x

Anggota GP Ansor dan Banser se Jawa Barat saat apel akbar di Bandung, 10 Mei 2017. Apel akbar diikuti ribuan anggota Ansor Banser Nahdlatul Ulama yang meramaikan harlah ke 83 GP Ansor. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

NU di Antara Garis Lurus, Garis Lucu, dan Garis Keras

NU sepertinya memang sedang galau, berada diantara kelompok “garis lurus”, “garis lucu” dan “garis keras”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Fenomena soal ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang mengklaim memiliki jumlah anggota puluhan juta orang dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia, ternyata tidaklah homogen. Bisa jadi ketika ada seseorang mengaku sebagai “orang NU” mesti ditanyakan terlebih dahulu, NU yang mana? NU garis lurus, garis lucu atau garis keras? Fenomena ke-NU-an di era milenial jika dipandang dari sisi kulturnya memang beragam, entah apakah masing-masing pendukungnya khidmat kepada pemimpinnya sendiri-sendiri, ataukah mereka sekadar ikut-ikutan karena memang sudah ditakdirkan memiliki garis kultur NU yang dibawa secara turun-temurun oleh orang tua mereka. Melihat berbagai fenomena “ke-NU-an” belakangan seakan menunjukkan bahwa ormas ini terus diseret-seret oleh beragam kepentingan, sehingga hampir dipastikan bahwa ormas ini justru telah kehilangan pijakannya karena memang tak ada sosok kharismatik yang mampu menjadi pemersatu.

Sebagai wujud ormas Islam tradisional, NU memang membutuhkan sosok pemersatu yang dapat diterima oleh semua pihak, karena kekuatan sebuah kelompok tradisional adalah keyakinannya yang kuat terhadap tokoh kharismatis, entah itu kiai, ulama atau habib. Menarik melihat perkembangan ormas tertua di Indonesia ini, karena memang NU sebenarnya bukanlah organisasi struktural, tetapi lebih pada nuansa solidaritas kekulturan yang terbangun sekian lama, tanpa harus mengikatkan diri atau taat pada “struktural” garis kebijakan organisasinya. Maka sangat wajar, ketika para tokoh masyarakat, semisal kiai, habib atau ustadz bisa saja merupakan tokoh sentral dalam tubuh NU, yang diikuti oleh masyarakatnya, tanpa harus menjadi bagian dari struktur NU. Itulah kenapa, kemunculan klaim atas NU yang mengidentifikasikan kelompoknya—garis lurus, garis lucu, atau garis keras—menjadi sulit terbantahkan secara kultural.

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa ormas ini pada tataran sosio-kultural, memang tak pernah sepi dari konflik. Anehnya, masing-masing kelompok yang berkonflik tak mau melepaskan diri dari identitas ke-NU-annya, karena NU bagi mereka merupakan sebuah “kultur” yang asli lahir dari rahim Nusantara, bukanlah sebuah “ideologi impor” yang diserap dari kultur lain. Untuk menggambarkan fenomena “NU Garis Lurus” saja, tampak sekali kelompok ini merasa harus menjadi pahlawan untuk “meluruskan” NU yang sejauh ini mereka anggap “bengkok”. Bagi kelompok ini, NU kultural jelas tak pernah mengimpor berbagai ideologi asing yang disebut mereka sebagai “SEPILIS” (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) yang belakangan malah menggejala di kalangan anak muda NU. Mungkin kelompok ini bagi saya, kesulitan menyandingkan idealitas Islam dan modernitas, sehingga dari pada bercampur aduk, lebih baik NU “diluruskan” saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada lagi fenomena “NU Garis Lucu” yang mungkin merasa “gerah” dengan berbagai unggahan di ranah media sosial (medsos) yang selalu memojokkan NU. Kelompok ini kerap menguasai lini medsos dan mengunggah meme-meme lucu yang melakukan counter atau kritik terhadap mereka yang mengaku NU tetapi justru “menyerang” identitas ke-NU-annya sendiri. Sebuah tagline yang muncul di akun twitter-nya menyebut, “sampaikanlah kebenaran walaupun itu lucu” seakan kelompok ini enggan mendebat secara berapi-api karena hanya akan menghabiskan energi. Membalas dengan fenomena santai dan kelucuan, barangkali menjadi “simbol” para kiai NU yang kemudian “disorogkan” kepada publik. Bisa jadi kelompok ini memang selaras dengan slogan Pegadaian, “menyelesaikan masalah tanpa masalah” yang setiap unggahannya dikemas dalam nuansa simpatik, tanpa harus menunjukkan sikap penolakan atau kebencian.

Barangkali yang lebih berwajah “galak” ada juga dalam tubuh NU. Kelompok ini secara kultur, memang menganut tradisi peribadatan selaras dengan NU, walaupun dalam hal pergerakan kurang mengangkat soal tema moderasi Islam. Fenomena kelompok NU “Garis Keras” saya rasa takdirnya jatuh kepada sosok Front Pembela Islam (FPI) yang memang sejauh ini para pemimpin dan pengikutnya terbiasa mengamalkan ajaran-ajaran tradisi ke-NU-an. Sulit dipungkiri, bahwa FPI juga sejatinya disokong oleh mereka yang mengklaim sebagai “NU kultural”, bahkan tempat pendeklarasian pertamanya, Pesantren Al-Umm, dipimpin oleh seorang ulama NU, KH Misbahul Anam, salah satu pengikut Tarikat Tijaniyah di kalangan Betawi.

Menggambarkan NU sebagai sebuah ormas yang mewarisi tradisi keislaman Nusantara dengan ciri khasnya yang moderat—sebagaimana praktik keagamaan para wali—nampaknya sulit disematkan belakangan ini. Begitu banyaknya kelompok yang melakukan klaim atas ke-NU-annya sendiri disertai dengan beragam kepentingannya masing-masing, memperlihatkan NU semakin kehilangan arah. Banyak pihak yang menginginkan NU benar-benar menunjukkan wajah moderatismenya seperti pada masa-masa awal, disaat beberapa kiai kharismatis benar-benar mempertontonkan ketulusan, kejujuran dan khidmatnya yang sangat besar terhadap umat. Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan memang menjadi tokoh sentral yang senantiasa memberikan kesejukan yang benar-benar menjadi panutan umat. Tentu saja, ditengah nuansa “konflik sektarianisme” belakangan, sosok-sosok ini sungguh sangat dirindukan.

NU belakangan ini malah seringkali dibenturkan dengan kalangan muslim lainnya yang ditengarai cenderung berideologi “radikalis”. Sebut saja, beberapa kegiatan pengajian yang akan diisi oleh para ulama yang dianggap “radikal” oleh NU, justru dilarang bahkan dibubarkan. Pengajian yang akan digelar dengan nama-nama tokoh tertentu seakan di-black list oleh kalangan NU, tak perlu lagi ada kata “toleransi” bagi mereka. Yang justru menyedihkan, banyak pihak lain yang kemudian memanfaatkan kasus penolakan ini membuat informasi “hoax” yang disebarkan kepada masyarakat, sehingga membuat konflik “sektarianisme” ini justru semakin meruncing. Sebut saja, misalnya ada informasi yang begitu menohok soal Banser NU yang bertebaran di medsos menyoal sikap mereka yang tak mentolelir pengajian yang diisi oleh tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan “radikal”.

NU sepertinya memang sedang galau, berada diantara kelompok “garis lurus”, “garis lucu” dan “garis keras” dan serasa kehilangan pijakannya sebagai ormas Islam yang sejak dulu dicitrakan sebagai kelompok moderat. Ketiadaan tokoh kharismatis—atau memang karena modernitas, kharisma sekadar simbol—yang kuat di tubuh NU membuat ormas ini berada di alam kebimbangan. Ada baiknya saya mengulang kembali, bagaimana cara Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengajak dalam sebuah bingkai persatuan, menjauhi nuansa sektarianisme yang melahirkan perpecahan diantara umat. Pada Muktamar NU ke-3 pada 1930, Kiai Hasyim menulis sebuah buku, “Qanun Asasi Nahdlatul Ulama”, dalam pendahuluannya beliau menulis agar umat Islam bersatu (ittihad), saling mengenal (ta’arruf), dan tenggang rasa (ta’alluf). Ketiga konsep yang diutarakan Kiai Hasyim nampaknya semakin semakin sulit terwujud, terutama jika mereka yang mengaku NU, tetapi malah menanggalkan nilai-nilai dan tradisi ke-NU-an itu sendiri.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler