Terlihat air mengalir dari kedua kelopak matanya membasahi dan basuh pipi yang keriput, mengungkap sekilas ringkas cerita pedagang masakan keliling
walaupun begitu rasa bersyukur akan nikmat yang diberikan Yang Maha Pemurah dan Pengasih takkan terhenti, selama nafas masih tersisa dan tenaga belum terkikis zaman
Dunia berputar sudah pasti, namun kehidupan diibaratkan roda berputar akh!! belum tentu, itu hanya ungkapan semu belaka, kilah Nining seorang pedagang masakan yang sehari-hari keliling dan keluar masuk kampung untuk memenuhi keluarga yang tak sempat menyediakan hidangan buat suami dan anak-anaknya sarapan pagi.
Nining (58), warga kampung citamiang Rt 05/Rw05, desa sirnajaya kecamatan sukaraja kabupaten Tasikmalaya, sudah kurang lebih 25 tahun menjadi penjual masakan, pekerjaan yang digeluti seperti ini, merupakan warisan dari orangtuanya dahulu juga sama, dengan abdi (saya) adalah penerusnya.
Sejak menikah dengan Endin (63), yang bekerja menjadi kernet kendaraan truk angkutan antar provinsi, setelah beberapa bulan selalu ada perasaan tak betah(kesal), seandainya dirumah tak ada kesibukan, apalagi suaminya bila pulang kerja 2 minggu sekali terkadang bisa sebulan sekali, Cuma tinggal masih serumah dengan orangtua walau sebelah, hanya ibu dan itu juga dalam keadaan sakit.
Setelah dua tahun pernikahan, anggota keluarga bertambah satu, dengan hadirnya anak pertama seorang bayi munggil laki-laki, yang didambakan kakek dan neneknya dahulu ingin punya anak lelaki, dan nining adalah anak tunggal dari mereka.
Kehadiran cucu pertama ini, bagi ibunya nining menjadi semeringah seakan sakit yang dideritapun tak dirasakan, keadaannya seperti sembuh, membuat anak dan mantu merasa bahagia.
Hari perhari, bulan perbulan tak terasa bayi sudah berusia sebelas bulan, bayi yang diberi nama Rifan ini semakin lucu dan nakal, membuat greget tetangga dan neneknya, apalagi Ayah dan Ibunya.
Disaat Rifan mulai belajar merangkak dan berdiri, ibunya nining meninggal dunia sedang suami sedang kerja muat ke Surabaya, terlihat air mengalir dari kedua kelopak matanya membasahi dan basuh pipi yang keriput, mengungkap sekilas ringkas cerita masa lalu pada penulis.
Orangtua juga, yakh! Ibu, jualan masakan tak jauh beda seperti yang dilakukan saat ini, masuk-keluar kampung, dan pulang kerumah sampai ashar, kalau dipikir berarti tak ada perubahan, layaknya pedagang yang lain pake gerobak, juga Kang Endin sebutan untuk suami nining, sekarang kerja serabutan, buruh tani, mencangkul disawah dan apa saja yang bisa dikerjakan bila tetangga yang berada dikampungnya butuh tenaga suaminya.
Tiga puluh tahun pernikahan bersama kang endin berlalu tak terasa, dengan tiga buah hati penerus dua laki-laki dan satu perempuan, anak yang pertama dan kedua sudah berumah tangga, hanya tinggal satu lagi anak bungsu yang belum menikah, walaupun begitu rasa bersyukur akan nikmat yang diberikan Yang Maha Pemurah dan Pengasih takkan terhenti, selama nafas masih tersisa dan tenaga belum terkikis zaman ‘ AKU AKAN TETAP BERGIAT SEPERTI INI, BIAR RODA KEHIDUPAN TAK PERNAH MERUBAHNYA DAN HANYA MIMPI SEMATA“.
Singaparna, kabupaten Tasikmalaya,(14/11/2017)
IWAN SINGADINATA
Ikuti tulisan menarik Iwan Singadinata lainnya di sini.