x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rina Nose, Soal Hijab, dan Pasca-Kebenaran

Saya kira, internet dan medsos merupakan faktor sangat berpengaruh dalam persemaian emosional masyarakat di era post-truth saat ini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Heboh soal Rina Nose yang melepas hijab atau jilbab, nampaknya menjadi viral di media sosial. Pro-kontra yang timbul di masyarakat tentu saja tidak sekadar protes, mencibir atau nyinyir, karena ada juga yang tampaknya biasa-biasa saja dan bahkan mendukung. Hijab memang sudah seharusnya berada dalam ruang privasi seseorang—untuk memakainya maupun tidak—namun terkadang ketika mewujud dalam ruang publik, pro dan kontra dalam masyarakat akan sulit dihindarkan. Terlebih bagi seorang publik figur yang segala sepak terjangnya mudah diketahui publik, maka sudah sepatutnya dipahami, jika apapun yang kemudian menjadi keputusannya dalam hal berhijab—untuk memakai dan melepasnya—sudah tentu akan menjadi sorotan publik. Dalam sebuah fenomena  post-truth (pasca kebenaran) saat ini, memang menjadi sebuah kenyataan, dimana emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dari pada fakta yang objektif (Oxford Dictionaries).

Saya kira, internet dan medsos merupakan faktor sangat berpengaruh dalam persemaian emosional masyarakat di era post-truth saat ini. seluruh informasi yang diserap oleh masyarakat dari internet, hampir-hampir tak berdasarkan fakta objektif tetapi lebih didorong oleh suka atau tidak suka yang dalam hal tertentu, meningkatkan aktivitas emosional masyarakat. Rina Nose, yang beberapa tahun belakangan ini tampil berhijab dengan segala keyakinannya, lalu sontak menjadi bahan perundungan publik ketika dirinya tak lagi menggunakan hijab. Padahal, soal hijab yang diyakini seseorang, merupakan wilayah “privat” yang konsekuensinya merupakan hak pribadi seseorang untuk memakai atau menanggalkannya. Banyak faktor yang mendorong seorang wanita mengenakan hijab, baik itu dorongan keyakinan pribadi, karena takut akan sangsi sosial, atau terpengaruh lingkungan sekitar. Lagi pula, hijab bukan wilayah publik, dimana setiap orang bisa menilai, mengkritik, menyalahkan atau bahkan “memaksa” hak pribadi seseorang.

Bagi sebagian besar umat muslim, hijab atau jilbab memang merupakan sebuah “kewajiban agama” yang seakan menjadi “dogma” yang tak mungkin dilanggar oleh wanita muslim. Sulit untuk beranggapan, bahwa keberadaan jilbab sendiri sebenarnya adalah “produk budaya” yang kemudian disyariatkan kepada wanita muslim untuk mengenakannya. Sebuah “produk budaya” karena memang definisi “jilbab” sendiri dari sisi kebahasaan tidaklah seragam, tergantung siapa dan di wilayah mana memakainya. Dulu di Indonesia, para Nyai atau istri kiai, hanya cukup mengenakan kerudung yang menutupi sebagian rambut mereka, tanpa menutupnya rapat-rapat. Lalu, belakangan jilbab menjadi semacam trend fashion yang dimodifikasi sesual “selera” masyarakatnya. Bahkan ada istilah baru, “jilbab syar’i” yang entah muncul dari mana dan mengklaim sebagai bentuk jilbab yang paling benar. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya mencoba menelusuri makna “jilbab” karena istilah ini berasal dari bahasa Arab yang diadopsi menjadi bahasa Indonesia, maka saya merujuk kepada makna aslinya yang memang bahasa Arab. Secara etimologi, kata “jilbab” merupakan “ism” atau “kata benda” yang tentu saja bermakna “musytarak” (satu kata tetapi banyak makna). Dalam laman maany.com, kata “jilbab” mengandung banyak pengertian. Jilbab bisa berarti “qomis”(pakaian sehari-hari), bisa juga berarti “khimar” (kerudung) atau bisa juga berarti “al-milhaf” (semacam kain yang menyelimuti baju perempuan). Maka dalam budaya Arab, orang berjilbab tentu saja sangat beragam, ada yang hanya penutup kepala saja (rambut agak keliatan), ada yang menutupi semua badannya dengan jilbab, ada yang hanya menutupi kepalanya sampai sebatas dada (seperti kerudung zaman old).

Karena banyaknya pemaknaan soal jilbab dalam bahasa Arab, tentu saja hal ini menjadi perbedaan pendapat diantara sekian banyak ulama. Perbedaan tentu saja hal yang wajar dalam dinamika pengetahuan, sepanjang masing-masing dapat mempertanggungjawabkan argumentasinya secara logis dan tentu saja bersandar pada kaidah-kaidah keagamaan. Tak bisa seseorang atau sekelompok orang mengklaim bahwa kriteria soal jilbab dirinyalah yang paling benar, karena jilbab tidak semata-mata perintah agama, tetapi terkait erat dengan kultur masyarakat tertentu. Di wilayah Timur Tengah saja, pemakaian jilbab sangat beragam, ada yang tertutup semua hanya dibagian matanya yang terbuka (burqa), ada yang sekadar diikatkan di kepala, atau yang paling umum adalah menutup seluruh kepalanya dan hanya wajahnya saja yang ditampakkan.

Kita sebagai umat muslim belakangan, tentu tak pernah mengetahui, seperti apa sebenarnya jilbab yang dimaksud pada zaman Nabi Muhammad dulu. Hal ini bahkan, tak dirinci secara pasti dalam berbagai literatur Islam lainnya, termasuk dalam sumber hukum Islam, seperti hadits. Mengenai perintah berjilbab, memang sudah disebutkan al-Quran, seperti dalam surat Al-Ahzab:59, bahwa Nabi Muhammad diperintahkan Allah agar menyuruh anak-anaknya, dan istri-istrinya dan semua wanita beriman agar mengulurkan jilbabnya. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, kewajiban berjilbab pada awalnya hanya khusus diperintahkan untuk istri-istri Nabi dan anak-anaknya, agar dapat membedakan mereka dengan perempuan-perempuan Jahiliyah waktu itu.

Tetapi, Ibnu Katsir menilai, ayat ini kemudian berlaku umum (at-ta’mim ba’da al-takhsish) ketika ada kalimat “wa nisaail mu’minina” (untuk wanita-wanita beriman). Adapun Qotadah, Ubaidah, Ibnu Mas’ud, Hasan Bashri, Said bin Jabir, Ibrahim an-Nakho’i dan Atho al-Khurasani, sepakat menyatakan bahwa jilbab merupakan “pakaian/kain yang dipakaikan diatas kerudung” (arridaau fawqa al-khimari) mirip dengan baju kurung saat ini. Sedangkan al-Jauhari mendefinisikan jilbab sebagai “al-mulhafah” yaitu “pakaian panjang (mirip mantel atau selimut)”.

Perbedaan pendapat mengenai bagaimana seharusnya jilbab dikenakan sebetulnya berawal potongan ayat Al-Quran, “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna” (perempuan-perempuan (muslimah) diperintahkan untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya). Menurut Muhammad bin Sirrin ketika menanyakan mengenai kalimat tersebut kepada Ubaidah as-Salmani menyatakan bahwa jilbab yang dimaksud adalah “seluruh pakaian yang menutupi seluruh tubuh, wajah dan rambutnya, kecuali mata sebelah kiri yang terlihat”. Adapun Ibnu Abi Hatim berdasarkan riwayat dari Az-Zuhri menyatakan bahwa jilbab hanya dikenakan kepada wanita yang sudah menikah saja, karena jika gadis memakai jilbab dikhawatirkan menyerupai wanita-wanita yang sudah merdeka atau sudah menikah (Tafsir Al-Quran Al-Karim: Ibnu Katsir).

Jadi asumsi saya, jilbab selain sebagai sebuah perintah syariat juga berkaitan dengan norma dan budaya bangsa Arab waktu itu, dilihat dari beberapa perbedaan pendapat mengenai konteks jilbab itu sendiri. Hal ini sebagaimana diceritakan kembali oleh Imam as-Sudaiy ketika menafsirkan surat Al-Ahzab: 59 bahwa asbabun nuzul (peristiwa historis turunnya ayat) berkaitan dengan sekelompok laki-laki di Madinah yang seringkali keluar menjelang malam. Mereka ketika bertemu dengan wanita-wanita miskin yang lemah diantara penduduk Madinah, lalu menggodanya. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan kepada wanita yang berjilbab. Jika wanita itu berjilbab, maka mereka berkata, “ini wanita merdeka, biarkan dia lewat”. Tetapi ketika yang ditemui adalah wanita tidak berjilbab, maka mereka berkata,”Ini adalah budak, maka dekatilah mereka”. (Tafsir Al-Quran Wa I’robuhu Wa Bayanuhu: Dr. Muhammad Thaha Dlurroh)

Dengan demikian, jilbab menurut saya merupakan “pakaian kehormatan wanita” yang lekat dengan kondisi kebudayaan Arab, karena dengan menutup aurat, wanita akan terhindar dari fitnah (godaan, cemoohan, atau pelecehan). Adapun mengenai bentuk ataupun modelnya, jilbab merupakan “produk budaya” yang secara historis dilembagakan oleh setiap masyarakat yang nota bene hidup dalam lingkungan mayoritas muslim. Persoalan jilbab merupakan kain yang menjadi penutup kepala ataupun bukan bagi seorang wanita muslim, tak pernah ada kesepakatan diantara para ulama. Itulah kenapa, ada sebagaian ulama yang beranggapan, jilbab adalah menutup aurat bagi wanita, dan tidak memperlihatkan “perhiasannya” kepada publik, kecuali muhrim-nya sendiri.

Jadi dengan demikian, jilbab merupakan upaya menutupi aurat seorang wanita beriman agar tidak dilecehkan laki-laki dan tentu saja memiliki kesan “terhormat”. Jika zaman Jahiliyah dulu, bahwa wajah merupakan bagian dari pemicu timbulnya fitnah dari laki-laki, maka Nabi Muhammad  kemudian membatasi apa saja yang boleh terlihat dari wanita beriman. Nabi, hanya memberi isyarat, dengan menunjuk ke bagian wajah dan telapak tangan yang hanya boleh dilihat oleh laki-laki lain selain muhrimnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Nabi saw pernah menegur Asma binti Abu Bakar yang berkunjung ke rumahnya tapi dengan baju yang tipis, sehingga Nabi saw kemudian berpaling dan menyuruh Asma untuk menutup auratnya seraya menyebutkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah wajah dan telapak tangan.

Berbagai peristiwa sejarah dalam tradisi Islam, jelas terlihat, bagaimana jilbab bukan sekadar aturan syariat yang diwajibkan bagi wanita beriman, tetapi ia telah menjadi produk budaya yang terus berinteraksi dengan pelbagai arus perubahan sosial. Sebagai sebuah “produk budaya”, jilbab tentu saja diinterpretasikan secara berbeda dan terkait dengan kebiasaan yang mewujud dalam sebuah masyarakat tertentu. Lalu, apakah kita berhak menilai seseorang karena dia memakai atau melepas jilbabnya? Era post-truth akan memperlihatkan, bagaimana sikap emosional lebih banyak dipergunakan untuk menilai seseorang di ranah publik, sehingga opini yang dibangun-pun semuanya berdasarkan kecondongan emosional, bukan atas dorongan fakta yang objektif. Berjilbab atau tidak, itu hak pribadi seseorang, bahkan sesuatu yang sangat privat, bukan menjadi bagian konsumsi publik, apalagi dengan penuh emosional, kita mengklaim kebenaran subjektivitas sendiri.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler