x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengalaman Seorang 'Azhariyyan' yang Sangat Indonesia

Saya kira, untuk saat ini, hampir seluruh mahasiswa Indonesia yang akan belajar di Universitas Al-Azhar, tak mungkin rasanya tidak mengenal nama Cecep

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak diantara para pelajar muslim Indonesia melihat Mesir sebagai “kiblat” mereka dalam soal keilmuan agama Islam yang lebih “otentik”, menyejarah dan tak salah kiranya, jika Mesir dan Al-Azhar-nya dipersepsikan sebagai “kiblat ilmu” bagi hampir sekian banyak pelajar muslim seluruh dunia. Mimpi untuk bisa menimba ilmu di Mesir, tentu saja pernah dirasakan oleh salah seorang Staf Atase Pendidikan Kedutaan RI untuk Mesir, Cecep Taufikurohman, MA, yang sukses menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Cairo selepas menyelesaikan kuliahnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN—kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semangatnya yang tinggi sejak masih di bangku kuliah, untuk mengejar mimpinya ke Mesir, ternyata terbayar sudah. Selain menjadi atase di Kedutaan RI di Mesir, kini Buya CT—panggilan akrab Cecep—melalui buku yang ditulisnya “Menuju Kiblat Ilmu” (Nahwa Qiblatal ‘Ilmi), berbagi pengalamannya menjadi seorang “Al-Azhariyan” yang sangat Indonesia.

Pria kelahiran Garut, 40 tahun yang silam ini, sejak masih di bangku sekolah menengah, sudah mengenal nama seorang pemikir besar Al-Azhar, yaitu Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) yang belakangan diketahui sebagai seorang ulama besar muslim yang pemikirannya sangat berpengaruh dalam bidang pendidikan Islam modern di Indonesia. Tak heran, karena latar belakang dirinya yang lahir dan besar dalam kultur Muhammadiyah, Cecep kemudian mulai mengenal lebih dekat pemikiran Abduh saat dirinya kuliah di jurusan Aqidah dan Filsafat di IAIN Jakarta. Pergulatannya dengan kajian para pemikir muslim dunia, membuat Cecep tertarik untuk menjemput mimpinya menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Islam tertua di dunia itu. Selepas lulus dari IAIN, Cecep kemudian “berebut kursi” dengan calon mahasiswa lainnya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi impiannya, Al-Azhar As-Syarif di Cairo, Mesir.

Saya kira, untuk saat ini, hampir seluruh mahasiswa Indonesia yang akan belajar di Universitas Al-Azhar, tak mungkin rasanya tidak mengenal nama Cecep Taufikurohman. Sebagai Staf Atase Pendidikan Kedutaan RI di Mesir, Buya CT tentu saja akan selalu berbagi pengalamannya dengan para mahasiswa Indonesia yang akan menimba ilmunya di Negeri Piramida ini. Dua belas tahun berada di Mesir dan kedekatannya dengan Syekh Al-Azhar, Ahmad At-Thoyyib, memberikan kesempatan yang luas kepada Cecep untuk tetap melanjutkan studi S3-nya di Mesir dengan mengambil konsentrasi yang sama, yaitu ilmu aqidah dan filsafat. Lulusan Master Universitas Al-Azhar yang diperolehnya pada 2010 ini, pernah mendampingi Grand Syekh Al-Azhar selama berkunjung ke Indonesia pada 2016 tahun lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Membaca buku “Menuju Kiblat Ilmu” yang ditulis oleh Buya CT, seakan membayangkan, bagaimana sebuah mimpi yang harus mewujud dalam sebuah kenyataan. Mimpi tentu saja tidak sebatas “bunga tidur” yang ketika terbangun lalu hilang tanpa mendapatkan apapun. Buku yang terdiri dari lima bab ini, mengungkap secara apik, perjalanan mimpi Cecep yang kemudian menjadi kenyataan, selama dirinya menempuh pendidikan di Univesitas Al-Azhar. Buku “Menuju Kiblat Ilmu” yang ditulisnya ini, memang menyajikan sebuah pengalaman yang sangat utuh dan berkesan, dari mulai soal bagaimana kiat-kiat bisa kuliah di Mesir, yang tentu saja dimulai sejak pemenuhan kebutuhan akan informasinya, tahapan seleksi yang diatur oleh Kementrian Agama, hingga sampai kelulusannya menuju Al-Azhar dan cara bergaul sehari-hari dengan mahasiswa Mesir. Cecep memastikan—melalui wawancaranya lewat aplikasi Whatsapp—bahwa sudah seharusnya belajar ke Al-Azhar tidak melalui jalur pencaloan yang justru saat ini marak, tetapi melalui jalur resmi yang telah diakui pemerintah.

Tak luput, Buya CT dalam bukunya melakukan otokritik terhadap banyak tradisi kurang baik para “Masisir” (Mahasiswa Indonesia di Mesir) yang tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya ketika melakukan studi disana. Buya menyesalkan, bahwa masih banyak 'Masisir' yang bahkan ada beberapa mahasiswa Indonesia yang menyelesaikan studi S1-nya lebih dari 8 tahun.

Banyak yang menarik dari pengalaman Cecep yang ditulis dalam bukunya ini, terutama cerita dirinya berhadapan dengan beberapa profesor Al-Azhar disaat ujian tesisnya yang menyoal penamaan “cecep” yang sungguh menyulitkan lidah mereka. Dalam laman badanbahasa.kemendikbud.go.id, percakapan ini justru diabadikan, mengingat Buya CT-lah sebenarnya yang membantu KBRI Cairo sebagai peletak utama bagaimana agar Bahasa Indonesia kemudian dijadikan mata kuliah pilihan yang akan dimasukkan dalam fakultas Bahasa dan Terjemah di Al-Azhar, Cairo. Dalam argumentasinya, Buya CT menjelaskan bahwa nama “cecep” terkait erat dengan dialek bahasa daerah di Indonesia yang kental nuansa “sunda”nya. Beragam banyak dialek kebahasaan dan bahasa daerah, tak membuat masyarakat Indonesia kesulitan berkomunikasi, karena ada bahasa pemersatu yang independen, yaitu bahasa Indonesia.

Buku yang diberi judul, “Menuju Kiblat Ilmu” ini memang sengaja didedikasikan Buya CT semata-mata bagi perkembangan keilmuan di tanah air, melalui sekelumit pengalamannya yang ia dapatkan selama di Mesir. Yang bagi saya sangat mengejutkan, dirinya mengaku bahwa misi menulis bukunya semata-mata tak berkait dengan urusan bisnis dan keuntungan. Keinginan dirinya bersama para alumni Universitas Al-Azhar untuk membuat lembaga pendidikan di Indonesia, diawali melalui penyebaran buku ini yang tidak dijual bebas di toko-toko buku. Buya CT mengaku, selama ini ia dan beberapa alumni Mesir, menjual buku ini secara online dan bekerja sama dengan beberapa koperasi pondok pesantren yang sebagian kecil keuntungannya dialokasikan untuk membangun lembaga pendidikan independen itu. “Penjualan buku ini ibarat wakaf, jika seseorang membeli buku ini boleh seharga Rp 75 ribu, atau boleh seharga Rp 175 ribu maka si pembeli sudah berwakaf untuk 1 meter2 tanah bagi pesantren dan free sebuah buku dari penulis,” demikian ungkap Buya CT.

Buku ini diterbitkan atas kerjasama Yayasan Misykat Rabbaniyah Jawa Barat dengan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) cabang Indonesia, dengan tujuan sangat mulia, mengembangkan pendidikan Islam modern di Indonesia yang saat ini sedang direncanakan pembangunannya di wilayah Jawa Barat. Sebagai bagian dari penggalangan dana, Buya CT mengaku sudah menjalin kerjasama dengan mahasiswa Asia lainnya, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, agar tentu saja tertarik dengan pengalaman dirinya yang tertuang dalam buku ini sebagai pengalaman berharga yang dapat dijadikan bahan masukkan bagi pihak lain yang hendak belajar menuju Al-Azhar. Mimpi besar Buya CT nampaknya semakin mewujud didepan mata, karena bukunya saat ini sudah mulai ramai dibahas, bahkan diangkat menjadi cerita inspiratif yang ditayangkan beberapa stasiun televisi swasta Mesir, salah satunya TV Qanet el-Nill Culture. Bahkan, sudah ada beberapa lembaga pesantren di Indonesia akan mengundang secara khusus Buya CT untuk berbagi pengalamannya selama di Al-Azhar. Tahun 2018, kemungkinan besar Buya CT akan muhibbah keliling Indonesia, dari pesantren ke pesantren untuk menularkan pengalaman keilmuannya selama 12 tahun dirinya bergelut dengan kajian-kajian keislaman di Universitas Al-Azhar, Cairo. Selamat Buya, semoga ilmunya selalu membawa manfaat!

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler