x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (3)

Satu Hal Menarik untuk Kita Dengar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu Hal Menarik untuk Kita Dengar

Tidak semua pembicara memantik ketertarikan saya untuk memahami secara detail isi makalahnya sebagian besar memang bercakap-cakap tentang sistem informasi dan infrastruktur di dalamnya. Sebuah perbicangan menarik bagi saya pribadi adalah ketika seorang pembicara dari Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia menawarkan sebuah konsep dalam memaknai cyberspace yang kini makin silang sengkarut dengan adanya sekelompok orang yang berkepentingan meraub keuntungan menggunakan pemberitaan hoax. Pembacaan menariknya adalah adanya sebuah istilah sosialimperatif dalam dunia cyber yang artinya teknologi itu berdialektika dengan manusia, didalam kehidupan. Telah disebut menjadi fenomena bahwa kehidupan manusia belakangan ini, menjadi lebih praktis, mudah dan efisien akibat modernitas yang menyajikan arus berkembangnya teknologi. Khusus untuk percakapan ini dipersempitkan untuk membahas teknologi informasi dan komunikasi, bahwa dengan berkembagnya infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, manusia sebagai subjek utama (menurut pandangan filsafat modern), akhirnya hidup berdasarkan peruntukkan dan orientasi teknologi. Ini menjadi polemik, kita merasakan itu. Bahwa teknologi diawal berkembangnya dunia modern yang dipantik oleh revolusi industri, dan setelah dibukakannya jendela peradaban manusia oleh Rene Descartes tentang rasionalitas pikiran manusia yang begitu menentukan inti dasar dari keberadaannya selama ini di alam semesta. Teknologi tujuan awalnya adalah untuk mempermudah, membantu dan mempersingkat apa yang ketika manusia lakukan menimbulkan ekses yang tak diinginkan. Artinya tekonogi memiliki pijakan berfikir awal sebagai entitas yang membantu manusia. Kini berbeda, polemik yang sedang terjadi tanpa kita sadar secara psikologis sebenarnya kita hidup berdasarkan apa yang diinginkan teknologi. Teknologi tentu memiliki suatu bentuk fungsi dan kelebihan yang khusus memudahkan aktivitas manusia, entah karena apa, belakangan teknologi kini justru berbalik, menjadi yang membentuk manusia. Percakapan sinis semacam ini sebenarnya habis tuntas dipergunjingkan oleh mereka komplotan Madzab Frankfrut, teori kritis menjadi paradigma untuk menyadarkan kita bahwa, “kita tak bisa apa-apa.”

Betapa hinanya. Sokrates mengajarkan sebuah keutamaan ilmu pengetahuan dengan suatu bentuk sikap tawadu’ untuk senantiasa istiqomah dalam mengucapkan, “saya tidak tau apa-apa.” Sebanyak 150 kali setiap hari sehabis wirid sholat fardhu. Masih mending Sokrates, ketidaktahuan itu tetap menempatkan diri manusia secara sadar sebagai seorang yang tak akan pernah berhenti belajar. Tapi berbeda dengan ungkapan , “kita tak tak bisa apa-apa.” Yang menandakan tentang keadaan pikiran kita termasuk tindakan kita yang telah berhenti seketika karena ketidaksadaran yang kita buat.

Tapi pembicara dari Kominfo pusat itu menuturkan sebuah konsep penting untuk membantu kita membaca bagaimana teknologi ini berdampingan dan mempengaruhi kehidupan manusia. Yakni, teknologi yang sedemikian berkembang sebenarnya menghasilkan digital infrastruktur dan digital suprastruktur. Yang dimaksud digital infrastruktur, adalah mencangkup segala jenis teknologi yang menjadi alat untuk memudahkan kehidupan manusia dalam berbagai macam bidang kehidupan. Mulai dari e-tilang, e-tiket, ojek online, tukang sapu online, dan lain sebagainya. Infrastruktur teknologi tersebut, sebagai komponen penyusun yang bersifat praksis untuk manusia. Disamping infrastruktur teknologi, kemudian ditunjang oleh adanya digital suprastruktur yakni tata cara dan tata aturan yang terinternalisasi dalam diri manusia disaat menggunakan infrastruktur teknologi. Kedua komponen utama dari berkembangnya teknologi itu lambat laun menciptakan digital culture, sebagai pola dasar perilaku dari masyarakat pengguna teknologi. Yang ini masih menjadi perdebatan, karena muncul dualisme dampak, antara yang positif dan ada yang negatif. Akan menjadi negatif, jika digital culture tersebut muncul akibat adanya infrastruktur teknologi, dan manusia berperilaku dan berfikir atas dasar adanya teknologi, bukan justru memanfaatkan teknologi. Berbeda dengan menjadi positif, ketika budaya digital ini mengarah kepada suatu keadaan masyarakat untuk memanfaatkan atau bahkan membuat teknologi yang telah terukur akan berdampak baik bagi kehidupan sehari-hari. Namum, akibat pesatnya teknologi yang begitu kuat memberikan pengaruh bagi kehidupan manusia, dalam pembicaraan forum ini lebih menitikberatkan pada urgensi dari keutuhan publik untuk resillience, karena dimensi kejahatan yang lazim kita pahami dalam dunia nyata secara fisik, setelah arus modernitas dan ramainya teknologi, kejahatan merembet dalam dimensi yang agak lain, namun karakteristiknya sama, melalui cyberspace. Kajahatan di zaman sekarang melalui cyberspace bagai seonggok hantu yang tak nampak bahkan samar-samar tak pernah jelas, oleh karenanya kita menjadi ketakutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cyber resillence dalam forum ini diciptakan untuk menjadi kebutuhan yang mendesak bagi para civil Society yang bergerak pada bidang sistem informasi, dalam bentuk apapun. Teknologi dalam perkembangan arus informasi dan komunikasi saja, telah menciptakan suatu budaya bahwa masyarakat yang menggunakan teknologi bisa disebut sebagai wartawan dan dan bisa diangap mengancam kedaulatan negara. Mengapa demikian?

Pembicara mengungkapkan bahwa fenomena berita hoax yang muncul di media, hampir saja diartikan sebagai lumrah karena setiap hari, bahkan setiap detik berkelebatan dihadapan kita, kendati kita tak pernah tau dari mana dan dengan cara apa memperolehnya. Sebenarnya hal itu merupakan anomali bahwa teknologi menyajikan kemudahan mengakses informasi dan komunikasi bagi setiap manusia, namun diluar dugaan, justru disamping kemudahan tersebut muncul kecederungan untuk menyalahgunakan. Ini problem mendasar masyarakat cyber. Tentu masyarakat bergeming, akibat kemudahan yang disajikan teknologi, yang seharunya diperuntukan untuk fungsi dan tujuan utamanya, berbalik pada adanya niat untuk menyalahgunakan. Penyalahgunaan itupun akhirnya menjadi rumit akibat motif-motif dari mereka yang menyalahgunakan, ada yang menyalahgunakan karena memang begitu mudahnya teknologi ini menghasilkan dan menyebarluaskan informasi. Atau karena memang ada persekongkolan dari beberapa pihak (saya sebut pihak bukan oknum, karena pihak bisa saja mereka yang tak pernah kita duga melakukan kejahatan. Seperti pemerintah)  untuk melancarkan kepentingannya melalui media atau teknologi informasi.

Kemudahan itu menjadikan masyarakat bisa mendokumentasikan, mengedit, dan menyebarluaskan informasi yang dapat dari realitas untuk diedarkan ke masyarakat lainnya. Terlepas dari entah informasi tersebut bertendensi negatif ataupun positif. Kita bisa lihat bahwa metode jurnalistik sebenarnya tidak disadari, publik bisa melakukannya. Oleh karenanya disebut bahwa semua orang bisa menjadi wartawan, karena kemudahan teknologi untuk menyebarluaskan informasi menjanjikan hal itu. Ada potensi besar masyarakat memanfaatkannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung negatif, seperti mengedarkan informasi palsu. Belakangan kita ketahui mengenai kabar perihal Gunung Agung di Bali yang dikabarkan meletus ternyata hanya hoax dan lain sebagainya. Kecenderungan ini ditangkap oleh pembicara lantas diedarkan dengan sebuah kalimat, ”semua masyarakat bisa menjadi musuh negara.” Terkesan bertendensi saya pikir, masyarakat dianggap sebagai musuh negara akibat potensi penyalahgunaan teknologi yang kurang tepat. Mungkin paradigma pembicara Kominfo itu muncul dari paradigma mereka yang bertindak sebagai kelompok dominan, yakni negara, artinya lumrah saja, bahwa Kominfo adalah institusi cyber informasi milik pemerintah yang akan selalu mengedarkan pikiran-pikiran yang bersumber dari negara, kepada masyarakat. Dan menganggap pikiran yang berusaha menegasi atau mengcounter pikiran negara dianggap sebagai ancaman. Dari sini kita tahu mengapa harus menggunakan kalimat, “semua masyarakat bisa menjadi musuh negara.”

Sedikit kita ulas ungkapan itu. Mungkin pembicara itu tahu bahwa people power entah bagaimanapun format dan metode untuk menampilkannya, memiliki kecenderungan untuk menyerang mereka yang berkuasa. Masyarakat mengetahui jika negara dan pemerintah, adalah mereka yang disebut penguasa, disamping dirinya sebagai yang dikuasai. Tendensi buruk pemanfaat media bagi people power atau mereka yang dikuasai akan selalu pada upaya untuk melawan penguasa. Tentu negara memahami ini entah sebagai ancaman atau sebagai apa, yang jelas diksi people power dan sebutan masyarakat sebagai musuh negara, menandakan bahwa negara merasa terancam dan negara meng-iya-kan adanya motif yang buruk dari civil society yang mengarah kepadanya. Kesadaran ini mustahil akan muncul jika negara tidak merasa sedang berbuat zalim dan aniaya pada warga negaranya. Tapi buktinya mereka menyebut civil society dengan istilah demikian, yang artinya menandakan negara benar-benar bermain api kezaliman pada waga negaranya.

Apakah cara pandang demikian akan disebut sebagai hoax? Sangat mungkin disebut sebagai hoax, tapi oleh siapa? Oleh Penguasa. Karena meraka memiliki ukuran dari informasi itu disebut hoax atau tidak ketika informasi itu menuding kearah hidung kepentingan penguasa dalam bentuk polis atau tidak. Hoax diartikan lain, dan bukan semata-mata informasi palsu atau bohong. Tapi hoax bisa diartikan sebagai label dalam upaya stigmatisasi bagi mereka yang berpotensi melawan, menyerang atau membahayakan institusi. Bayangkan, hoax disini menjadi monopoli oleh mereka yang berkuasa, yakni pemerintah. Dengan cara membongkar habis pengertian asalnya dan menyusun ulang dengan kriteria kepentingan si pembongkar.

 

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB