x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Islam Moderat dan Arab Saudi

Islam sudah sejak awal diturunkannya di Arab, tentu saja merupakan agama yang berpaham moderat, karena kehadirannya justru mengusung nilai-nilai keadilan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak sulit untuk membuat sebuah definisi soal “Islam moderat”, karena model ini umumnya merupakan cara berpikir dan bertindak seorang muslim yang menghindari cara-cara kekerasan atau ekstrimisme (to avoid the extreme). Islam moderat juga berarti mengajukan proposisi “jalan tengah” atau “tawasuth” yang berada diantara dua kutub: fanatik dan ekstrim. Istilah “wasatha” sendiri dalam laman maany.com merupakan “sesuatu diantara dua kutub” (ma baina dzorfaihi) yang berkonotasi “keadilan” yang berarti “tidak berat sebelah” dalam merespon berbagai hal. Bersikap moderat, tentu saja merupakan “pilihan” yang pada akhirnya merepresentasikan konsep “jalan tengah” yang seringkali mempunyai kecondongan pada rasa keadilan.

Islam sudah sejak awal diturunkannya di Arab, tentu saja merupakan agama yang berpaham moderat, karena kehadirannya justru mengusung nilai-nilai keadilan dan penerimaan atas semua kepercayaan agama terdahulu yang telah hadir sebelumnya. Yahudi dan Nasrani merupakan agama yang telah lebih dulu hadir sebelum Islam, dan kedua agama ini dibawa oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad yang harus diimani oleh seluruh umat muslim. Bahkan, kitab-kitab suci yang diturunkan kepada agama Yahudi dan Nasrani—Taurat dan Injil—adalah kitab suci yang juga wajib diimani umat muslim. Kehadiran Islam sebagai “agama baru” di Arab waktu itu, jelas tidak berdiri sendiri, karena tetap menyerap dan mengambil syariat terdahulu sebagaimana dituliskan kitab suci sebelumnya. Puasa dan Haji, misalnya, adalah syariat umat terdahulu yang kemudian diadopsi dan dimodifikasi sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

Moderatisme Islam, tidak hanya tercermin dari berbagai ajarannya yang mampu akomodatif terhadap seluruh ajaran agama terdahulu, tetapi penyebarannya melalui teladan Nabi Muhammad, tak pernah diwarnai oleh cara-cara kekerasan apalagi peperangan. Islam jelas hadir di Jazirah Arab tanpa harus berkonflik dengan beragam adat atau tradisi masyarakat Arab, tetapi lebih banyak akomodatif dan memilih jalan damai dalam penyebarannya. Kondisi dan situasi masyarakat Arab yang cenderung kaku, keras, bahkan ultra-konservatif, justru dengan mudah “tunduk” oleh sikap Islam yang moderat. Agak sulit dibayangkan, jika Islam datang mengusung intoleransi, pertentangan atau pemaksaan atas banyak hal dalam merubah bangsa Arab, tentu saja Islam tak akan luas penyebarannya hingga saat ini. Warna moderatisme yang ditunjukkan melalui sikap akomodatif dan cinta akan keadilan dan kedamaian, membuat Islam mampu merebut simpati bangsa Arab.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu, sekian lama bangsa Arab distigmatisasi sebagai bangsa yang “tertutup” bahkan ajaran agamanya dianggap terlampau kaku terhadap berbagai perubahan dan aspek modernitas. Keteguhannya pada ajaran salafi—yang belakangan dikenal dengan Wahabi—telah menjadikan Arab Saudi justru ultra-konservatif dan sulit “berdamai” dengan arus modernitas dan perubahan sosial. Cermin kekakuan dalam mengaktualisasikan ajaran Islam, justru dipandang oleh banyak pihak sebagai “anti moderatisme”, padahal Islam sejak awal justru mengusung nilai-nilai moderat. Disinilah barangkali, alasan paling kuat yang diinisiasi Pangeran Salman bin Abdul Aziz untuk mereformasi Arab dalam segala hal, termasuk soal cara pandang keagamaan yang dinilai terlampau kaku dan sempit.

Gebrakan Pengeran Salman dalam mereformasi Arab Saudi memang tak tanggung-tanggung, selain memenjarakan para pejabat kerajaan yang tersangkut korupsi, ia juga nampaknya ingin mengembalikan Arab Saudi ke ranah aslinya, sebagai negara Islam yang berwatak moderat. Dalam prinsip keagamaan, Muhammad Salman tentu saja mereposisi para “ulama kerajaan”, mengganti mereka yang berpaham Wahabi dengan yang berlatar belakang Sunni, karena dinilai lebih moderat. Sontak para ulama Saudi jelas gundah atas upaya reformasi ini, bahkan tak menutup kemungkinan, banyak ulama-ulama Wahabi yang mendadak menjadi “Sunni” dan mendukung langkah reformasi Muhammad Salman melalui sikap moderat yang ditunjukkannya.

Maka tak heran, ketika ada seorang ulama senior Arab Saudi, Shaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Manea tiba-tiba mengeluarkan fatwa yang mencengangkan dunia Islam. Al-Manea misalnya memfatwakan, bahwa umat Islam dapat beribadah atau menjalankan shalat di Masjid Syiah atau Sufi dan di gereja serta rumah ibadah Yahudi atau sinagoge (Koran Tempo, 13/11/2017). Sejatinya fatwa ini bagi sebagian masyarakat muslim mungkin sangat kontroversial, terlebih ketika fatwa ini benar-benar diungkapkan oleh seorang ulama dibawah naungan Majelis Ulama Arab Saudi. Padahal, dalam sejarah Islam disebutkan, bahwa Nabi Muhammad pernah menerima delegasi Nasrani dari Najran yang kemudian masuk ke Masjid Nabi, mereka bertemu Nabi Muhammad dan shalat di Masjid Nabi dengan menghadap ke Timur (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah).

Sejarah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq yang kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Hisyam, soal penerimaan delegasi Nasrani oleh Nabi Muhammad, cukup membuktikan bahwa Islam dalam sejarah masa-masa awal mempraktekkan ajaran moderat. Memberikan kesempatan kepada agama lain untuk beribadah di Masjid adalah cara pandang moderatisme yang diajarkan Nabi Muhammad yang saat ini justru diungkap kembali oleh ulama senior Arab Saudi, tentu saja dengan alasan-alasan politis. Para ulama tentu saja khawatir, posisi dirinya terancam karena jika dipandang tidak moderat, dipastikan tak mendapat tempat sebagai ulama kerajaan yang seluruh kehidupannya dijamin pemerintah Arab Saudi. Konsep Islam moderat dalam konteks reformasi Arab Saudi tentu saja atas dorongan kepentingan kekuasaan, bukan atas dasar “kesadaran bersama” bahwa Islam adalah moderatisme itu sendiri.

Demi mewujudkan Visi Arab Saudi 2030 yang diprakarsai oleh Pangeran Salman bin Abdul Aziz, tentu saja berkepentingan menjadikan Islam Arab sebagai “rumah terbuka” yang lebih moderat, mampu  akomodatif terhadap berbagai perubahan sosial, termasuk modernisme. Sikap moderat dalam banyak hal, akan mampu menerima setiap perubahan, terlebih yang saat ini sedang gencar dijalankan oleh Muhammad Salman yang secara de facto memiliki legitimasi kekuasaan dan bertanggungjawab penuh dalam mewujudkan visi kerajaan. Dalam hal moderatisme Islam, Arab Saudi jelas tertinggal jauh dengan Indonesia, karena ciri moderat sudah melekat dalam keberagamaan bangsa ini, bahkan sejak para Wali Songo hadir mengislamkan Nusantara.

Bagi saya, Islam sudah pasti “moderat” melihat dari asal katanya, “aslama” (mendamaikan) dan “kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran” (taslim) yang berkonotasi “berdamai” dengan banyak hal, selama menunjukkan bukti atas kepatuhan dirinya kepada kebenaran yang diperintahkan Tuhan. “Kedamaian” tentu merupakan wujud dari model “jalan tengah” yang menghindari cara-cara kekerasan atau berkonflik. Walaupun istilah “Islam moderat” dikritik oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, karena mengindikasikan terhadap penggunaan istilah asing, namun sudah menjadi takdirnya bahwa umat muslim adalah “ummatan wasatho” (umat moderat yang memilih ‘jalan tengah’) sebagaimana disebut dalam kitab suci Al-Quran. Promosi “Islam moderat” yang saat ini dijalankan Arab Saudi semoga bukan karena alasan politis semata, tetapi menggugah kesadaran bersama, bahwa citra Islam moderat sangat penting, sebagai wujud penolakan atas ekstrimisme, kekerasan bahkan radikalisme-terorisme.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu