x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (7)

Menguji Ciri-Ciri Informasi yang Disebut Hoax

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menguji Ciri-Ciri Informasi yang Disebut Hoax

Berangkat dari apa yang ditawarkan oleh Herman Tolle, dalam slide powerpoint-nya, tentang ciri-ciri berita hoax yang tentunya patut untuk dihindari. Kita akan ulas satu persatu. Pertama, informasi yang menyebar kemudian sosial publik dapat dilihat pada judul informasi tersebut selalu ditulis dengan huruf besar dan tanda seru. Mencerminkan suatu bentuk kecacatan dalam metode penulisan jurnalistik. Media massa apapun format produk jurnalistiknya selalu memiliki ketentuan baku tentang keredaksian tulisan beritanya. Termasuk pula mencakup berapa jumlah karakter yang sesuai dengan judul dan bagaimana tata cara menuliskannya. Jika yang dikemukakan Herman Tolle, berita hoax selalu pada bagian judul ditulis menggunakan huruf kapital semua, tentu hal ini benar. Karena media massa tidak semua menyepakati dalam proses penulisan judul dalam pada perwajahan media miliknya menggunakan huruf kapital semua. Kemudian dalam membubuhi tanda baca, kaidah jurnalistik-pun mengaturnya, dan tidak serta merta hanya mengikuti selera dari perseorangan saja.

Kedua, berita hoax cenderung memberi perintah atau ajakan untuk segera share dan sebarkan, pada bagian akhir dari informasi yang disebut hoax. Tentu sebuah ide dan gagasan ketika hendak ingin mencapai suatu kepentingan tertentu, upaya yang bersifat konsolidatif akan dilancarakan dengan salah satu cara memberikan intruksi untuk menyebarkan informasi itu. Namun sebelum itu akan muncul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi seseorang akan langsung menyebarkan informasi yang baru ia dapat kepada orang lain? Beberapa beranggapan informasi itu menarik, ada yang menganggap informasi itu benar, ada yang beranggapan informasi itu bersumber dari data yang kredibel. Dan mustahil ada seorang yang bodoh, tanpa berfikir, dengan serta merta menyebarkan informasi hoax tanpa pernah tau bersumber dari mana dan apakah datanya benar. Karena ada sebuah catatan tambahan untuk mengintruksikan share dan sebarkan. Ini yang menjadi pertanyaan mendasar kita. Andaikata ada sebuah informasi hoax yang bersumber dari data bohong, namun ditampilkan dengan adanya data statistik rekayasa, dan foto-foto yang meyakinkan, seseorang yang kritispun akan percaya dan tidak akan segan-segan untuk menyebarkan informasi tersebut. Lalu apa sebenarnya maksud indikator nomor dua ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, informasi hoax cenderung membubuhi tambahan gambar atau foto yang bersifat provokatif, mengerikan, mengandung kekerasan, dan menyentuh perasaan. Nampak logis, tapi sebenarnya terjadi bias, lantaran media massa yang menggunakan metode jurnalistik yang presisi, dalam menampilkan pemberitaan akan selalu berupaya untuk menampilkan foto, gambar dan video yang otentik dari realitas di lapangan yang sedang diberitakan. Istilah provokasi disini menjadi rancu dan bertabrakan dengan konsep dasar jurnalistik. Jurnalistik menganggap foto, gambar dan video yang bagus adalah ketika benar-benar menggambarkan objektifitasan realitas yang sedang digambarkan. Namun istilah provokasi yang dirumuskan Herman Tolle membatalkan semua kaidah jurnalisme dalam penulisan berita. Apakah dengan dalih agar terhindar dari fitnah massal berita hoax, sebuah media massa harus menampilkan berita yang gambarnya tidak otentik, diperhalus atau disensor sedemkian rupa agar tak nampak provokatif. Kendati ada proses sensor yang dilakukan oleh editor dan redaktur di media yang bersangkutan, tetap saja kaidah jurnalistik untuk menayangkan menampilkan realitas otentik di lapangan sebagai sebuah pertaruhan mendasar kalangan jurnalis. Perlu adanya rumusan baru tentang apa yang dimaksud provokatif dalam media massa?

Keempat, informasi disebut hoax ketika diidentifikasi memuat informasi yang cenderung mengadu domba dan menebar kebenciaan. Dalam dunia jurnalistik wartawan ketika melakukan proses penggalian data kepada narasumber, teknik wawancara mengatur wartawan untuk menghindari menggunakan susunan kalimat yang menyudutkan ketika bertanya. Contoh, wartawan mengajukan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh narasumber secara terbatas, seperti iya, tidak, baik, buruk, dan lain sebagainya. Karena ditakutkan narasumber menjawab secara terbatas dan tidak utuh untuk menjelaskan kebenaran informasi yang sedang ditanyakan wartawan. Memang tidak terlalu berbahaya ketika wartawan berberapa kasus sering menggunakannya, entah unsur ketidaktahuan atau memang sengaja untuk mendapat statement kontroversial yang telah direkayasa sebelumnya, namun hal ini beresiko pada narasumber tidak memiliki kesempatan untuk menyampaikan keseluruhan informasi yang menyangkut dirinya.

Kelima, informasi hoax cenderung bersumber dari media informasi yang tidak jelas, seperti situs blogspot, akun Facebook dan Twitter yang tidak terverifikasi. Hoax yang bersumber dari media yang disebutkan itu sebenarnya tidak terlalu bermasalah, jika melihat sumber-sumbernya berasalkan dari situs-situs gratis yang disediakan oleh google atau mesin pencari lainnya, tentu dapat dipastikan situs gratis penyebar hoax tersebut digerakkan oleh perseorangan, bukan korporasi yang tentu akan membayar dengan harga yang sepadan untuk membangun sebuah situs resmi yang kredibel untuk menyebarkan berita. Apalagi menggunakan media sosial semacam Facebook dan Twitter yang merupakan media yang bergerak pada ranah privat, asumsi dasar kita yang mereka lakukan adalah murni sebagai kritik. Namun demikian, hendaknya energi kita yang begitu besar ini jangan terlalu dihabiskan untuk mencurigai wilayah-wilayah privat perseorangan. Yang pantas untuk dicuriga adalah media korporasi, karena sangat mungkin memproduksi isu-isu provokatif, adu domba, dan hate speech, melalui media yang dikuasai untuk menebarkan kepentingan yang jangkauannya lebih luas. Coba identifikasi situs-situs resmi yang menggunakan domain berbayar, untuk melancarkan kepentingan hoax mereka pasti merekayasa data untuk disebarluaskan melalui medianya. Kendati demikian, jika problem tentang hoax dan cara mendeteksinya bertumpu pada kecurigaan kita melihat media-media tidak jelas, kembali lagi pada rumusan ide yang ada diawal, tentang hoax. Bahwa entah itu memuat data asli atau data palsu, hoax memiliki fungsi penyeimbang keadaan untuk membongkar habis absolutisme dan hegemoni dari mereka yang bermaskud menindas. Kesemuanya itu tetap merujuk pada pengertian awal kita tentang hoax sebagai fungsi kritis akal fikiran kita.

Percakapan kita semakin menarik tentang apa itu hoax. Seakan menjadi hantu dipikiran kita yang mempengaruhi segenap pula pikiran-pikran orang disekitar kita. Namun ada pemahaman yang tak tuntas atas tesis yang dikemukaan Deborah Frincke, bahwa ada benarnya jika isu-isu yang diproduksi oleh media sosial tidak mustahil menjadi fakta sosial baru dan hangat bagi media massa. Media massa mainstream-pun cenderung termakan isu-isu yang diproduksi oleh media sosial. Semula isu itu menjadi percakapan hangat beberapa hari oleh kalangan media sosial, namun setelah beberapa minggu isu tersebut tak pernah surut, maka media massa mainstream tak segan akan mem-blow up menjadi fakta sosial melalui pemberitaan media mereka. Kendati demikian, akan ada sebuah bantahan yang mengatakan, “loh media sosial itu, kepanjangan tangan dari perilaku keseharian dunia nyata publik. Oleh karenanya media massa tak salah mengakui menjadi fakta sosial untuk dirapatkan di meja redaksi.” Iya, jika demikian asumsinya, maka sekalian saja media massa tidak perlu mendasarkan pemberitaannya menggunakan fakta sosial di dunia nyata, dan lebih konsen pada isu-isu dan percakapan semu media sosial, jika fikiran media massa tetap menganggap yang menjadi trending topik dan urgent adalah percakapan publik di media sosial. Gejala ini menunjukkan fakta sosial baru tentang perilaku manusia di eraa modern yang tak mampu membedakan dunia nyata dan dunia fantasi sebagaimana Jean Baudrillard dalam Simulakra menandaskan. Gejala itu menjadi lebih parah, karena media massa dan awak jurnalisnya mulai berfikir ke arah yang kita takutkan.

Kekeliruan berfikir semacam ini pada akhirnya membuat problem awal kita tentang informasi bohong (hoax) menjadi makin keruh tiap harinya. Media massa perlu menggarisbawahi diri bahwa status quo-nya sebagai media mainstream sebenarnya dapat berpotensi menyelamatkan publik dari serangan arus informasi hoax yang tengah beredar. Dan media massa melalaui penerbitan jurnalistik mainstream seperti koran majalah atau buletin, hendaknya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjadi corong demokrasi semua elemen kebangsaan.

 

Menafsirkan Jenis-Jenis Hoax Masyarakat Kita

Menurut Survey Matel Tentang Wabah Hoax Nasional, bulan Februari 2017, terdapat 10 jenis hoax yang beredar di masyarakat. Berberapa diantaranya sub tema tentang lalu lintas sejumlah 4%, bencana alam sejumlah 10%, candaan sejumlah 18%, berita duka 19%, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), sejumlah 24%, penipuan keuangan sejumlah 25%, makanan dan minuman sejumlah 33%, kesehatan sejumlah 41%, Sara sejumlah 89%, dan soal politik sejumlah 92%. Kita coba membaca pada sub tema yang paling banyak dan sub tema yang paling sedikit. Pada sub tema yang paling banyak sejumlah 92% untuk sub tema hoax sosial dan politik. Pertanyaan kita, mengapa? Dibandingkan dengan sub tema paling sedikit yakni lalu lintas sejumlah 4 % saja. Kita tahu fungsi hoax melalui media belakangan ini, menyasar pada suatu bentuk kepentingan kekuasaan yang hanya disediakan oleh lapangan politik. Politik menyediakan itu bahkan sekaligus merawat pikiran tentang kepentingan akan kuasa. Namun politik pada saat yang sama, tidak akan berlangsung dengan sempurna, jika tanpa semacam alat penebar pengaruh, yang hanya dapat difasilitasi oleh media. Sederhananya, kekuasaan hanya disediakan oleh politik, dan  politik diselenggarakan secara sempurna dengan campur tangan media. Itulah yang disebut sinergisitas antara iblis dan setan, sebenarnya. Kendati kita juga tak bisa terlalu menyebut sinis dengan istilah semacam itu, karena  media juga menjadi alat untuk mendeteksi sehat tidak politik di sebuah negara yang mendasarkan kehidupan politiknya dalam desain demokrasi. Media menjadi jalan satu-satunya bagi demokrasi untuk menyuplai kritik, disamping konfrontasi dan subversif yang menjadi alat menyampaikan kritik dalam negara aristokrat yang otoriter. Oleh karenanya mengapa sub tema hoax yang paling besar adalah pada tema-tema sosial poltik.

Lalu bagaimana dengan sub tema yang paling sedikit. Tentu ini bisa kita gunakan mengukur sub tema yang terbanyak, karena jika kita lihat secara mendalam sub tema tentang lalu lintas merupakan sub tema percakapan publik yang paling tidak produktif menghasilkan keuntungan dan kekuasaan. Pertanyaannya, siapa yang mau memanfaatkan isu tentang lalu lintas, dan dengan cara apa upaya memanfaatkan isu tersebut dapat berbuah keuntungan dan kekuasaan. Kendati semua orang butuh informasi tentang lalu lintas, informasi itu hanya sebatas mereka butuhkan selama melakukan perjalanan ke suatu tempat, untuk terhindar dari kemacetan, atau untuk mencari rute paling dekat, kepentingan publik terhadap sub tema lalu lintas hanya sebatas itu. Oleh karenanya kepentingan terhadap sub tema lalu lintas tidak pernah dianggap menarik bagi kalangan pemodal, atau mereka yang berkuasa.

 

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler