x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apartheid di Mata Penulis Kulit Putih

Seperti halnya Maya Angelou yang berbicara ihwal nasib kaum perempuan Afro-Amerika, Nadide Gordimer aktif dalam barisan penentang Apartheid.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam pidatonya, Nadine Gordimer: The Activist, di hadapan sivitas akademika di sebuah universitas di Johannesburg, Mei 2017, George Bizos mengatakan: “Hubungan antara tulisan Nadine Gordimer dan tanggung jawab sosialnya adalah salah satu persoalan sentral dari kehidupannya.”

“Ada beberapa bentuk keterlibatannya dalam perjuangan menentang apartheid,” kata Bizos, November ini tepat 90 tahun, “sebagian di antaranya berjalinan dengan kisah saya sendiri. Ia sering menghadiri pengadilan politik. Ia duduk bersama publik di bagian belakang ruang pengadilan, menyaksikan proses berlangsung. Selama waktu jeda, ia akan mendiskusikan kasus-kasus dengan saya. Ia membuat catatan, memikirkannya, dan mengingat hal-hal yang kemudian bermanfaat bagi karya tulisnya.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat perlawanan berlangsung, terutama pada tahun 1963-4, sebagai pengacara Bizos mendampingi para aktivis anti-apartheid. Dalam Pengadilan Rivonia, Bizos berada di sisi Nelson Mandela, Govan Mbeki, Walter Silulu, Ahmed Kathrada, dan beberapa nama lain. Mereka dituntut hukuman mati, namun mereka akhirnya dijatuhi vonis penjara seumur hidup. Selama masa itu, kata Bizos, “Gordimer kerap membantu saya, memainkan peran editor di balik layar untuk bagian-bagian krusial dari tulisan dan pidato selama perjuangan menentang apartheid.”

Meski berkulit putih, Gordimer merasa dirinya orang Afrika—lahir di tanah Afrika, dan kelak dimakamkan di Afrika. Lahir dari orang tua Yahudi imigran, Gordimer tidak merasa menumpang lahir di Bumi Afrika. Sepanjang hidup (dan seandainya masih hidup, 20 November ini Gordimer berusia 94 tahun) ia merasa sebagai orang Afrika yang (tanpa bisa memilih) terlahir berkulit putih. Ia tak ingin pindah ke negeri lain yang lebih nyaman untuk menghindari kesukaran.

Walau tak berkehendak jadi penulis, Nadine memperoleh penghargaan Nobel (1991) untuk karya-karyanya: “Saya adalah apa yang disebut sebagai penulis alamiah. Saya tidak membuat keputusan apapun untuk menjadi penulis. Pada mulanya, saya tidak berharap untuk mencari penghidupan dari tulisan. Saya menulis sebagai seorang anak yang menikmati kehidupan melalui seluruh indera saya—yang terlihat, tercium, dan terasa; dan mengalirlah emosi-emosi yang membingungkan saya atau membangkitkan amarah dan kemudian mengambil bentuknya, mendapatkan semacam pencerahan, penghiburan dan kesenangan, dalam tulisan.”

Tiga tahun lalu, penulis alamiah itu berpulang di usia hampir 91 tahun—meninggalkan setumpuk novel dan naskah tentang kritik sosial dan esai sastra. Come Again Tomorrow adalah tulisan pertamanya (ketika itu Nadine berusia 15 tahun) dan dimuat di majalah Forum yang terbit di Johannesburg. Sebelas tahun kemudian, terbit kumpulan cerita pendeknya yang pertama, Face to Face. Pada mulanya, Nadine muda tidak memilih isu Apartheid sebagai subyek tulisannya, tapi akhirnya ia tidak bisa menghindar dari yang tak terhindarkan.

Gordimer hidup di tengah bangsa yang ditindas oleh ideologi Apartheid dan tidak bisa menutup mata atas penindasan itu. Di tangannya, ketika menginjak dewasa, ketidakadilan dan kekejaman dari kebijakan pemisahan ras menjadi tema yang sukar ia tinggalkan. “Tapi saya bukan orang politik secara alamiah,” ujarnya bertahun-tahun kemudian. Dengan penanya, ia menyuarakan jeritan saudaranya yang berkulit hitam. “Seorang penulis harus terus menggunakan hak berbicara perihal kesukaran,” ujarnya. Dan Nadine menuliskannya dengan, seperti kata William Peden, “mata yang jeli, telinga yang peka, dan penciuman yang tajam.”

Begitupun, seperti ia katakan dalam wawancara dengan Michiko Kakutani untuk The New York Times (1986), Nadine Gordimer ragu apakah penulis seperti dirinya memiliki pengaruh terhadap pemerintah. “Saya pikir para penulis Afrika Selatan telah membantu memunculkan dan membangkitkan kesadaran dunia luar terhadap efek jangka panjang kehidupan di negeri kami,” kata Nadine. “Sederhananya, koran mencatat apa yang terjadi, tapi penulis naskah sandiwara, novelis, penyair, penulis cerita pendek yang membukakan gagasan tentang mengapa itu terjadi.”

Menjadi penulis bukanlah pilihan yang mudah ketika sebuah pemerintahan yang menindas merasa terganggu, atau bahkan terancam oleh teks. “Beberapa dari kita pernah melihat buku tergeletak bertahun-tahun tak terbaca di negeri sendiri, dilarang, dan kita harus terus menulis,” tulis Nadine dalam Writing and Being. Banyak penulis dipenjara. Nadine tak mengalami penyiksaan dan pengapnya penjara seperti dialami Wole Soyinka, Jeremy Cronin, maupun Chinua Achebe—penulis yang bertahan menggunakan ‘hak berbicara perihal kesukaran’.

Sensor sempat menghinggapi Nadine. Novel kedua Nadine, A World of Strangres, yang terbit pada tahun 1958 dilarang beredar selama 12 tahun. Novelnya yang lain, The Late Bourgeois World (terbit 1966) dilarang selama 10 tahun. Burger’s Daughter (terbit 1979) menjadi novel ketiga yang dilarang pemerintah Apartheid. Sebagai penulis dan sebagai manusia, dengan berani disertai energi kreatif, Nadine Gordimer merespons sistem Apartheid yang memerlakukan rakyat Afrika Selatan secara tidak adil dan melukai. (Foto: Nelson Mandela dan Nadine Gordimer. Sumber foto: www.europeanknightsproject.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler