x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dosa Pejalan Kaki dan Misteri Nabi Khidir

Pejalan kaki adalah anugerah terindah di dunia modern. Kita harus khawatir karena pejalan kaki di Indonesia juga ancaman bagi lalu lintas yang semrawut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2015, saya melakukan nazar dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 20 kilometer. Mungkin itu jarak terjauh yang saya tempuh dengan berjalan kaki. Meski berbadan tambun, saya akui bahwa saya cukup tangguh sebagai pejalan kaki. Sepanjang ingatan, saya merasa was-was saat melakukan perjalanan “jauh” itu. Trotoar nyaris sulit diakses karena direnggut oleh proyek galian atau pedagang kaki lima.

Semenjak berat badan melewati angka 100 kilogram, saya terpaksa mengurangi hentakan kaki yang berpotensi cedera dengan mengganti jogging dengan jalan cepat –meski tak secepat mereka yang berbadan ideal. Saya pun memanfaatkan teknologi pengukur jarak tempuh di telepon pintar untuk mengukur sejauh mana kalori dibakar dan langkah diayun. Karena itu, saya bisa berolahraga di mana saja. Tak melulu di luar ruangan. Kadang, saya berenang –olahraga terbaik yang saya suka tapi dibatasi oleh fasilitas.

Pengalaman berjalan kaki itu pula, yang membuat saya selalu terkagum-kagum pada kisah heroik para pejalan kaki. Terakhir, saya membaca kisah seorang pemuda asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang berjalan kaki menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Khamim, nama pemuda itu. Nama lengkapnya Mochammad Khamim Setiawan. Usianya 27 tahun saat berangkat dari Pekalongan pada 28 Agustus 2016. Ia tiba di Tanah Suci sehari sebelum Idul Adha tiba setahun setelah perjalanannya dimulai dari pesisir utara Jawa Tengah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berhaji saja sudah merupakan pengalaman religius, apalagi ditempuh dengan cara heroik seperti berjalan kaki. Khamim berkisah ia mampu menempuh jarak hingga 50 kilometer setiap harinya. Dua potong kaus dan celana, dua pasang sepatu, kaus kaki, pakaian dalam, kantung tidur, tenda, lampu, telepon pintar, dan GPS adalah perlengkapan yang dibawanya. Tak lupa, bendera mini Indonesia beserta tulisan ‘I’m on my way to Mecca by foot” di kausnya –sebuah pesan kepada mereka yang berpapasan dengannya.

Hebatnya, ia tetap berpuasa setiap hari kecuali di hari-hari besar Islam. Karena itu, ia memilih berjalan di malam hari. Tak ada suplemen istimewa yang menopang fisiknya selama berjalan. Ia memang membawa madu untuk menjaga tubuhnya. Dua kali ia sakit selama menempuh perjalanan jauh itu, di Malaysia dan India.

Khamim tidak menceritakan pengalaman religius yang diyakini oleh sebagian umat muslim. Konon jika engkau menempuh perjalanan yang cukup jauh, niscaya engkau akan bertemu dengan lelaki bernama Khidir. Dalam kepercayaan Islam, selain Isa Almasih atau Yesus Kristus, adalah Khidir utusan Allah yang belum wafat. Tapi tak mudah menemuinya. Syaratnya cukup berat. Khamim telah melakukannya, meski ia tak berbagi cerita soal Khidir.

Selain Khamim, adalah Paul Salopek, jurnalis pemenang dua penghargaan Pulitzer, yang melakukan perjalanan jauh. Ia berniat berkeliling dunia dengan menempuh perjalanan kaki sejauh 21 ribu mil. Ia menyebut misinya ini dengan Out of Eden Walk. Berbeda dengan Khamim yang menjalani ibadah, perjalanan Salopek lebih mirip ekspedisi. Ia ingin menelusuri kembali jejak manusia modern pertama secara anatomis yang bermigrasi keluar dari Afrika saat Zaman Batu.

Perjalanan tersebut dimulai pada 2013 dari Tanduk Afrika. Ia menulis dan merekam gambar orang-orang yang ditemuinya. Seperti perjalanan religius Khamim, Salopek merasakan perubahan pemikirannya terhadap bumi. Ia melewati Ethiopia dan menyimpulkan bahwa negara miskin di Afrika itu adalah tempat paling asyik untuk berjalan kaki. Sedikit mobil mengharuskan orang-orang di negeri itu untuk berjalan ke mana-mana.

Jalan kaki terasa mulia dan heroik belakangan, terutama di era serba praktis dan cepat saat ini. Hari ini manusia bisa berpindah dari satu titik ke titik lain dengan banyak moda transportasi. Bahkan, fisik mereka tak perlu hadir di satu titik, karena bisa tersambung oleh teknologi melalui video. Semuanya cepat dan ringkas. Meminjam terminologi pakar semiotika Yasraf Amir Piliang, inilah yang disebut Dunia yang Dilipat.

Gaya hidup pun berubah. Berjalan kaki ke pusat perbelanjaan digantikan dengan kehadiran toko daring (online). Pembeli dan penjual hanya bernegosiasi di ruang percakapan maya. Barang yang diperdagangkan pun hadir di layar telepon pintar dan laptop. Calon pembeli bisa menjadikan gawai (gadget) mereka sebagai etalase. Alhasil, berjalan kaki menjadi aktivitas yang paling sulit dilakukan.

Stanford University melakukan penelitian tentang pejalan kaki. Para periset menggunakan telepon pintar sebagai basis penelitian mereka. Adalah Hongkong dengan warga pejalan kaki paling aktif dengan rata-rata 6800-an langkah per hari. Disusul oleh China dan Jepang yang memiliki rata-rata pejalan kaki sejauh 6000 langkah. Indonesia? Hanya 3000 langkah per hari. Saya pasti termasuk di dalamnya. Sudah pasti Nabi Khidir tak ada di Indonesia karena tak satu pun dari kita gemar berjalan jauh, kecuali Khamim.

Pejalan kaki adalah anugerah terindah dalam dunia modern. Kita pun harus khawatir karena pejalan kaki di Indonesia tidak saja memprihatinkan dari segi jarak. Lebih dari itu, mereka adalah ancaman yang membuat lalu lintas semrawut. Sehingga ide untuk memangkas hak mereka di trotoar adalah momentum kepandiran yang pantas dirayakan di negeri ini.***

sumber foto: deviatart|emjeea

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB