedang menguji tiga orang karyawan GMCP.

Pada kesempatan tersebut penulis bersama Mulyoto dan Asep Sunarya dari BPPP Bitung mengamati proses pengolahan, mulai dari sortir hingga proses Pasteurisasi hingga packaging.

Ikuti tulisan menarik Kamaruddin Azis lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler