x

Warga mempraktekkan cara membatik dengan motif ayat Alquran di atas lembar kain di Pagongan Utara, Masjid Agung Solo, Jawa Tengah, 9 Juni 2017. Batik tulis bermotif ayat Alquran tersebut diprakarsai perajin di Kampung Batik Kauman dan santri Masjid A

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kontekstualisasi Penafsiran Alquran

Seorang penafsir tentu saja membutuhkan metode dan aplikasi tafsir kontekstual.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alquran, sebagai kitab suci umat Islam, adalah teks suci yang unik dan penuh keistimewaan. Ia terbuka untuk ditafsirkan. Keterbukaannya membuat Alquran menjadi teks suci dinamis dengan penafsiran-penafsiran yang terus berkembang tanpa henti. Penafsiran-penafsiran tersebut tentu saja merupakan hasil kreativitas mufasir dari pelbagai disiplin ilmu. Salah satu dari aneka ragam penafsiran Alquran itu adalah penafsiran kontekstual. Ia merupakan sebuah usaha untuk tidak mengultuskan karya-karya penafsiran yang telah ada. Dengan penafsiran ini, karya-karya tafsir yang telah ada sebelumnya hanya sebagai referensi.

Cikal bakal tafsir kontekstual adalah ayat-ayat Alquran yang memiliki asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya), terutama yang berkaitan dengan fenomena sosial pada saat itu. Memang, pemahaman ayat yang paling sempurna adalah dengan memperhatikan latar sosial yang melingkupi turunnya ayat. Latar sosial tersebut barangkali hanya berlaku pada masa tertentu, individu tertentu, dan di tempat tertentu, akan tetapi ada kalanya berlaku sepanjang masa, pada siapa saja, dan di mana saja. Sementara itu, ayat-ayat akidah tidak mengenal batas-batas tersebut.

Asbabunnuzul boleh dibilang merupakan tonggak utama tafsir kontekstual. Ia merupakan ilustrasi rekaman historis suatu peristiwa sosial kemasyarakatan yang melatarbelakangi dan mengiringi turunnya ayat. Sayangnya, hanya segelintir ayat saja yang memiliki asbabunnuzul. Meskipun demikian, menurut Budhy Munawar-Rachman, asbabun nuzul hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Setidaknya dari asbabun nuzul dapat diperoleh informasi tentang nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang saat itu. Nilai-nilai sosial ini bisa berupa adat-istiadat, karakter masyarakat atau individu, relasinya dengan zaman sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada tahap berikutnya, informasi itu dipilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dihadapi para sarjana muslim yang terlibat dalam penafsiran Alquran, baik yang menuangkan penafsirannya dalam sebuah karya tafsir atau tidak. Pada tahap ini, informasi mengenai metode penafsiran, pendekatan serta pertimbangan, dan hasilnya bisa didapat. Informasi ini juga dipilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada saat ini seraya tetap mempertimbangkan konteks sosial kemasyarakatan pada saat turunnya ayat. Tahapan-tahapan ini identik dengan teori double movement gagasan Fazlur Rahman.

 

Metode dan Aplikasi

Seorang penafsir tentu saja membutuhkan metode dan aplikasi tafsir kontekstual. Ia harus menguasai dengan baik sejarah manusia, terutama sejarah orang-orang Arab pra-Islam, baik secara bahasa, sosial, politik, dan ekonomi sebagai modal awal proses penafsiran kontekstual. Alquran tidak diturunkan dalam ruang hampa; di dalamnya juga terdapat banyak informasi tentang mereka.

Seorang penafsir harus pula menguasai secara menyeluruh seluk beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sebagai sasaran utama turunnya Alquran dari awal turunnya ayat pertama hingga ayat terakhir, bahkan hingga Nabi Muhammad wafat. Tidak semua ayat Alquran memiliki asbabunnuzul. Oleh karena itu, kalau hanya mengandalkan asbabunnuzul, maka penafsiran akan kurang sempurna. Penguasaan terhadap seluk beluk orang-orang Arab dan sekitarnya sangat mendesak dan bisa membantu proses penafsiran kontekstual.

Seorang penafsir perlu menyusun ayat-ayat Alquran sesuai dengan kronologi turunnya, memperhatikan korelasi sawabiq dan lawahiq ayat, mencermati struktur lingustik ayat dan perkembangan penggunaannya dari masa ke masa, dan berusaha menggali kandungan interteks dan ekstrateks secara komprehensif. Penafsir juga harus mencermati penafsiran para tokoh besar awal Islam secara seksama dan konteks sosiohistorisnya, terutama yang secara lahir bertentangan dengan Alquran, tetapi bila diperhatikan ternyata sesuai dengan tuntutan sosial yang ada pada waktu itu dan tetap berada dalam semangatnya.

Tak kalah pentingnya adalah mencermati semua karya-karya tafsir yang ada dan memperhatikan konteks sosiohistoris para penafsirnya. Sebab bagaimanapun juga, para penafsir mempunyai sisi-sisi kehidupan yang berbeda satu sama lain dan turut memengaruhi penafsirannya. Di samping itu, jugamenguasai seluk beluk kehidupan manusia di mana Alquran hendak ditafsirkan secara kontekstual dan perbedaan serta persamaannya dengan masa-masa sebelumnya, terutama pada masa awal Islam.

Kehidupan manusia yang terus-menerus berubah menuntut perubahan penafsiran yang sesuai dengannya. Ini bukan berarti menundukkan sakralitas Alquran di bawah realitas kehidupan, tetapi merupakan usaha mendinamiskan antara keduanya sehingga tidak saling bertentangan. Mengatasi pertentangan antara teks-teks agama dan realitas sosial memang bukan perkara mudah. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha sungguh-sungguh dan aneka ragam pendekatan.

Di antara usaha dan aneka ragam pendekatan tersebut adalah penafsiran kontekstual terhadap teks-teks suci Islam, terutama Alquran. Penafsiran kontekstual sangat urgen dilakukan karena perbedaan pola hidup setiap generasi umat Islam sepanjang sejarahnya.

Kita tahu, sebagian sarjana muslim berusaha mengembangkan tafsir tematik (attafsir almawdu’iy) untuk memecahkan peliknya problem kehidupan manusia. Akan tetapi, usaha semacam ini kurang sempurna kalau tidak memperhatikan aneka ragam aspek kehidupan manusia sebagai penerima dan pengamalnya. Oleh karena itu, tafsir tematik perlu dikembangkan dan disandingkan dengan tafsir kontekstual guna memperoleh penafsiran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.

Wallahu a'lam bissawab.

Oleh Gunoto Saparie

Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB