x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (5)

Yang Disebut jahat itu Apa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yang Disebut jahat itu Apa

Jahat dalam cyberspace, ada dua macam, jahat karena menggunakan teknologi untuk suatu tujuan yang merugikan pihak tertentu. Dan jahat terhadap teknologi. Inti percakapan dari pembicara Kominfo pusat tersebut lebih menitikberatkan pada jahat terhadap teknologi, beberapa contoh yang dikemukakan bagaimana foto-foto yang tersebar  di media online dan sosial media karena kecanggihan software aplikasi editing video dan editing foto begitu mudah merekayasa gambar yang manipulatif berbeda dari realitasnya. Oleh karena itu Cyber Resilience diperuntukkan untuk hal ini. Informasi palsu, penyebar kebencian, ajakan yang mengadung Sara menjadi bentuk kejahatan, karena hoax diproduksi dengan tujuan tertentu yang merugikan seseorang. Pemberitaan palsu atau hoax mengunakan media massa dan social informatics dilakukan atas dasar tertentu. Tentu saja atas dasar keuntungan, yang bentuknya beragam bisa kekuasaan, income pendapatan dan lain sebagainya. Pembicara di depan menandaskan konsep ini begitu tebal, dengan menunjukkan sebuah berita penangkapan kelompok penyebar kebencian Sarachen yang disinyalir sebagai kelompok yang terorganisir dalam memproduksi kebencian. Tapi tidak menarik jika hanya membaca fakta tentang Sarachen yang begitu kontras, kepentingannya adalah selama Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Justru yang manarik bagi kita adalah bagaimana produksi informasi hoax itu menjadi begitu sistemik, itu inti pertanyaan kita.

Ada sebuah dalil yang mengatakan ketika ide itu diedarkan, pada saat yang sama telah tercipta pasar. Hoax sebagai ide yang dilontarkan kepada khalayak publik memiliki suatu tujuan terciptanya pasar bagi mereka yang mengedarkannya. Ketika kita menyebut pasar, maka disana akan terjadi aktivitas tawar-menawar dan jual beli. Apa yang diperjualbelikan, tentu kepentingan yang menguntungkan. Ketika hoax menjadi salah satu kata yang diproduksi oleh negara untuk dipelajari dan menjadi salah satu ilmu pengetahuan bagi masyarakat, sebenarnya negara tengah memainkan pasar tentang informasi hoax yang tersebar di masyarakat, sekaligus memonopolinya untuk tujuan tertentu. Negara akan bertindak sebagai penentu siapa yang dikatakan sebagai penyebar hoax dan siapa yang bukan. Apa yang boleh dibaca, apa yang tidak. Apa yang layak didengar, dan apa saja yang tidak. Dan proses tersebut akan dihargai dengan suatu konsep nilai tertentu. Negara punya legalitas yang sah pada akhirnya, untuk menunjuk hidung seseorang (kelompok atau media tertentu) menggunakan istilah kata hoax yang bersumber dari dirinya. Tidak akan ada yang berani membantah atau menolak, karena pemerintah yang memproduksi istilah tersebut. Bahkan mustahil akan ada yang menyaingi, karena tidak ada status quo yang lebih besar ketimbang politik kekuasaan. Masyarakat yang tidak kritis cenderung mempercayai jika pada suatu moment tertentu pemerintah melansir sebuah informasi yang mengatakan bahwa ada situs-situs atau media korporasi yang terbukti menyebarkan hoax. Inilah yang disebut pasar dan mekanisme monopoli. Arus informasi diatur sedemikiran rupa melalui proses monopoli pasar yang dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk pemahaman isi kepala publik sebagaimana sama dengan kehendak pemerintah. Akan lebih menakutkan lagi, jika pemerintah menggunakan siasat pasar dan monopoli informasi itu untuk menganulir, menghalangi, menggebuk mereka yang tak senada dengan negara. Pada saat itulah pengaturan pikiran dan pendangkalan akal sehat sedang terjadi secara hegemonik yang nyaris tanpa kita sadari. Siapa pelakunya? Pemerintah.

