x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax, Pancasilais, dan Silang-sengkarutnya (8)

Hoax, yang Dianggap Mengancam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hoax, yang Dianggap Mengancam

Seperti yang dituliskan oleh Herman Tolle, disini tertulis, yang dimaksud ancaman adalah Pertama, menimbukan keresahan perpecahan, bahkan koflik di masyarakat. Kedua, konten negatif untuk mendiskreditkan seorang atau pihak tetentu, terutama pemerintah. Ketiga, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Keempat, konflik horizontal memicu disintegrasi bangsa dan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saya menyebut semua itu adalah hoax, karena hanya bermuara pada tendensi ancaman yang mengarah pada pemerintah. Diawal sudah kita rumuskan bahwa istilah kata “kritik” dan “menyudutkan pemerintah” adalah istilah yang sengaja dibuat-buat untuk melindungi kepentingan pihak tertentu atas adanya kritik. Dalam penyelenggaraan negara demokrasi kritik hendaknya dilontar sekeras mungkin dan setajam mungkin. Saya ingin berselisih pada poin ketiga dan poin keempat, pertanyaan yang harus dijawab, yang nampak benar-benar berkonflik di negara ini siapa? Pemerintahkah atau warga negaranya. Dalam pembacaan masyarakat kelas menengah, saya lupa apa nama forumnya, sebuah seminar yang membedah buku seorang Indonesianis, pembicaranya seingat saya memiliki nama panggilan Gerry, seorang indonesianis asal Rusia kalau tidak salah, hidup lebih dari 10 tahun di Indonesia, kemampuan berbahasa Indonesianya begitu fasih, nyaris berlogat, suatu bentuk gaya bahasa yang nyaris mustahil dimiliki pendatang dari luar Indonesia. Gerry meneliti kehidupan masyarakat Indonesia tepatnya di kalimantan, entah di kota mana saya lupa. Menurut Gerry, sumber kekacauan yang nampak kontras sebenarnya terjadi pada mereka yang duduk paling atas memimpin pemerintahan, karena disana tatanan yang rumit dari masyarakat nampak sederhana dalam kacamata pembagian kekuasaan, mobilitas politik begitu teknis sifatnya. Justru keseimbangan terjadi karena kelas sosial menengah yang terdapat di masyarakat, mampu mamhami masalah yang terjadi dalam lingkungan mereka, beserta solusi dan penanganannya yang  tepat sasaran. Jadi kekacauan itu sebenarnya sangat mungkin terjadi pada birokrasi politik di tingkat pemerintah pusat, dan tidak terbukti terjadi di birokrasi paling bawah di daerah-daerah. Karena mereka menamai dan mengetahui harus dibaca dan diselesaikan dengan cara apapun sesuai dengan hukum norma dan tata nilai yang menjadi kearifan hidup mereka di daerah-daerah.

Kekurangajaran selanjutnya terletak pada munculnya kata hoax yang diklaim berbahaya bagi pemerintah, namun dipersonifikasi berbahaya pula pada warga negara. Seakan akan ingin menunjukkan ada sebuah musuh bersama yang berbahaya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebagai biang kekacauan, tidak ingin dipergoki publik sebagai biang keladinya, oleh karena itu kambing hitam harus ada dan sangat dibutuhkan dengan salah satu cara mempersonifikasi warga negara untuk sadar bahwa diluar sana masalah tentang hoax dan silang-sengkarutnya, sebagai musuh yang harus diperangi bersama.

Semakin curiga, bagaimana mungkin problem tentang hoax sebagai informasi bohong ini yang terjadi pada masyarakat, menurut pembacaan para akademis, menjadi permasalahan mendasar yang mengancam pemerintah. Asumsi dasar ini berangkat dari beberapa poin yang secara harfiah menyiratkan bahwa pusat kerugian dari hoax adalah pada pemerintah atau negara. Sejak kapan hoax itu menyasar secara langsung pada pemerintah. Yang ada, adalah hoax yang diedarkan oleh pemerintah memanfaatkan kegaduhan publik untuk mencapai kepentingannya. Yang dipercaya publik tentang negara, bukan soal negara dan pemerintahannya sedang diancam oleh kritik yang tak sopan, atau insiden bendera terbalik di Malaysia. Tapi yang dipercaya publik adalah apakah negara dan pemerintah telah menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pimpinan yang berupaya melalui konsensus untuk mencapai kemaslahatan, kebaikan dan keadilan bersama. Mengapa harus gusar, diumpat sebagai anjing oleh orang lain, toh tak akan membuat anda berubah menjadi anjing, bukan? Justru kita bertanya, ini ada apa?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Publik Menyikapi Hoax

Slide powerpoint selanjutnya, memperbincangkan tentang bagaimana perilaku masyarakat menyikapi hoax. Ada dua jenis data yang ditampilkan, Pertama prosentase tentang perilaku masyarakat saat menerima berita heboh. Kedua, prosentase masyarakat tentang alasan meneruskan berita heboh yang didapat dari media sosialnya.

Kita mempercakapkan yang pertama, “Tentang Masyarakat Ketika Menerima Berita Heboh”, verbatimnya demikian. Didalamnya terdapat perolehan, bahwa masyarakat yang akan memeriksa dulu kebenarannya sejumlah 83%, untuk masyarakat yang langsung menghapus atau mendiamkan informasi heboh yang baru diterimanya sejumlah 16%, dan masyarakat langsung meneruskan sejumah 1%. Ada sebuah catatan tentang data prosentasi masyarakat yang langsung meneruskan informasi baru didapat, disinyalir terdapat ketidaksesuaian dengan yang terjadi di lapangan yang menganggap masyarakat cenderung untuk langsung meneruskan informasi yang baru didapat, entah informasi itu bernilai kebenaran atau tidak. Bisa diasumsikan ada sebuah kecacatan metode penggalian data dari survei ini, sehingga mengakibatkan bias yang terjadi pada asumsi yang paling mendasar tentang adanya hoax yakni kecenderungan masyarakat ketika memperoleh informasi baru tanpa pikir panjang langsung di-share begitu saja kepada orang lain. Seseorang akan cenderung menutup diri atau faking good ketika ada sebuah pertanyaan yang hendak menguji kecenderungan perilaku negatif yang sering dilakukannya. Tidak menjadi masalah, masih dapat diatasi, dengan cara kita dapat mensiasatinya ketika menyusun sebuah pernyataan dengan membuat dua jenis pernyataan kalimat yang berbeda, namun tetap meminta respon yang sama. Kalimat unfavorable dan kalimat favorable.

Kemudian sedikit ada yang janggal pada susunan kalimat pada judul survei, yakni “Ketika Menerima Berita Heboh”, mungkin ini yang melatarbelakangi mengapa hasil survei menunjukkan ketidaksesuaian dengan hipotesis yang ingin diuji. Seharusnya bukan dengan susunan kalimat “Ketika Menerima Berita Heboh” melainkan “Ketika Menerima Sebuah Informasi”. Ukuran heboh tidaknya sebuah informasi, begitu sulit untuk kita pahami pada masing-masing orang.

Yang kedua, “Prosentase Tentang Alasan Meneruskan Berita Hoax”. Terdapat hasil, seorang akan langsung menyebarkan informasi yang baru didapat dengan alasan berita yang diperoleh berasal dari orang yang dapat dipercaya sejumlah 7%, kemudian mengira berita tersebut bermanfaat sejumlah 32%, mengira berita tersebut benar sejumlah 18%, dan adanya anggapan bahwa ingin menjadi orang pertama yang tahu sejumlah 3%. Berita akan diteruskan dengan asumsi karena diperoleh dari orang yang dapat dipercaya, sebenarnya tidak serta merta dapat dipahami secara sederhana sebagaimana sebuah ilustrasi, ketika seseorang memperoleh informasi menarik tentang keadaan politik Kota Surabaya, untuk langsung ia sebarkan begitu saja, lantaran diperolehnya dari pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Namun cukup rumit untuk membacanya. Terkadang yang disebut “dapat dipercaya” bukan merujuk pada sosok siapa yang memperolehnya, melainkan dari institusi, nama media, nama situs yang tengah menyebarkan informasi bersangkutan. Menjadi rumit terkadang, seseorang akan meneruskan untuk menyebarkan informasi yang baru diperolehnya lantaran, pada informasi yang diperolehnya terdapat komponen-komponen yang merujuk pada kevaliditasan sebuah informasi. Seseorang akan menganggap informasi yang baru masuk ke media sosialnya sebagai kebenaran lantaran di dalam struktur kepenulisan atau keredaksian dari informasi yang baru didapat terdapat komponen seperti judul informasi atau judul berita, kemudian didalam isi berita terdapat unsur instrinsik berita news value yang hanya bisa dibidik oleh mereka yang berprofesi sebagai jurnalis. Ditambah pula terdapat data statistik, data wawancara, literasi buku, dan hasil observasi yang mendukung informasi, dan yang terakhir terdapat rujukan pasti atas sumber media penyebar informasi seperti nama penulis atau organisasi yang memproduksi informasi tersebut.

Kesemua komponen-komponen itu sebenarnya menjadi landasarn berfikir secara tidak sadar dari seorang untuk mengedarkan sebuah informasi, bahkan tanpa kritisisme dan uji kevaliditasan data terlebih dahulu.

 

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler