x

Iklan

Reza Indragiri Amriel

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lubang Peraturan Restitusi Anak Korban Kejahatan

Presiden Joko Widodo mengkategorikan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Reza Indragiri Amriel

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia

Ada kabar baik bagi dunia perlindungan anak. Istana resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Peraturan ini laksana membalik bandul. Masyarakat, yang selama ini lebih berfokus pada bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan terhadap anak, kini dikuatkan untuk mencurahkan simpati nyata kepada korban. Namun ada lubang-lubang dalam peraturan ini yang bisa saja menjadi alasan perlunya revisi atau penyusunan aturan turunan atas peraturan baru tersebut.

Sesuai dengan peraturan itu, korban atau pihak yang mewakilinya harus melalui proses pengajuan permohonan untuk mendapat restitusi. Prosedur tambahan ini kian melelahkan korban yang baru saja mengalami peristiwa kejahatan. Peraturan itu seharusnya juga menetapkan bahwa tuntutan jaksa tidak hanya memuat berat hukuman bagi terdakwa, melainkan jumlah restitusi atau ganti rugi yang harus dibayar pelaku.

Perubahan prosedur tersebut akan mendorong polisi, jaksa, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk membangun skema yang terintegrasi. Dengan demikian, ihwal restitusi diproses begitu korban masuk ke tahap penyidikan di kepolisian.

Presiden Joko Widodo mengkategorikan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Besaran restitusi untuk mengobati penderitaan akibat kejahatan semacam itu-andai mungkin-pasti sangat besar. Apalagi jika pelaku tunggal menjahati banyak korban. Pada kenyataannya, tidak sedikit pelaku yang berasal dari kaum papa. Sanggupkah si predator menunaikan kewajiban restitusi yang ia pikul? Tak pelak masalah ini akan memunculkan situasi miris: korban dipaksa untuk memahami kesulitan pelaku seandainya ia tak kunjung menerima ganti rugi dari pelaku sebagaimana yang telah "dijanjikan" oleh negara.

Di atas kertas, negara bisa saja mengembangkan sistem untuk mempekerjakan warga binaan selama ia berada di penjara. Dengan sistem tersebut, warga binaan berpeluang memperoleh penghasilan atas kerjanya. Namun, dengan jumlah restitusi yang melangit, entah kapan-apabila mungkin-pendapatannya itu cukup untuk melunasi utang restitusinya.

Kiranya perlu diadopsi aturan main yang sudah diterapkan di sejumlah negara. Ketika pelaku tidak mampu menunaikan restitusi kepada korban, negara seketika mengalihkan restitusi ke kompensasi yang ditanggung pemerintah. Dasar pemikiran bagi pengalihan tersebut adalah kompensasi merupakan "sanksi" yang harus ditanggung pemerintah akibat ketidakseriusannya dalam menjamin perlindungan anak-anak dari kejahatan. Tentu, perlu pula diperhitungkan secara cermat agar aturan main tersebut tidak mengakibatkan masalah susulan berupa pailitnya negara.

Di sisi lain, belum tersedia regulasi tentang boleh-tidaknya terdakwa mengajukan permohonan banding atas jumlah restitusi yang ia nilai berada di luar kesanggupannya. Ini jangan ditafsirkan sebagai tidak bundar sempurnanya keberpihakan terhadap korban. Regulasi tentang hal tersebut diperlukan karena ketika hukum menutup mata terhadap ketidaksanggupan terdakwa, pada gilirannya justru korban sendiri yang hanya bisa menikmati iming-iming tak berujung.

Peraturan restitusi tidak memuat secara memadai ketentuan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Ketika kejahatan semacam itu terjadi, apakah restitusi akan ditanggung oleh orang tua atau pemegang kuasa asuh si pelaku? Bisakah tanggung jawab pidana dipindahkan dari diri pelaku ke pihak lain?

Bagaimana pula hubungannya dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Dalam undang-undang tersebut, hukuman pidana bagi pelaku anak-anak adalah separuh dari pelaku dewasa. Penting untuk dipertimbangkan bahwa rumusan "setengah porsi" tersebut juga diberlakukan dalam penentuan besaran restitusi yang harus dilaksanakan oleh pelaku kejahatan berusia anak-anak.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memandang pelaku anak-anak sebagai individu yang pada hakikatnya adalah korban. Persoalan muncul di sini. Dengan pandangan bahwa dia juga korban, masih relevankah kepadanya dipikulkan kewajiban membayar restitusi?

Dengan banyaknya lubang dalam peraturan baru ini, pemerintah sepatutnya mempertimbangkan untuk merevisi peraturan tersebut atau menyusun aturan turunan yang lebih lengkap.

Ikuti tulisan menarik Reza Indragiri Amriel lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler