x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dialog Tentang Pemimpin Baru

Petruk dan Gareng, masing-masing keukeuh dengan pandangan masing-masing tentang kebaikan dan kekurangan pemimpin yang mereka yang mereka pilih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Apakah yang kau rasakan dengan pemimpinmu yang baru?”

“Oh, sudah ada pemimpin baru toh, rasanya masih mimpi ternyata sudah ganti pimpinan.”

“Bukankah kau memilihnya kemarin”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Aku lupa, waktu nyoblos aku masih teler, jadi kucoblos saja gambar yang lebih terang.”

“ Yang polos ya…”

“Kira-kira begitu?!”

“Kau memilihnya dengan pikiran tenang atau sedang kacau.”

“Lah, apa peduliku yang penting khan aku sudah mencoblos.”

“Kau dapat fulus ya…?”

‘Bahhhh.itu perbuatan dosa tahu…!”

“Hah, kalau mabuk-mabukan setiap hari apa tidak dosa…”

“Itu sebagian dari iman…”

“Wuiiih, kampret, cuiiing!”

Pembicaraan Antara Gareng Petruk berlangsung seru.Gareng yang tukang mabuk lupa bahwa ia pernah mengikuti pilihan langsung Lurah Wukir Sari. Ia lupa sudah memilih siapa tapi menurut petunjuk tim sukses salah satu calon ia harus memilih yang berbaju polos bukan yang penuh garis. Apakah karena ada semacam fulus. Si Gareng diam seribu bahasa. Ia tidak ingin membangkitkan permusuhan. Baginya sesudah pemilihan siapapun pemimpinnya harus di dukung. Sedangkan Petruk agak condong ke yang Lurah dengan baju bergaris banyak. Bukan apa-apa ia sedang merindukan pemimpin yang agak sedeng, tegelan dan urakan. Semuanya ada pada calon yang ia pilih. Sayangnya ketika pemilu sang pemimpin yang ia idolakan kena kasus pelecehan karena menghina simbol kelurahan. Mungkin karena ia yang terlalu spontan bicara sehingga kata-katanya kadang membuat orang panas. Tapi jika dipikir ia itu benar, Cuma sayangnya tindak-tanduknya terlalu kasar dan nyelekit bila didengar.

Entah kenapa saat pemilihan Si Mahong kalah, padahal meskipun cuma sebentar kemajuan desanya bisa dirasakan. Tapi watak orang-orang desanya memang susah ditebak, bagi mereka biarpun berprestasi jika tingkahnya kayak begajulan dan sering menyinggung perasaan maka, rasa sipatinya menjadi meluntur. Akhirnya terpilihlah si baju polos yang kata orang lebih sopan, lebih sip pilihan kata-katanya dan lebih melelehkan keimanan kaum perempuan. Ia bisa mendekat, merangkul dan mendapat simpatik dengan janji-janji kampanyenya yang membuai. Bayangkan Orang-orang miskin akan diusahakan untuk memiliki sawah dan rumah dengan angsuran wow. Pokoknya wenak tenan. Jalan-jalan bebas digunakan untuk berdagang. Mereka yang menempati tanah desa juga tidak akan digusur dan dibiarkan sesukanya mendirikan rumah di tanah milik kadipaten. Lurahnya berjanji akan memberi pinjaman plus-plus bila ada yang kesulitan. Kepala kampung akan diberi imbalan uang meriah bila sampai ia menang.

“Ya. Nasi sudah menjadi bubur “begitu obrolan Petruk suatu ketika.

“Maksudmu apa Petruk?”

“Ya bagimana lagi kalau sudah menjadi bubur tentu tidak lagi bisa dikeringkan lagi menjadi nasi lagi. Lurah sudah terpilih ya sudah.itu pilihan masyarakat.”

“Kau masih menyesal jagoanmu kalah.”

“sedikit sih”

“Makanya move on (mup on ), ngaca, pemimpin begajulan dipilih, sekarang kalah dan diinepkan di rumah jagabaya lagi”

“Begajulan tapi kerjanya benar dan rapi… la jagoanmu bisanya omdo.”

 “Omdo…omdo apaan jagoanmu itu yang banyak tingkah.”

“Pemimpinmu yang cuma bisa bisa janji-janji, kerja nggak becus.”

“Jagoanmu, parah, ngomong asal njeplak.”

“Njeplak tapi benar khan… beda dengan pemimpinmu esuk dele, sore tempe. Pagi ngomong apa sore ngomong apa mana yang bisa dipegang!”

Obrolan semakin panas antara Petruk dan Gareng, masing-masing keukeuh dengan pandangan masing-masing tentang kebaikan dan kekurangan pemimpin yang mereka pilih.

Semar dan bagong tiba, menenangkan Gareng dan Petruk.

“Kalian itu lagi apa to Reng, Gareng. Truk- Petruk. Blegudug- blegudug. Pemilihan sudah selesai masih dimasalahkan. Mbok yang legowo, wong sudah berakhir dan dilantik tidak usah diganggu-ganggu lagi, biarlah ia memimpin dengan tenang, to!”

“Iya tapi lurah sekarang itu Cuma omdo, bisanya bicara, kerjanya tidak jelas.”

“Khan baru khan Truk, ya belum tahu hasilnya nanti to.”

“Sudah ketahuan sejak pidato pertamanya. Arahnya sudah tahu.”

“Wow Kau ngaco Petruk, belum apa-apa sudah dikritik, memangnya kau bisa seperti mereka.”

“La ndak ada yang milih saya.”

“Makanya ngaca, wajah njleketot dan otak pas-pasan, mau mengritik pemimpin yang sekolahnya sja jauh-jau di luar sono.”

“Bukan masalah sekolahnya yang jauh dengan gelar segunung.Ini maslah eksekusi pekerjaan. Tantangan memimpin di kelurahan ini berat. Di sini berkumpul, preman, begajulan, bekas koruptor, penipu, jambret, desersi prajurit. Pemimpinnya ya harus galak dan tegaan, kalau tidak ya cuma diperalat dan dimanfaatkan oleh mereka.

“Wuih, salah, kelurahan ini harus dipimpin oleh orang yang halus budi bahasanya, sopan dan pinter berpidato.”

“Stoppppp!!!!” Semar mulai marah oleh pertengkaran antara Petruk dan Gareng.

Kalian introspeksi masing-masing, tidak ada yang sempurna di dunia ini begitu pula pemimpinmu. Ada sisi positif dan negatifnya. Yang sudah dipilih ya didukung, diberi kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia mampu memimpin kelurahan ini.

Sejenak Petruk dan Gareng diam. Mereka manggut-manggut dengan ucapan Bapa Semar.

Setelah Bapa Semar berlalu mereka beranjak pergi. Tapi sebelum benar- benar jauh mereka masih sempat berucap:

Gareng: “ Begajulan ya tempatnya di penjara bukan di kursi kelurahan.”

Petruk:”Tempatnya orang yang pandainya omong doang ya jualan obat di pasar bukan di kelurahan”

Sumber gambar:wayang.wordpress.com

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler