x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (1)

Problem mendasar tentang hoax dan bagaimana cara menyikapinya, hanya terletak pada jernih atau tidaknya pikiran kita membaca segala bentuk informasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Rembuk Nasional 2017, sebuah forum kenegaraan yang bertempat di Universitas Airlangga (UNAIR) Kampus C, pada 22 September 2017 hendak berbicara tentang silang sengkarut kehidupan cyberspace tanah air. Forum ini itikadnya adalah mendengarkan keluh kesah, opini, usulan, bahkan konfrontasi dari civil society yang diwakili para kalangan akademisi kampus dan berbagai instansi daerah di Jawa Timur. Semula asumsi kita, forum tersebut akan dihadir oleh seluruh perwakilan mahasiswa se-Jawa Timur, tapi belakangan kita keliru sejak memasuki pintu lobby gedung utama tempat terselenggaranya acara, yang kita lihat bukan anak muda, melainkan para orang tua yang berjejal. Tentunya, mereka orang tua yang berjejal itu mewakili dari berbagai macam institusi mereka yang berkenanan langsung dengan problem fundamental mengenai teknologi sistem informasi atau hanya sebatas undangan formalitas untuk ramah tamah belaka. Beberapa yang kita lihat ada dari insitusi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Daerah Jawa Timur, institusi bank swasta, para akademisi kampus yang bertugas pada bagian sistem informasi di kampus mereka. Semua para orang tua itu menandakan bahwa forum ini menjadi forum penting untuk mengelaborasi gagasan. Entah itu gagasan tentang sebuah grand narative yang muncul atas analisis kebijakan sistem informasi atau cyber space oleh pemerintah untuk diedarkan ke publik. Atau mengelaborasi gagasan yang muncul dari diskursus publik yang dilakukan oleh kalangan cendikiawan kampus untuk nantinya ditawarkan kepada pemerintah.

Ada lima pembicara dalam forum yang cukup formal dan dibuka langsung oleh Rektor Unair, tapi saya lupa siapa saja namanya, dan dalam kepentingan apa mereka berada didepan untuk bertukartambah pikiran oleh segenap para undangan. Namun dengan tema “Cyber Resillience: Melindugi Pengelolaan Data dan Diseminasi Informasi”, semula saya pikir forum hanya akan mempercakapkan perihal munculnya bejibun dan seabrek terobosan teknologi informasi, yang tentu dapat dipastikan isi makalahnya adalah seputar pemanfaatan dan tata cara software terbaru dalam keseharian hidup manusia, tak terkecuali munculnya varian hardware mutakhir untuk pelindung data informasi publik atau negara. Dan praduga saya pun tak keliru, jika beberapa pembicara seperti Faizal Rochmad Djoemadi dari Direktur Utama PT Telkom International dan salah seorang pembicara lainnya bernama Achmad Affandi, seorang dosen dari Institute Teknologi Sepuluh November (ITS), bercakap panjang tentang teknologi informasi yang begitu cepat berkembang diikuti berbagai macam varian-varian infrastuktur dan suprastruktur pengolahan data cyber yang dimiliki oleh pemerintah dan yang seringkali digunakan oleh masyarakat. Kesimpulan awal untuk forum ini bagi saya tidak menarik jika hanya berkutat pada perbincangan infrastruktur semata dari teknologi yang menjadi inti dasar cyber resiliance. Namun kenyataan itu sepertinya terlalu naif untuk menghakimi sebuah forum diskusi sebelum kita tuntas mengikuti dan memahami alur berfikir para pembicara didalamnya.

Kemudian ada tiga pembicara lain, yang lebih menitiktekankan bahwa dampak sosiologis dari adanya cyberspace dan segala bentuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, yakni seorang pakar dari kementrian informasi dan komunikasi pusat, saya lupa namanya, seorang alumni Fakulas Hukum Unair, yang magisternya berlanjut ke Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), kemudian Herman Tolle seorang akademisi Sistem Informasi Universitas Brawijaya Malang (Unibraw), dan seorang perwakilan dari Pimpinan Polisi Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum forum ini resmi di buka dan mulai diskusi, salah seorang penyelenggara forum, seorang mantan pejabat tinggi kepolisian pusat, saya lupa namanya, dalam pidato panjang pembukaan Rembuk Nasional 2017, melaporkan sebuah kasuistik yang cukup menarik, sebelum nantinya kita memberikan porsi pemahaman lebih pada pemaparan pembicara. Yakni dunia cyber dan segala bentuk dinamika perkembangan teknologi informasi, kini menjadi salah satu pemicu problem mendasar dari informasi palsu yang mudah beredar di masyarakat, dan munculnya intoleran, radikalisme agama, dan konflik kesukuan, agama & ras (SARA). Pembicara itu menawarkan sebuah pikiran dalam membingkai kasus yang spesifik tentang bangkitnya gerakan berideologi komunisme dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menandakan menurunnya rasa nasioanalis dan Pancasilais dari beberapa kelompok warga negara yang menganut paham-paham transnasional. Bagi saya ini menarik untuk diperbincangkan secara telanjang. Kiranya, apa yang melatarbelakangi ideologi transnasional yang telah lama ambruk dan cacat metodologi itu, hingga hari ini menjadi ketakukan kolektif dalam pikiran alam bawah sadar kita? Lantas apa urgensinya dengan mempercakapkan isu tersebut di tengah forum yang bertujuan untuk mengedarkan cyber resilience? Pertanyaan mendasar ini sebenarnya menandakan ketertarikan saya pribadi tentang forum ini, nampaknya semakin basah dan mulai berasap.

Pembicara tersebut menuturkan jika beberapa hari belakangan, Indonesia diindentifikasi secara psikosoiologis sedang mengalami defisit Pancasila, dengan digembar-gemborkan adanya kelompok yang berupaya membangkitkan sebuah partai politik yang nalar pikiran kader partainya bersumber dari filsafat Marxis dan Leninnis, dengan berkiblat gerakan pada Moscow. Tapi tunggu dulu. Bukankah ideologi itu runtuh beserta tembok besar pemikiran tentang ketatanegaraan idealnya yang menempatkan rakyat sebagai penguasa. Pembicara itu melanjutnya dengan memberikan sebuah argumen dan analisis yang mengarah pada contra opinion, bahwa isu kebangkitan PKI mustahil akan muncul kembali menggantikan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah final, katanya. Semula dengan cara berfikir yang sama kita tidak akan menemukan negasi sama sakali, lagipula siapa yang tidak sepakat bahwa komunisme itu harus dan hendaknya dilarang. Tapi yang menjadikan hal ini tidak boleh dibiarkan adalah, ungkapan pembicara itu. Jika forum ini adalah forum rembuk nasional tentang gagasan cyberspace dan cyber resilience yang diselenggarakan oleh negara, mengapa isu tentang komunisme yang menjadi dasar argumen dalam pidatonya secara terang hanya disebut sebagai isu. Bukankah seharusnya jika ini adalah forum kenegaraan yang mempercakapkan sebuah realitas yang berkenaan dengan publik atau civil society tertentu, entah karena membuat gaduh atau karena hal lain, harusnya berangkat menjadi suatu bentuk kajian ilmiah dan studi kasus yang berisikan realita, data, dan fakta. Tapi, selama saya mendengarkan isi pidato pembicara tersebut hingga akhir, sama sakali tidak saya dengar adanya data dan adanya realitas dalam fakta empiris. Hanya sebatas pembicara menyebutnya sebagai isu. Disini saya ingin berselisih.

Kalau anda seorang publik etik dari seorang yang sedang duduk di kursi parlemen. Tentu anda dilarang membuat kegaduhan dalam bentuk gramatika, nada dan tanda apapun pada pikiran civil society, karena jika pada akhirnya civil society terjadi krisis akibat kegaduhan yang disebabkan oleh para pemimpinnya yakni parlemen atau negara, tentu mereka dianggap gagal merawat akal sehat dan psikofisik dari civil society. Apalagi dalam pidato pembukaan itu problem mendasar yang dikemukakan adalah isu tentang bangkitnya ideologi komunisme yang oleh pembicara itu menyebut dengan verbatim “PKI adalah hantu, dan orang Indonesia suka sekali merawat hantu”. Ini sebenarnya percakapan kacau yang muncul dari mulut negara, jika sebuah isu itu muncul dari perwakilan pejabat negara yang tentu saja mewakili pikiran negara tidak diimbangi oleh, apakah benar isu itu  ada? Mana realitas, fakta dan datanya? Agar kita tau bahwa isu itu menjadi suatu bentuk realitas yang harus secepat mungkin kita golongkan sebagai fenomena, menjadi kasus atau hanya sebatas peristiwa momentum belaka. Ini yang harusnya menjadi nalar berargumen dari seorang publik etik atau negarawan ketika bertatap muka dengan civil society-nya. Jika tidak, maka kita layak menyebutnya sebagai hoax.

Mengapa kita dengan tidak sopan menyebutnya sebagai hoax, lantaran sebuah dasar asumi, jika realitas sosial itu tidak pernah ada, tapi menjadi sebuah percakapan fakta sosial di tengah masyarakat, entah melalui media atau berbagai macam cara, kita patut bertanya; siapa mereka yang bertanggungjawab mengedarkan ide tentang fakta sosial tersebut? Tentunya dibalik itu, ada suatu bentuk politik kepentingan yang sengaja diciptakan, melalui media untuk mengedarkan ide tentang fakta sosial tersebut. Dalam pengertian yang lebih sederhana, kekacauan pikiran yang diidentifikasi dari argumen pejabat yang saya lupa siapa namanya itu, menandakan bahwa negara sepertinya dengan sengaja memunculkan sekaligus merawat realitas yang tidak pernah ada, menjadi fakta sosial di masyarakat dengan meminjam istilah “isu”.

Bayangkan saja, seorang perwakilan dari negara bercakap-cakap dimuka publik dengan membawa sebuah isu yang realitasnya tidak pernah ada, sama halnya negara tengah mengedarkan kebohongan. Hanya saja kita tidak pernah tahu, akibat budaya kita yang tak berani berfikir kritis terhadap realitas, oleh karenanya kita tidak pernah mempermasalahkan itu.

Andaikan muncul sebuah argumen,”bukankah di media beberapa hari terakhir sering memberitakan hal itu, dan pihak kepolisian telah menjalankan fungsi penegakkan pada beberapa kasus serupa yang muncul.” Kalau demikian adanya, justru kita bertanya; media yang mana? Dan penegakan hukum oleh kepolisian yang seperti apa? Untuk membaca problem bangkitnya isu komunis yang telah lama mati dan terkubur. Pertanyaan ini harusnya terjawab dengan cukup mendengarkan isi pidato pembukaan forum itu. Tapi hingga akhir pidato, tak pernah jelas pembicara itu sedang berbicara apa.

Kita menghadapi suatu bentuk ancaman dari berkembangnya media informasi yang mudah sekali mengedarkan informasi palsu, bukan identik memang, tapi kecenderungan kemudahan untuk mengakses dan mengedarkan informasi dimanfaatkan oleh beberapa kelompok publik dengan pikiran yang sinis untuk meraup untung dalam kepentingan melalui berita palsu.

Jika dalam isu tentang bangkitnya PKI itu tidak pernah ada realitasnya, namun beberapa media online mengemasnya dengan nalar kognisi nilai-nilai berita yang bersifat praduga, apakah negara akan mengolah informasi tersebut menjadi suatu diskursus di parlemen. Maka negara kita bisa sebut bodoh, termasuk pemerintah dan semua pejabat yang menjadi petugasnya. Bagaimana mungkin informasi yang tidak pernah ada realitasnya dan bersumber dari media online atau media sosial informasi yang kerap diragukan kredibilitasnya menjadi sumber utama diskursus kenegaraan dalam membaca kondisi psikososiologis civil society. Harusnya negara membuat semacam kanal informasi yang berfungsi sebagai telinga dan mata yang khusus untuk mendengar dan melihat bagaimana kondisi civil society yang dipimpinnya. Bukan malah mengandalkan social informatic milik otoritas privat publik, yang tentu kita tahu berorientasi pada kepentingan pada wilayah privat-individu, sektarian, ideologi, bahkan trah kelompok tertentu.

Disini kita bertanya, apakah benar negara sedang menciptakan sebuah isu  tentang bangkitnya PKI misalkan, dan lantas merawatnya untuk kepentingan tertentu, mengingat fakta sosialnya tidak pernah menghasilkan fakta dan data apa-apa. Saya lebih sepakat dengan cara berfikir demikian.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler