x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarut (2)

Membaca Aras Pemikiran dari Pidato Pembukaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Membaca Aras Pemikiran dari Pidato Pembukaan

“PKI itu adalah hantu, dan masyarakat Indonesia suka sekali memelihara hantu”. Sebuah argumen yang menarik, agak satire memang, dan mengelitik, sepertinya cocok untuk dibuat status twitter, facebook, atau Instagram. Ya, minimal pembaca akan menganggap anda sebagai seorang yang kritis yang mampu membaca problematika sosiopolitik negara belakangan ini, atau justru sebaliknya, semua pembaca status anda gagal paham oleh kalimat yang anda tulis, karena disusun dengan logika berfikir yang kacau. Tapi, pembaca tidak akan menyalahkan anda meskipun pada akhirnya anda akan di-bully karena tak mampu menjelaskan apa maksud dari status tersebut. Tapi tak perlu khawatir yang pikirannya kacau bukan anda, karena anda hanya copy-paste (Copas) saja dari pikiran negara untuk kepentingan status media sosial anda. Dan sudah jelas yang pikirannya kacau adalah pikiran negara. Yang tentunya menular pada pikiran anda pula.

Verbatim berikut, diikuti oleh beberapa argumen bahwa masyarakat Indonesia belakangan ini mengalami defisit Pancasila, negara katanya membaca itu. Tapi saya tidak menemukan bersumber dari mana argumen tentang masyarakat yang tengah mengalami defisit Pancasila tersebut. Apakah ini hoax semoga saja tidak. Isu SARA, demo besar-besaran, intoleransi mereka yang beragama jeruk dengan mereka yang beragama mangga, merebaknya organisasi masyarakat (Ormas) dengan gagasan negara Islam melawan mereka yang tetap memilih gagasan negara bangsa. Apakah kasus-kasus demikian menjadi akumulasi bagi kita dengan menyebut masyarakat Indonesia mengalami defisit akan Pancasila. Tentu kita bertanya apa yang dimaksud dengan defisit dalam konteks Pancasila.

Defisit yang tengah kita percakapkan, apakah itu berarti defisit penerapan sehari hari kita sebagai warga negara. Ataukah defisit dalam hal pemaknaan atas Pancasila itu sendiri. Pertanyan ini menjadi kegundahan kita bersama jika tak pernah ada inisatif untuk menjawabnya, dan dilain sisi negara tetap ambigu ketika ada seorang wartawan yang bertanya demikian. Pikiran rezim yang bertengger di sebuah pohon bernama negara, hanya mampu memahami bahwa Pancasila sedang defisit karena munculnya kelompok-kelompok yang menginginkan negara Islam, demo besar-besaran penistaan agama, dan perilaku diskriminatif SARA pada beberapa kelompok etnis dan ormas agama. Secara kuantitatif negara menangkap itu, tapi secara analitik kualitatif problem mendasar kita adalah pemaknaan atas Pancasila sebagai asas tunggal bergeraknya peradaban bangsa Indonesia. Jika kita mengukur menggunakan kuantitatif, maka akan berbenturan dengan suatu problem mendasar bahwa hasrat dan rasa nasionalisme seorang anak bangsa akan diukur sejauh mana ideologi dari bangsa itu terinternalisasi dalam dirinya, lantas menjadikan aktualisasi perilaku, pikiran dan sikapnya sehari-hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ilustrasi sederhana, agar konsep ini tidak disebut sebagai hoax. Jika saya seorang nasionalis dan profesi saya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) disalah satu instansi Provinsi Jawa Timur yang letak kantornya di Daerah Kebonsari Surabaya, maka pakaian batik safari saya, entah apapun warnanya adalah aktualisasi rasa nasionalisme saya terhadap negara. Logika demikian, bagaimana jika kita terapkan pada mereka yang bekerja sebagai tukang becak yang menunggu penumpang dan penjual nasi kuning bungkus yang menunggu pembeli lapar untuk sarapan, setiap hari mulai dari jam 06.00 WIB pagi hingga Adzan Maghrib berkumandang dibahu Jalan Daerah Kebonsari Surabaya tepat di depan Kantor Dinas Perhubungan, mengaktualisasikan rasa nasionalismenya, jika ukuran nasionalisme adalah atribut fisik yang dikenakan dari seorang civil society setiap harinya. Berarti seorang PNS tersebut lebih nasionalis ketimbang tukang becak dan si penjual nasi, karena nasionalisme ditunjukkan dari mengenakan pakaian batik, jika tidak, maka tukang becak dan penjual nasi bungkus itu dikatakan sebagai tidak nasionalis dan anti-Pancasila. Oleh karenanya pantas ditangkap dihukum atua dideportasi. Kekacauan ini yang akhirnya muncul jika kita mengkuantifikasi nasionalisme hanya sebatas atribut fisik, bukan pada atribut non-fisik, karena itu bersifat kualitatif.

Wajar saja jika landasan berfikir demikian digunakan oleh negara untuk menangkap problem defisit Pancasila, hanya menghasilnya upaya-upaya indoktrinasi tentang Pancasila dan nasionalisme pada civil society yang bentuknya kurikulum Pancasila dan bela negara. Indoktrinasi Pancasila dan nasionalisme oleh negara menjadi suatu bentuk rumusan yang diklaim mampu menuntaskan problem mendasar tentang intoleransi, radikalisme, ideologi transnasional dan isu SARA. Padahal  kita menyadari ada ekses negatif mengular dibelakangnya, akibat Pancasila menjadi doktrin utama pendidikan civil society.

Ketika doktrinasi menjadi  metode untuk menangkal intoleransi, radikalisme, ideologi transnasional dan isu SARA, maka tidak menutup kemungkinan negara akan memiliki ukuran tentang siapa yang Pancasialis dan siapa yang tidak. Bersumber dari pikirannya sendiri, dan tentunya ada kecederungan naif tentang ukuran suka dan tidak suka. Doktrinasi adalah suatu bentuk proses pembelajaran yang tak memberikan ruang pada cara berfikir analitik dan dialektis untuk memahami suatu bentuk realitas. Realitas yang dipahami oleh cara berfikir doktrinal akan menghasilkan hafalan sebagaimana doktrin tersebut terapkan. Jika doktrin itu berbicara tentang ide A, B dan C, maka realitas yang akan mereka pahami hanya bernada A, B dan C, realitas yang mereka lihat adalah sama, karena hanya itu ukuran makna yang mereka hafal, bukan yang mereka pahami tentang suatu realitas. Mirip sebuah konstruk teorik yang bersumber dari sebuah paradigma apa yang digunakan untuk membaca realitas, Thomas Khun membantu kita untuk memperkirakan bagaimana paradigma satu hingga kesekian saling bergantian secara berurutan.

Pada akhirnya jika Pancasila dan nasionalisme sebagai doktrin, begitu gencar diedarkan oleh negara hingga membuahkan kurikulum dan konsep pendidikan bela negara. Maka yang terjadi negara disadari atau tidak mengalamai gejala psikis yaitu sikap parno, anxietas, naif dan lebay. Kecenderungan psikis demikian yang mengakibatkan negara tak akan segan menghukum tukang becak dan penjual nasi kuning bungkus lantaran di hari kamis pagi tidak mengenakkan pakaian batik, sebagai perlambangan nasionalisme dan Pancasilaisme bangsa.

Gejala psikis itu tentunya belum bisa dikatakan sebagai gangguan mental berdasarkan vonis buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) yang digunakan oleh para psikiatri dan psikolog. Tapi kita merasakan bahwa gejala itu menimbulkan suatu bentuk kecemasan yang diedarkan dengan sebuah ungkapan atau istilah anti Pancasila. Penyebutan dengan meminjam istilah anti-Pancasila merupakan konsep fundamental hasil dari proses belajar dengan cara mendoktrin, yang akhirnya berbuah ditelanjanginya sebuah ormas bernama HTI, yang belakangan kabarnya kita sempat dengar.

Sejenak kita membaca tentang kabar pembubaran ormas HTI, beberapa waktu yang lalu sebuah Perppu tentang ormas yang anti-Pancasila membuahkan hasil bahwa salah satu ormas bernama HTI harus dibubarkan karena tidak pancasilais karena menginginkan berdirinya negara Islam. Ketika kita saksikan argumen pemerintah, dari Kementrian Polhukam tepatnya, bahwa bukan hanya HTI saja yang akan dibubarkan tapi semua oramas yang tidak Pancasilais akan dibubarkan. Dilegitimasi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bahwa negara harus diamankan dari segala bentuk ancaman termasuk ideologi yang hendak mengganti Pancasila, karena Pancasila menjadi falsafah hidup semua elemen kebangsaan yang hidup di NKRI. Perkara pembubaran yang diawali dengan Perppu Ormas anti-Pancasila itu, beberapa minggu berhasil menyita perhatian publik untuk mengkritisi secara habis habisan siapa HTI? Bagaimana ideologi, mengapa bisa muncul di Indonesia? Cara berfikir demikian muncul dari publik untuk diarahkan kepada ormas tersebut. Di-blow up oleh media massa menjadikan pertanyaan itu sebagai headline dan arah pemberitaan. Pada saat yang sama kita kritis terhadap HTI, karena ideologi khilafahnya yang anti-Pancasila. Tapi tidak pernah kritis mengapa Pancasila sebagai falsafah hidup kita, belakangan membuahkan pembubaran ormas.

Kita bisa sebut dengan berbagai macam sarkasme dengan perilaku rezim yang naif, lebay, parno mengeksploitisir istilah anti-Pancasila. Ditelanjanginya HTI, yang diklaim oleh Menkopolhukam bukan hanya HTI saja yang bernasib demikian. Mencerminkan bahwa Pancasila yang dipahami dengan metode belajar dan cara doktrinasi hanya menghasilkan pembubaran dan penangkapan. Disini kita bertanya apakah ini bukan suatu bentuk kegaduhan yang disebabkan oleh negara?

Kita paham jika HTI adalah salah satu ormas Islam yang memiliki aras pemikiran sempalan dari Ihwanul Muslimin Timur Tengah, menjadikan khilafah sebagai orientasi politik dan ketatanegaraannya. Logika dasar HTI bisa tumbuh dan muncul ditengah-tengah peradaban kita yang majemuk akan entis, agama, dan kepercayaan kita yakini hal itu sebagai antitesa dari penerapan konsep negara demokrasi dan Pancasila yang diterapkan oleh NKRI. Antitesa itu muncul akibat dari pembacaan situasi politik, ekonomi dan budaya, HTI menganggap bahwa negara Indonesia mengalami defisit dalam berbagai macam aspek kehidupan berbangsa. Oleh karenanya konsep khilafah dan kedaulatan ummah yang menjadi tawaran bagi HTI untuk menggantikan negara Pancasila ini menjadi negara Islam. HTI melansir kritik itu hampir setiap minggu melalui buletin Al-Islam yang mudah kita temui dipojokan masjid. Kita membaca segala aras pemikiran khilafah yang diusung HTI selama ini adalah sebagai koreksi habis-habisan kepada kita tentang bagaimana caranya bernegara. Kita tak perlu menutup mata atas kritik tersebut. Nalar politik kita seharusnya tak menolak kritik tersebut sebagai hal yang patut dihindari. Fungsi berfikir ta’adul dan tawasuth ada disini dan untuk momentum ini. Apakah tidak mustahil kritik yang ditawarkan oleh HTI menjadi bahan evaluasi besar-besaran tentang bagaimana penerapan sistem demokrasi dan proses internalisasi nilai-nilai Pancasila pada bangsa Indonesia, agar pejabat-pejabatnya tidak lagi korupsi, karena sadar bahwa itu adalah uang rakyat atau uang umat, agar tidak lagi melacur kepada kepentingan asing dan para elit global, karena aset negara yang harusnya untuk kemaslahatan bersama, bukannya untuk kemaslahatan perseorangan saja. Kesemuanya itu, adalah politik akal sehat dari negara, ketika kita memilih untuk berhenti menjadi parno, naif, dan lebay.

Bagaimana caranya? Hindari menggunakan doktrin, mulai berijtihad dengan pikiran terbuka bagaimana memantik kesadaran kebangsaan menggunakan Pancasila. Bukan malah membuat daftar hafalan tentang doktrin Pancasila.

Ideologi kapitalisme saja, jika kita membaca sejarahnya, bahwa kritik yang begitu tajam kerapkali diarahkan kepadanya. Sempat mengalami keadaan kalut, lantaran menyisahkan problem seteru antar kelas masyarakat yang muncul dari paradigma sosialisme. Dan hampir ditinggalkan. Tapi lambat laun kritik itu surut, seiring berlalu kapitalisme menguat, justru sosialisme mulai ditinggalkan, lantaran tidak lebih rasional daripada kapitalisme. Mengapa demikian? Kapitalisme ternyata telah memperbaiki dirinya menjadi sebagaimana kritik yang dilontarkan menegasi nalar berfikirnya. Kini kapitalisme menjadi begitu sempurna, lantaran keberaniannya untuk mendengarkan kritik, memahami kritik, dan mulai belajar dari apa yang diinginkan kritik.

Dengan kritik yang begitu deras muncul dari aras berfikir konsep ummah Khilafah yang disusung HTI, apakah Pancasila mau mendengarnya? Terlepas dari problematika dasar epistemologi yang dimengerti oleh HTI, yang sebenarnya gagal paham Khilafah. Namun sebagai bentuk dialetik gagasan, Pancasila akan menjadi naif jika ditandaskan sebagai sesuatu yang final.

Secara terang kita patut menyatakan, jika Pancasila hanya menghasilkan pembubaran, penangkapan, pembumihangusan, jelas bukan soal HTI saja yang dikritik (karena HTI itu adalah debu kecil yang terselip disebuah roda bergerigi besar dari perdabaan bangsa Indonesia), tapi Pancasila yang mesti dikritik. Pancasila patut kita kritik, bahkan kalau perlu serca terus menerus tanpa henti, dan jangan sampai dimaknai secara final. Sering kali kita mendengar sebuah ungkapan yang bernada agitasi bahkan cenderung demagog, bahwa Pancasila itu final. Final yang kita maksud seperti apa? Rumusannya tentu kita sepakat sudah final, tak ada yang akan membantah, sejak percakapan yang teramat keruh pada diksi sila pertama, saat berberapa peserta sidang telah merembukkan Piagam Jakarta. Tapi dalam upaya untuk memaknai sebagai iktiar untuk menemukan gagasan yang bernegara disetiap zaman, Pancasila dilarang untuk final dalam hal pemaknaannya. Pancasila kalau perlu harus diijtihadkan terus menerus setiap lima tahun sekali, ketika rezim saling silang sengkarut bergantian memegang tampuk kekuasaan. Pancasila harus ditemukan rumusan yang by conteks pada zamannya.

Mengapa kita harus mengkritik Pancasila? Tentu Pancasila jika kembali pada konsepsi diawal yang kita rumuskan, bahwa bukan problem kuantitatif, tapi bagaimana secara kualitatif kita mensintesiskan kembali pemahaman atas Pancasila menjadi suatu bentuk kesadaran untuk berfalsafah hidup sebagai warga negara, dan bukannya sebagai atribut fisik seperti pakaian batik yang hanya dikenakan saat jam 08.00 WIB hingga jam 16.00 WIB, jam kantoran PNS. Akal sehat politik kita menghendaki Pancasila bukan hanya sebatas doktrin, kendati demikian tampak tidak masalah (berhubungan para negarawan adalah orang tidak tahu, bukan bodoh, maka Tuhan memaafkan ketidaktahuan mereka tentang bagaimana seharusnya Pancasila diperlakukan). Pancasila harus menjadi silogisme pikiran yang membuat civil society sadar akan fungsi Pancasila sebagai falsafah atau kebijaksanaan dalam berbagai dimensi hidup mereka, dan bukan sebatas atribut fisik yang menghasilkan gebuk, pembubaran, pernangkapan dan pembumihangusan pada mereka yang dituduh anti-Pancasila. Andaikata saya seorang nasionalis yang hardcore, maka Pancasila dalam pikiran saya akan menggerakkan segenap sistem saraf termasuk mempengaruhi sintesis hormonal tubuh untuk menjadi seorang civil society yang melihat secara kritis dan mendasar dari akar masalah yang dialami oleh bangsa. Karena Pancasila, bagi kami seorang warga negara adalah modal dasar untuk berfikir sehat dengan cara kritis dalam rangka merawat IQ nasional bangsa. Kemudian, jika mendadak bangsa kita dihantam sebuah polemik dan masalah yang tak kunjung ditemukan penyelesaian, maka saya akan menganalisis bagaimana masalah itu bisa mengakar? Apa latarbelakangnya? Dan, jikalau telah teridentifikasi secara jelas, maka solusi dan keputusan macam apa yang dapat kita terapkan untuk menuntaskan problem ini. Beberapa tahapan berfikir demikian hendaknya kita terapkan untuk membaca secara jernih bagaimana isu tentang PKI yang lama telah hilang kini setelah sekian belas tahun mencuat. Bagaimana kita mensikapi HTI dan ormas-ormas yang diklaim anti-Pancasila. Kita berharap ada seorang yang bernalar satrio piningit, iya, cukup nalarnya saja yang bisa kita butuhkan, kendati kita tak akan pernah menemukan mereka yang benar-benar menjadi sosok satrio piningit, tanpa seizin Tuhan. Yang menuntaskan problem kebangsaan dengan cara berfikir politik akal sehat, bukan politik akal miring, yang belakangan menghasilkan pemaknaan Pancasila sebagai alat untuk menghakimi, menelanjangi, dan memukul orang lain.

 

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler