Simphoni mengalun merdu dari sebuah Grand Piano. Komposisi indah dari rangkaian lagu-lagu nusantara ikut mengalun di gedung gedung megah di Eropa. Tidak kalah dengan lagu-lagu Ludwigh van Beethoven, Antony Vivaldi dan Johann Sebastian Bach. Partitur yang sudah merasuk dalam sukma menambah kedalaman musik klasik yang dia mainkan. Itulah seorang komponis Indonesia yang sudah melanglang dunia. Karyanya sudah diakui dunia dan dirinya pun telah tercatat dalam jajaran musikus dunia, mendapat kehormatan sebagai warga negara Spanyol karena kemampuannya bermain musik. Meskipun lama tinggal di Eropa. Lelaki Jawa, muslim, alumni Kanisius itu tetap mengusung Indonesia untuk dipentaskan dan diperkenalkan dunia lewat budaya, lewat seni, lewat musik. Anda tidak perlu lagi mengukur kadar integritasnya. Dia adalah Ananda Sukarlan. Pria yang dalam hari-hari ini sering di sebut di media massa dan menimbulkan perdebatan anatara yang dijuluki orang-orang gagal move on, bani serbet, kaum bumi bulat dengan orang yang mati-matian membela pemimpin barunya dengan jukukan tidak kalah mentereng, Kaum cingkrang, Kaum berdaster dan warga(kaum bumi datar).
Nama Anies Baswedan tenar sejak ia menggagas Indonesia mengajar. Ia mengingatkan para sarjana dan mahasiswa untuk turun ke daerah pelosok memberikan perhatian pada mereka yang tidak beruntung dalam hal pendidikan bersama—sama membangun peradaban dan menjahit tenun kebangsaan lewat Indonesia mengajar.dan julukan Rektor termuda pernah tersemat pada diri Anies ketika berhasil menduduki jabatan Rektor di Universitas Paramadina. Itu jejak rekor keduanya. Tapi mengapa jejak kaki kehebatan Anies itu mendadak lenyap sejak dia diganti sebagai Menteri Pendidikan dan kebudayaan, lalu memilih jalan politik lain dengan mendekat ke Prabowo Subianto, untuk bertarung memperebutkan jabatan Gubernur DKI Jakarta. Sejak itu Anies yang semula berperan sebagai Protagonis seakan-akan berganti peran menjadi tokoh kontroversial dan beritanya selalu mengundang perdebatan di kalangan masyarakat yang memang senang bergosip dan menggoreng isu. Akhirnya pelan-pelan peran pentingnya dalam merangkai tenun kebangsaan memudar berganti dengan kata-kata yang sering muncul dan kemudian menimbulkan kegaduhan.
Alangkah serunya media sosial, karena mereka tidak pernah ketemu dalam satu frame untuk bersama-sama mengusung keindonesian di pentas dunia, tapi selalu gaduh karena pilihan politiknya yang njelimet. Semuanya seperti ingin mengatakan saya yang terbenar, saya yang selalu mendengar hati nurani, kalian yang gagal move on dan picik pola berpikirnya. Apa sih yang diperdebatkan. Sejak pemilihan kepala daerah Jakarta era Basuki Tjahaja Purnama –Djarot Saiful Hidayat – Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang kemudian dimenangkan Anies Sandi, keterbelahan itu masih menyisakan kegaduhan.
Kalau Ananda Sukarlan memilih “Walk Out”, untuk memberi tanda bahwa ia protes kepada sosok yang telah mengoyak tenun kebangsaan dan tidak menjadi contoh yang baik bagi misi yang diajarkan di Kanisius: Anda telah mengundang seseorang dengan nilai-nilai integritas yang bertentangan dengan apa yang diajarkan kepada kami.Walaupun anda harus mengundangnya karena jabatannya, tapi next time kita harus lihat orangnya. Ia mandapatkan jabatannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai nilai Kanisius.
Berpikir jernih, jangan terjebak pada opini “semprul” yang ingin mengkotak-kotakkan visi pendidikan seutuhnya. Dari dahulu misi pendidikan katolik (kanisius) adalah merangkul semua, mendidik semua dan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan agama. Bahkan murid –murid yang masuk hampir 60 persen tidak katolik. Tapi mereka menerima ajaran, pendidikan karakter, nilai-nilai disiplin yang diajarkan Kanisius. Di media sosial banyak yang senang menggoreng isu, mempertentangkan dan menjadikan isu sebagai komoditas politik. Ketika suasana panas memuncak orang-orang yang ingin memanfaatkan koyaknya tenun kebangsaan itu segera menyergap dan memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi maupun grupnya.
Ananda Walk Out itu karena pilihan nuraninya bukan karena ajaran Kanisius. Panitia dengan sopan telah mengundangnya, menyambutnya sebagai gubernur. Anies Baswedan pasti merasakan ia diperlakukan baik oleh panitia. Masyarakat harus cerdas menyikapi pilihan nurani musisi. Kalau ada sebagian netizen harus menyimpulkan beda dan tampak emosional dan memaki-maki sekolah yang telah menyumbangkan begitu banyak intelektual, pemikir, pengusaha, pemimpin negeri ini, mungkin perlu menengok diri sendiri dahulu. Sumbangan apakah yang sudah kupersembahkan pada negeri ini. menciptakan kegaduhan atau bersama-sama membangun negeri dengan sesuai kemampuan masing-masing. Salam Damai. Teh pagi masih mengepul mari seruput dan rasakan aromanya.
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.