Hoax sebutlah demikian, bukan ketika anda sedang mengigau atau berteriak parau melihat tabir yang menyeramkan. Hoax, sama halnya dengan kata-kata yang pernah ada dan diproduksi oleh sejarah dunia. Tetaplah sebagai sebuah kata yang otoritatif bagi siapa yang menggunakannya. Kita perlu menarik kesimpulan secara perlahan tentang hoax yang sejauh ini nyatanya terselubung dibalik tabir, yang hampir sama sekali tanpa kita sadari. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoax disebut berita bohong. Dalam wikipedia hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. KBBI dan wikipedia menggunakan susunan kata hoaks bukan hoax. Tentang isu cyber security, e-goverment, goverment, dan public relation, yang ditengarai dengan merebaknya berita hoax, perlu ditafsirkan dalam bentuk operational ketika kita sehari-hari menggunakan teknologi informasi, tentunya dengan paradigma baru yang lebih kritis dan segar, bahwa hoax merupakan suatu bentuk informasi yang cacat metodologi yang oleh karenanya mengungkap data keliru. Dengan unsur kesengajaan, data itu bisa disebut sebagai bohong.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika hoax yang mengungkap data atau informasi keliru muncul ditengah arus informasi publik, tentu kekacauan akan dipastikan terjadi, tapi yakinlah mekanisme nalar kognisi publik memiliki defend menchanism yang ampuh untuk mendeteksi sekaligus menghindari dampak yag lebih merugikan dibelakangnya. Karakteristik berita yang memuat informasi keliru tentu akan berbeda dengan karakteristik berita yang memuat informasi bohong (informasi yang sengaja dibuat-buat untuk kepentingan tertentu). Karakteristik berita yang memuat informasi keliru dapat diketahui ketika informasi itu muncul ditengah-tengah arus informasi publik tidak bertendensi kepada kepentingan ideologi, pemikiran, politik atau kelompok tertentu. Terkadang informasi dari berita yang keliru adalah informasi yang kendati menimbulkan kekacauan, namun masih dalam skala yang kecil.

Namun berbeda dengan berita yang memuat informasi bohong atau informasi yang sengaja dibuat buat, yakni akan berdampak dalam skala dan frekuensi yang begitu besar. Dan bertendensi pada keinginan ideologi, pemikiran politik maupun kelempok tertentu. Keyakinan kita tentang berita yang memuat informasi hoax yang menganggap sebagai sebuah informasi yang cacat dalam penerapan metode jurnalistik, sebenarnya telah cukup menyelamatkan kita dari arus informasi yang berkelebatan sehari-hari. Toh, istilah rumor, kabar burung, gosip, dan buah bibir telah menjadi istilah kata yang lebih dulu ada jauh sebelum istilah hoax muncul. Dan apakah kita sadar, ternyata kita mampu melewatinya. Akhirnya kita sadari bahwa problematika dan kerumitan kehidupan psikososiologis manusia di zaman sekarang sebenarnya tak pelak sama karakteristiknya dengan problem-problem sejarah manusia yang pernah terjadi dahulu kala, jauh dibelakang peradaban. Lalu apa mau dikata? Ketika saat ini seakan-akan kita menjadi kalut dengan berita hoax yang ternyata penjelasannya begitu sederhana. Hoax jika disebuah percakapan yang didalamnya berkelebatan istilah itu, lalu berujung pada pertikaian pemikiran, ketahuilah, sebagai itikad dasar berfikir kritis, hoax itu bukanlah sekedar berita keliru, tapi berita bohong yang diciptakan oleh kepentingan.

 

Lalu Bagaimana Menyiasati Kerumitan Ini

Jawabannya gampang, meminjam tips and trik dari Rocky Gerung, seorang dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI), kalau problemnya hanya sekedar hoax dan arus informasi bohong yang diproduksi oleh politik, “cukup dengan naikkan IQ anda dan hoax akan menurun.” Sangat mendasar sekali, dan merangkum hulu-hilir problem yang ternyata sebuah keabsurditasan yang berbungkus jarum suntik kepentingan.

Saya sepakat, hanya dengan menumpas akar, maka hama wereng dan hama tikus ikut mampus, kendati kita terancam terlambat, atau bahkan gagal, untuk panen. Tapi keniscayaan panen yang akan datang lebih berkualitas menjadi doa sehari-hari. Kita butuh keberanian untuk menarik diri, bukan lari, tapi mengambil jarak untuk melihat secara kritis bahwa masalah ini apakah sudah benar dinamai sebagai masalah? Ataukah hanya sebatas realitas yang kita keliru menamainya sebagai masalah, sebenarnya bukan masalah. Mengapa kita keliru menamai realitas yag tidak bermasalah menjadi nampak bermasalah? Inilah akibat dari cara berfikir kita yang tidak berani. Tidak berani untuk apa? Untuk kritis. Secara moralitas, andaikan saja saya didapuk menjadi seorang pengacara yang diposisikan sebagai seorang yang pro atas status quo pemerintah dan segala tindak tanduknya, maka akan saya jawab, nalar pemerintah hendaknya lebih cepat melampaui dan mendahului nalar publik yang berkepentingan melalui informasi hoax. Kekuatan publik ada pada media sosial, bukan media massa, karena hanya dengan cara itu publik bisa berpolitik untuk menukartambahkan ide, gagasan dan pikirannya lewat status, story, gambar dan foto yang diunggah setiap hari. Alat publik dalam mengedarkan hoax adalah alat social informatic dan itu mudah untuk menganulirnya. Toh, pemerintah telah memiliki UU ITE yang telah direvisi menjadi begitu mudah untuk mengkriminalisasi mereka yang sembarangan menggunakan media sosialnya (Medsos). Pemerintah tak perlu khawatir informasi hoax itu menyebar di medsos, yang seharusnya diwanti-wanti adalah informasi yang keliru dipahami oleh publik, lantas dapat dimodifikasi menjadi bentuk kebohongan yang menimbulkan keresahan, itu yang berbahaya.

Bagaimana cara mengimplementasi gagasan solutif itu? Nalar pemerintah harus lebih cepat mendahului nalar publik, caranya ialah pemerintah menggunakan media massa yang mainstream untuk menangkal informasi itu, dengan membuat informasi tandingan. Sekali lagi, kita menyebutnya dengan istilah informasi tandingan. Bukannya doktrinasi informasi baru untuk menutupi informasi yang keliru. Yang dimaksud informasi tandingan adalah pemerintah ketika hendak mengcounter informasi keliru yang bersumber dari masyarakat, memilih mengedarkan informasi yang lebih presisi, valid, dan akurat menggunakan media lain yang berbeda namun sepadan kekuatannya, untuk menandingi head to head berita hoax yang sedang dilawan. Biarkan masyarakat yang akan menilai dan memutuskan, mana yang benar, dan mana yang pantas untuk ditelan. Toh, pemerintah memiliki kekuatan yang tak kalah hebat dari jenis media yang lazim digunakan, yakni media mainstream atau media massa yang memiliki kekuatan besar untuk menyebarkan informasi secara masif dan berkala.

Ilustrasinya, tentu yang dilakukan oleh Pak Tito Karnavian Kapolri, ketika pada suatu hari dibuat geram dengan suatu informasi yang menganggap bahwa Polisi merekayasa peristiwa penyerangan yang dialaminya, akan menjadi keliru jika bentuk argumen penangkal atau kilah tersebut muncul melalui media sosial yang dimiliki Pak Tito secara pribadi. Saran saya adalah, harusnya menggunakan media massa entah itu formatnya majalah, koran atau online, media massa itu memiliki kredibilitas dan cakupan pembaca yang luas. Melalui media massa itu Pak Tito bisa menganulir menggunakan data-data empiris yang dimiliki agar nantinya diolah secara metodologi jurnalistik para wartawan media massa yang bersangkutan.

Kendati demikian kita dapat sedikit bercermin dari apa yang dialami oleh Abdul A’la, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya. Ketika pada suatu hari, sebuah aksi demontrasi yang dilakukan oleh belasan mahasiswanya yang menuntutn dibukanya kembali pintu belakang akses keluar masuk kampus mahasiswa ke pemukiman warga belakang kampus, harus berujung pada dibentak-bentaknya sang rektor oleh salah satu peserta aksi. Entah karena rektor tidak enak hati dan merasa tersinggung oleh perilaku tak terpuji dari mahasiswa peserta aksi yang menggunakan cara membentak, sebagaimana yang dapat kita saksukan di Youtube. Bentuk rasa gusar dan rasa geramnya itu, justru membuat Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya memilih untuk melawan menggunakan media sosial kepunyaan pribadinya seperti fanspage facebook. Seakan nampak logis dan mampu meraih simpati banyak khalayak yang kebetulan mengjadi pengikut setia di media sosialnya, tapi disadari atau tidak, justru itu keliru, karena tidak menuntaskan problem mendasar dari adanya aksi tersebut. dan hal itu terbukti provokasi terus dilancarkan para peserta demonstran terus menerus melalui media sosial. Harusnya rektor menggunakan media massa untuk melawan arus informasi yang menyudutkan dirinya, ketimbang menggunakan sarana-sarana hegemonik yang semu melalui media sosial. Dari sini sebenarnya kita mengetahui secara pelahan bagaimana menyiasati problem pemberitaan hoax secara efektif.

Mengapa kita menggunakan media massa? Disamping problem filosofi tentang fungsi mereka yang telah lama menjadi usus besar korporasi. Memang, di sekelumit percakapan forum bidang Rembuk Nasional 2017 itu, sedikit mengulas tentang kerumitan media massa mainstream yang telah menjadi korporasi besar kepentingan pemodal. Tapi itu berada dalam ranah diskusi lain, yang tentunya lain pula memilih paradigma untuk mengulitinya. Informasi hoax itu secara preventif dapat ditangkal melalui proses atau metodologi jurnalistik yang digunakan awak media. Namun siapa yang tidak paham konsep demikian, asumsi ini begitu dasar bahwa berita hoax sebagai berita dengan kualitas metode jurnalistik yang buruk. Tapi lagi-lagi kita harus kritis, apakah iya kita hanya percaya hoax sebagai terminologi yang sesederhana itu, ketika melihat dampak dan imbas dari hoax yang begitu berbahaya. Sepertinya hoax bukanlah sebatas berita keliru.

Jika asumsinya berita itu keliru atua bohong berarti ada yang bermasalah dari metodologi yang diterapkan oleh jurnalisnya. Metode jurnalistik pada umumnya, memiliki kaidah pemberitaan yang bersifat verifikasi, konfirmasi, objektif, validity dan akurat. Nah, kaidah-kaidah semacam itulah yang sebenarnya masih menjadi kekuatan media massa mainstream dalam menyajikan pemberitaan yang berkualitas, yang tentunya terhindar dari apa itu yang disebut hoax.

 

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler