x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Modernisasi di Jantung Budaya Jawa

Perjumpaan budaya Jawa dengan Barat di Kadipaten Mangkunegaran

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944

Penulis: Wasino

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun terbit: 2014

ISBN: 978-979-709-805-6

Halaman: xii + 236

 

Ketika kita mendengar kata Jawa, yang terlintas di benak kita adalah sebuah kebudayaan adi luhung tetapi lamban; budaya feodal yang mengalami kemandegan. Budaya yang memuja masa lalu dan kurang mengarah ke masa depan. Namun jangan salah, Jawa juga mengalami masa modernisasi yang sangat dinamis. Salah satu perubahan yang sangat dinamis tersebut terjadi pada era akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, tepatnya dari tahun 1896 – 1944. Perubahan tersebut terjadi di jantung budaya Jawa, yaitu Surakarta, tepatnya di Kadipaten Mangkunegaran.

Wasino membagi proses westernisasi di Jawa menjadi tiga fase. Fase pertama (abad 17-18) adalah tahap perjumpaan kerajaan-kerajaan Jawa dengan para pedagang Belanda (VOC). Pada tahap pertama ini hubungan budaya barat dengan Jawa terutama terjadi dalam bentuk perdagangan, berlanjut kepada keterlibatan VOC dalam persengketaan keluarga raja yang akhirnya VOC mendapatkan konsesi wilayah. Fase kedua (awal sampai pertengahan abad 19) adalah saat pengaruh westernisasi sampai di level kabupaten. Pada fase ini hubungan orang-orang Eropa sudah langsung dengan para penguasa Jawa yang levelnya lebih rendah. Belanda tidak lagi berhubungan dengan rakyat Jawa melalui raja-raja utama, tetapi sudah melalui para bupati. Sedangkan fase ketiga (pertengahan hingga akhir abad 19) adalah saat budaya barat sudah mempengaruhi budaya Jawa. Pada fase ini orang-orang Belanda sudah berhubungan langsung dengan para kepala desa atau bekel. Pengaruh budaya barat kepada budaya Jawa tidak terbatas pada aras tatanan masyarakat, tetapi juga pada pola pikir. Terjadi perubahan pola pikir dari pralogis dan tradisional menjadi rasional dan modern.

Perjumpaan budaya barat dengan budaya Jawa bersifat dinamis. Dalam hal tata pemerintahan, Jawa tidak lagi berpusat kepada raja, melainkan menggunakan tata pemerintahan barat (negara demokrasi). Namun posisi raja-raja Jawa masih mendapat tempat di kalangan rakyat. Di bidang birokrasi, Jawa kini telah mengadopsi birokrasi barat. Namun di kalangan birokrat rendahan, ketaatan kepada pimpinan lebih tinggi nilainya daripada ketaatan kepada aturan. Di bidang ekonomi, terjadi dualisme sistem ekonomi. Ekonomi barat yang dikelola secara modern, seperti perkebunan-perkebunan modern berdampingan dengan sistem ekonomi subsisten yang tetap bertahan di pedesaan. Di dunia pendidikan dan kebudayaan, nilai-nilai Jawa tetap dipertahankan namun dilai-nilai barat juga diadopsi. Pendidikan ala barat mendapatkan tempat yang semakin penting.

Perubahan budaya Jawa akibat dari perjumpaannya dengan budaya barat menimbulkan konsekwensi bagi kerajaan-kerajaan di Jawa. Kadipaten Mangkunegaran dianggap sebagai kerajaan Jawa yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut (hal. 9). Perubahan besar Mangkunegaran dimulai sejak Mangkunegoro IV. Pada era Mangkunegoro IV inilah perkebunan-perkebunan (tebu dan kopi) modern dibangun dan dikelola oleh kerajaan Jawa. Sebelum-sebelumnya perkebunan dikelola oleh para pengusaha Eropa yang menyewa tanah dari raja Jawa. Berbeda dengan perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh orang Eropa dimana hasil keuntungannya dibawa kembali ke Eropa, perkebunan-perkebunan di bawah Mangkunegaran hasilnya dipakai untuk menghidupi kadipaten. Selain membangun perkebunan, Mangkunegoro IV juga membangun tentara dengan dukungan dari Belanda.

Mangkunegaran adalah kerajaan Jawa yang lahir akibat dari perseteruan para elite Kerajaan Mataram. Posisi masing-masing pihak selalu berubah terhadap Belanda. Belandapun melibatkan diri dalam konflik elite ini dan mengambil keuntungan, yaitu menguasai wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai sebuah kaidpaten, Mangkunegaran memang tidak sekuat Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Jogjakarta. Namun karena kuatnya tentara dan dukungan rakyat, Mangkunegaran memiliki posisi yang penting dan semakin kuat secara politis. Sejak Mangkunegoro VI (1896) dilantik, Mangkunegaran tidak lagi berada di bawah kekuasaan Kasunanan (hal. 53). Secara ekonomipun posisi Mangkunegaran semakin kuat. Pada akhir abad 19, saat Mangkunegoro IV menjabat, status lahan yang dulu tak bisa diwariskan (apanage) menjadi lahan yang bisa diwariskan. Wilayah Mangkunegaran juga semakin luas. Selain upayanya mengembangkan industri pertanian modern, Mangkunegoro IV juga menyederhanakan etiket (tata krama) bernegara di Mangkunegaran serta mengembangkan persekolahan.

Mangkunegoro VI adalah anak dari Mangkunegoro IV. Mangkunegoro VI dibesarkan dalam pendidikan Jawa, namun kemudian mendapatkan pendidikan kemiliteran dari Belanda. Saat Mangkunegoro VI menjabat, keadaan keuangan Mangkunegaran sedang tidak baik. Salah kelola keuangan oleh abangnya (Mangkunegoro V), resesi ekonomi dunia dan hama tanaman menyebabkan kemerosotan keuangan Mangkunegaran. Itulah sebabnya, Mangkunegoro VI melakukan penghematan yang luar biasa supaya bisa membayar hutang kepada Belanda dan tidak mengalami kebangkrutan Mangkunegoro VI memang berhasil menyehatkan keuangan kerajaan.

Sedangkan Mangkunegoro VII adalah anak dari Mangkunegoro V. Mangkunegoro VII mendapat pendidikan di Eropa dan sangat menyukai sastra. Pendidikan dan pengalamannya di Eropa membuat Mangkunegoro VII bercita-cita membangun Mangkunegaran menjadi negara yang maju seperti Eropa (hal. 67). Mangkunogoro VII melakukan pembaruan birokrasi pemerintahan dengan mengadopsi sistem Barat. Meski kekuasaan tertinggi tetap pada Mangkunegoro, tetapi jabatan di bawahnya sudah merupakan birokrasi modern. Mangkonegoro VII menghapus model birokrasi warisan Mataram yang membagi sistem pemerintahan reh jero (urusan dalam istana) dan reh jaba (urusan luar istana). Mangkunegoro VII membagi birokrasinya sesuai dengan tugas teknis (semacam kementerian).

Selain perubahan sistem ekonomi dan tata pemerintahan, Mangkunegaran juga melakukan pembaruan (baca: pembaratan) dalam hal etiket bernegara, tata cara berpakaian, aturan kenegaraan (protokol) dan kedisiplinan. Mangkunegoro IV telah menggunakan pakaian adat Jawa yang dipadu dengan pakaian sipil barat saat acara kenegaraan. Sedangkan di hari-hari biasa Mangkunegoro lebih suka berpakaian ala militer barat. Dalam hal protokol, Mangkunegaran menerapkan aturan ketat dalam penerimaan tamu. Aturan ini diterapkan dengan tidak pandang bulu. Demikian pula dengan disiplin waktu. Mangkunegoro menerapkan aturan tepat waktu untuk siapa saja yang ada janji pertemuan dengan beliau. Aturan ini berlaku tidak hanya bagi internal keluarga Mangkunegaran, tetapi juga diterapkan kepada Belanda dan pihak Kasunanan.

Di bidang hukum, meski kodifikasi hukum (pranatan) telah dimulai oleh Kasultanan dan Kasunanan, namun Mangkunegaran mulai membuat peraturan-peraturan sendiri yang berlaku di wilayahnya. Peraturan hukum (Dhehdawuh Dalem Sri Mangkunegara) dimuat dalam Lembaran Kerajaan (hal. 109).

Di bidang pendidikan, Mangkunegoro VI mulai mendirikan banyak sekolah untuk rakyat. Sekolah-sekolah yang didirikan ini mengadopsi pendidikan ala Belanda. Mangkunegaran juga menyediakan beasiswa. Selain itu Mangkunegaran juga mendirikan perpustakaan Rekso Pustoko dan Sono Pustoko.

Sedangkan di bidang kebudayaan, Mangkunegaran menghasilkan banya sekali karya-karya yang sangat bagus. Selain karya-karya yang bersumber kepada budaya Jawa yang ditulis pada era Mangkunegoro IV-VII, karya-karya Tagore juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Mangkunegoro VII. Itulah sebabnya Mangkunegoro VII disebut sebagai Raja Pujangga dan Satriya Pinandhita. Mangkunegoro VII juga menganjurkan dialog antara budaya Jawa dengan budaya Barat. Pada era pemerintahannya berdirilah kelompok studi filsafat yang membahas nilai-nilai budaya Jawa dan budaya Barat. Para pegiat diskusi inilah yang kemudian hari terlibat dalam pendirian Negara Kesatuan republik Indonesia, seperti Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB