x

Iklan

Arif Haryono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pribumi di Bumi Kera

Sekelumit kisah suku Bajoe di Pulau Kera, Kupang NTT

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dahulu, diktum pribumi merujuk pada hegemoni satu suku bangsa atas yang lain. Setiap suku bangsa dunia mungkin mengalami perbedaan latar belakang labelisasi ini, namun kata kuncinya tetap sama: diskriminasi atas nasab keturunan.

Masyarakat Indonesia era kolonialisme mengenal warga negara berdasarkan tiga tingkatan sosial: eropa, asia jauh, dan pribumi. Saat itu, menjadi non-pribumi adalah jaminan kekuasaan dan kekayaan. Kemudahan dan keistimewaan pun diberikan. Ambil contoh, sekolah saat itu adalah barang mewah bagi pribumi, tutur perawi sejarah. Hanya mereka yang bergaris nasab eropa atau priyayi saja yang mampu menempuh pendidikan hingga tingkat tinggi. Pribumi sila gigit jari.

Proklamasi sedianya meruntuhkan sekat primordialisme itu. Hak warga negara diberikan setara tanpa embel-embel keunggulan suku, ras, keturunan, atau agama. Pendidikan, kesehatan, kependudukan, akta lahir berdasarkan konstitusi adalah hak setiap warga negara yang harus disediakan secara mudah dan murah oleh pemerintah. Maka jika terdapat warga negara yang kesulitan mengakses hak dasar tersebut adalah tanggung jawab pemerintah untuk proaktif menyediakan layanannya. 

o0o

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hamdan, seorang ayah dari 3 anak dan kakek dari 2 cucu adalah orang laut – laiknya lelaki suku Bajoe mengindetifikasi dirinya sendiri. Ia datang ke Pulau Kera, Nusa Tenggara Timur di medio 1992 untuk merantau mencari penghidupan yang lebih baik. Saat itu belum banyak yang menghuni pulau seukuran 28 hektare – atau 48 hektare menurut pengakuan pemerintah daerah setempat – tetapi sudah banyak yang tinggal menetap di sana.

Penuturan ini sejalan dengan pengakuan Rasyed, sesepuh masyarakat Pulau Kera yang menyatakan bahwa pulau tersebut telah dihuni oleh suku Bajoe sejak tahun 1911. Kisah keberadaan makam generasi awal suku Bajoe di Pulau Kera menjadi salah satu bumbu cerita sebagai penguat eksistensi mereka di pulau yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kupang, NTT tersebut. Sayang, makam itu telah dibongkar dan dipindahkan oleh pemda sebagai salah satu upaya relokasi masyarakat.

Upaya menggali narasi sejarah masyarakat Pulau Kera sangat penting. Pulau berpenghuni tak kurang dari 400 jiwa tersebut terancam terganggu ekosistem kehidupannya. Sebuah kelompok pengembang besar di Kupang, NTT mengaku telah membeli pulau tersebut dan berencana membangun resort internasional. Kini, masyarakat pulau Kera terancam terusir dari rumahnya.

Alot dalam Negosiasi

Saya dan Evi Risna Yanti dari Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa tiba di Pulau Kera sekira pukul 11 siang. Kami menumpang kapal kecil milik nelayan setempat. 45 menit perjalanan dari pasar ikan Kota Kupang harus ditempuh menuju Pulau Kera.

Kami diterima Hamdan, selaku ketua RW masyarakat Pulau Kera. Kulitnya terbakar. Rambut keriting yang dibiarkan berantakan terlihat mengeras; menisbahkan dirinya sebagai seorang yang akrab dengan laut. Sembari berteduh di masjid al-Abror – satu-satunya rumah ibadah bagi 400-an jiwa, lelaki paruh baya ini mulai berkisah tentang perjuangan masyarakat pulau Kera dalam menuntut hak-haknya.

Hampir 3 generasi masyarakat Pulau Kera tinggal dan menetap di sana. Pulau yang terlihat gersang, namun menyimpan sejuta pesona wisata laut itu kini dalam status silang-sengkarut. Pemda bersama kelompok pengembang berencana membangun resort berskala internasional, dan 114 kepala keluarga direncanakan untuk direlokasi. Menurut penuturan Hamdan, warga bukan tidak mau dipindahkan, hanya saja persoalan lokasi yang ditawarkan oleh Pemda tidak sesuai dengan mata pencaharian warga yang seluruhnya adalah nelayan.

Sebuah lokasi yang ditawarkan pemda misalnya, terletak di kecamatan Sulamu Selatan. Rumah kontrakan yang disediakan oleh pemda dengan fasilitas bebas biaya sewa selama 2 tahun pun dipersiapkan. Sayang, lokasi pemukiman ini terletak di pantai dengan tingkat ombak yang besar. Sementara masyarakat Pulau Kera merupakan nelayan tradisional dengan kapal kapasitas kecil. “Kapal kami bisa hanyut jika memaksakan tinggal di lokasi (yang ditawarkan pemda) tersebut”, tutur Hamdan.

Lokasi lain pun coba ditawarkan sebagai alternatif. Lagi-lagi para nelayan harus gigit jari, karena lokasi ini berjarak 6 km dari bibir pantai dan di wilayah penuh rawa. Akan sangat sulit bagi nelayan untuk hidup jauh dari laut. Tawaran pun kembali kandas.

Menjadi Warga kala Pemilu

Alotnya proses relokasi ini menambah polemik persoalan masyarakat Pulau Kera, terutama dalam hal kependudukan.

Dalam forum temu warga yang kami lakukan dengan perwakilan masyarakat Pulau Kera, dari sekitar 400 jiwa lebih, hanya 21 orang yang memiliki KTP. Sisanya jangankan KTP-el, kartu keluarga pun tidak dikeluarkan oleh pemda setempat dikarenakan pemda menganggap masyarakat Pulau Kera hanya penduduk sementara. Penduduk liar, yang bisa sewaktu-waktu dipindahkan.

Perspektif sebagai “masyarakat singgah” ditambah dengan rencana pengembangan Pulau Kera sebagai tujuan wisata laut berskala Internasional membuat upaya pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah harus karam di tengah jalan. Padahal, di pulau tersebut asumsi saya terdapat tak kurang dari 60-an anak di usia sekolah. Saat ini, fasilitas yang bisa dikatakan sebagai media belajar adalah sebuah ruangan sederhana berukuran 2x3 meter; dengan lantai semen kasar, dinding kayu sebagian, sebagian lagi kawat dan atap seng yang dibangun secara swadaya. Mirip – maaf – kandang burung.

Upaya membangun ruang belajar yang lebih layak sempat tercetus beberapa bulan sebelum kedatangan kami. Material bangunan seperti kayu dibeli secara urunan oleh masyarakat. Apa lacur, sebelum masyarakat dapat mulai bergotong-royong membangun, secarik surat somasi dilayangkan oleh perusahaan pengembang kepada perwakilan warga pulau Kera. Isi surat tersebut sederhana, batalkan pembangunan kelas belajar atau hadapi ancaman pidana. “Padahal anak-anak kami membutuhkan tempat belajar yang nyaman”, keluh Hamdan sembari menunjukkan tumpukan kayu calon bahan bangunan untuk sekolah Pulau Kera.

Kebutuhan atas ruang belajar dan media baca untuk anak-anak pulau Kera sangat penting. Kami menemui beberapa anak dengan rentang usia 9 hingga 11 tahun yang sama sekali tidak bisa membaca. Kembali, bagaimana mereka bisa bersekolah ketika dokumen untuk mendaftar sekolah tidak dimiliki? Belum lagi kita urai persoalan kondisi alam, di mana fasilitas pendidikan formal terdekat terletak di pulau tetangga yang jarak tempuhnya adalah 30-45 menit perjalanan laut. Bahkan ada waktu-waktu tertentu di mana Pulau Kera menjadi pulau terisolir karena ombak yang terlampau besar untuk kapal-kapal masyarakat setempat bisa lewati.

Fakta lucu kami temukan. Di balik nihilisme pencatatan kependudukan bagi masyarakat Pulau Kera, di tahun 2014 ketika musim pemilu, terdapat sebuah TPS yang didirikan oleh KPU setempat. “Kami semua memilih. Karena kami dijanjikan perbaikan kehidupan disini….”, lirih salah seorang warga Pulau Kera. Dianggap “masyarakat singgah”, namun ketika musim politik menjamur diaku sebagai penduduk sendiri.

o0o

Selalu ada jarak antara kebijakan tertulis di lembaran negara dengan realita lapangan.

UU no. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan KTP elektronik (KTP-el) beserta kelengkapan lainnya seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran diberikan secara gratis kepada setiap warga negara. Kewajiban masyarakat adalah melaporkan setiap ada kelahiran anak, ketika sudah berusia 17 tahun, ketika menikah. Kewajiban negara adalah menyediakan layanan tersebut secara gratis dan mudah.

Cukup sulit memahami 400 jiwa, tinggal menetap hingga beranak-pinak lebih dari 30 tahun di pulau tersebut, namun luput dicatat sebagai “penduduk”. Kalaupun khilaf dijadikan alasan, lalu mengapa ketika musim politik bisa dicatat sebagai penduduk yang memiliki hak pilih? Jika hak politik bisa disediakan, lalu mengapa hak dasar kependudukan tidak bisa? Jika kotak suara pemilu bisa dihantarkan, lalu halangan apa yang membuat mesin pencatat kependudukan tak bisa diangkut ke Pulau Kera?

Jeri diri ini menduga-duga jikalau kasus Pulau Kera adalah puncak gunung es realita sosial masyarakat Indonesia. Bahwa kepentingan ekonomi atau politik setempat bisa menyingkirkan hak-hak dasar warga negara; atau hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak; atau hak kesehatan yang berkualitas.

Jangan-jangan, frasa pribumi vs bangsa eropa di era kolonialisme itu sebenarnya tidak pernah hilang. Subyek pribuminya tetap, bangsa eropanya saja yang berganti rupa menjadi mereka yang dipilih setiap 5 tahun sekali. [arh]

Ikuti tulisan menarik Arif Haryono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler