x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Senjakala Bisnis Perantara di Era Digital

Opini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Booming ekonomi digital yang sedang melanda dunia sekarang ini merupakan alarm tanda bahaya bagi mereka yang selama ini bergerak dalam bisnis distribusi yang secara sederhana dapat disebut sebagai perantara. Dalam sistem rantai ekonomi konvensional, perantara hadir untuk menjembatani produsen dengan konsumen yang tak memiliki sarana komunikasi langsung. Produsen sepatu di Bandung, sebagai contoh, tak memiliki sarana komunikasi dengan jutaan orang yang membutuhkan sepatu di berbagai penjuru Indonesia. Demikian sebaliknya, jutaan orang yang membutuhkan sepatu tak memiliki sarana komunikasi dengan produsen sepatu. Kondisi ini digunakan oleh para perantara dengan mendirikan toko, super market bahkan mal sebagai sarana komunikasi (tak langsung) antara produsen dan konsumen.

Dari contoh sederhana di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa komunikasi merupakan bagian vital dalam rantai ekonomi. Bagian vital inilah yang dimonopoli oleh para perantara selama puluhan bahkan ratusan tahun  hingga melahirkan berbagai jaringan raksasa ekonomi yang dikenal sebagai pebisnis retail. Para raksasa ini  pada akhirnya menjadi pemegang kendali ekonomi dalam sebuah negara bahkan juga dunia. Jadi, kendati produsen merupakan hulu dari semua komoditi di dunia, mereka kerap harus tunduk pada skema bisnis yang ditetapkan para perantara (para pemilik jaringan distribusi) karena tanpa mereka barang produksi tidak akan sampai di tangan konsumen dan karenanya tidak akan memiliki nilai ekonomi sama sekali. Konsumen sebagai pemilik uang juga harus tunduk pada harga dan berbagai skema penjualan yang ditetapkan para perantara karena tanpa mereka konsumen tidak akan bisa mendapatkan barang-barang yang mereka butuhkan.

Dalam konteks monopoli saluran komunikasi ekonomi, para penyedia jasa konvensional dapat juga dirujuk sebagai perantara. Mari kita ambil contoh dari bidang transportasi. Blue Bird, Express dan berbagai merek taksi lain adalah sarana komunikasi yang memberi tahu orang banyak bahwa mereka menyediakan jasa pengangkutan. Tanpa merk seperti itu mustahil mendapat pelanggan dalam jumlah yang memadai. Maka seseorang yang punya mobil tidak bisa ujuk-ujuk berputar-putar di Jakarta sambil berharap orang-orang yang membutuhkan tumpangan datang padanya. Dia mesti menggunakan merk yang telah dikenali umum. Penguasaan atas merk memungkinkan perusahaan-perusahaan besar melakukan monopoli. Merk adalah sarana komunikasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saluran komunikasi itu sekarang tak bisa lagi dimonopoli. Perangkat-perangkat digital berbasis internet membuat produsen dapat terhubung secara langsung dengan konsumen. Setiap orang dapat menjadi pelaku bisnis hanya bermodalkan sebuah gadget.  Maka kita menyaksikan beberapa toko retail besar tutup, para pengusaha taksi konvensional mulai kalang kabut, biro perjalanan gulung tikar dan berbagai kisah muram para penguasaha besar yang puluhan tahun telah menguasai pasar. Sesungguhnya, kita sedang berada dalan jalur revolusi ekonomi terbesar dalam sejarah manusia.

Musim Semi Ekonomi Digital

Revolusi tersebut digerakkan oleh anak-anak muda yang kita sebut generasi milenial. Mereka juga disebut generasi digital native  yakni mereka yang lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi digital. Itu berbeda dengan generasi sebelumnya yang disebut digital immigrant yakni mereka yang menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi digital sebagai orang dewasa.

Salah satu keunggulan generasi milenial adalah gen kreatif yang menjalar dalam darah mereka berkat penguasaan teknologi digital. Menurut survey CSIS generasi ini paling konsumptif dalam skema ekonomi digital tapi sekaligus juga paling produktif. Contoh nyata yang dapat kita rujuk di Indonesia adalah karya-karya anak muda seperti Gojek, Tokopedia, BukaLapak, Modalku dan berbagai aplikasi yang memungkinkan aktivitas ekonomi dapat dilakukan secara digital. Konsumen mereka telah merambah ke berbagai lapisan umur dan turut mempengaruhi peta ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir.

Survey BPS tahun 2015 menunjukkan, lebih dari 33% penduduk Indonesia adalah penduduk muda yang berusia 15 – 34 tahun, bahkan untuk daerah perkotaaan seperti DKI Jakarta penduduk mudanya bisa mencapai lebih dari 40%. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai generasi millennial. Berdasarkan data ini kita dapat menarik kesimpulan generasi milial merupakan kelompok umur paling besar di Indonesia. Dengan demikian,  kita juga dapat mengasumsikan bahwa dalam beberapa tahun ke depan geliat ekonomi Indonesia akan digerakkan secara digital karena generasi terbesarnya adalah generasi yang menggandrungi teknologi digital.

Inovasi atau Tertinggal

Tren ekonomi digital yang tak bisa dihindarkan memaksa setiap pelaku ekonomi untuk terus berinovasi, menyesuaikan diri dengan perkembangan. Kisah kebangkrutan beberapa pebisnis retail besar dan juga para pengusaha transportasi konvensional adalah konsekuensi dari keterlambatan berinovasi untuk mengimbangi arus perubahan yang datang tak terbendung.  Teknologi digital menghadirkan dirupsi dan tak akan memberi toleransi pada siapapun yang terpaku pada sistem konvensional dan terbuai kemapanan. 

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler