x

Iklan

Wahyu Dhyatmika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Peran Media Digital di Era Hoaks dan Disinformasi

Lima tahun terakhir ditandai dengan gelombang revolusi digital yang melanda nyaris semua aspek kehidupan kita, termasuk media dan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

LIMA tahun terakhir ditandai dengan gelombang revolusi digital yang melanda nyaris semua aspek kehidupan kita, termasuk media dan politik. Hari-hari ini, peran media arus utama (mainstream) dalam lansekap politik nasional misalnya, tak sedominan sebelumnya. Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2014 sebenarnya sudah memberikan sinyal, yang belakangan terus menguat, tentang makin berpengaruhnya media sosial dan para pencipta konten viral alias buzzer dalam membentuk opini publik. Inilah salahsatu perubahan mendasar yang dibawa oleh teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari warga.

 

Kini, setahun menjelang perhelatan politik akbar berikutnya, sudah seharusnya kita mengkaji kembali segala aspek dari ekosistem politik kita dewasa ini. Aspek yang sudah positif tentu perlu didorong dan dikuatkan, sementara yang miring perlu diluruskan. Ikhtiar ini penting agar proses  pendalaman nilai demokrasi dalam kehidupan khalayak ramai terus berlangsung untuk kemashalatan bersama.   

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tren penurunan pengaruh media arus utama ini bukan hal mengejutkan. Executive Chairman Google Eric Schmidt dan Direktur Google Ideas Jared Cohen dalam buku mereka 'The New Digital Age' (2013) menulis bahwa "Sangat jelas bahwa media arus utama akan selalu ketinggalan satu langkah dalam memberitakan peristiwa (di era digital ini--). Breaking news akan terus terjadi dari platform seperti Twitter, sebuah jejaring terbuka yang mendorong perilaku berbagi informasi secara seketika, massal dan murah." Dengan kata lain, fenomena ini bisa dibilang tak terbendung.

 

Di tengah arus perubahan cepat ini, justru peran individu yang akan semakin besar. Semua orang tanpa terkecuali sekarang memiliki akses pada sebuah platform untuk bersuara: media sosial. Pendapat, keresahan, keberpihakan, kegembiraan, sudut pandang, bisa diekspresikan oleh siapa saja dengan terbuka. Siapapun yang membaca, jika setuju dan menyukainya --atau menolak dan membencinya-- bisa merespon seketika itu juga.

 

Penulis dan jurnalis Emily Parker dalam bukunya ‘Now I Know Who My Comrades Are: Voices From The Internet Underground’ (2014) menulis bahwa kini, “berkat Internet, warga negara biasa menemukan suara mereka. Kebersamaan (collective whole) tak lagi didahulukan di atas hak individu. Mereka menemukan kamerad mereka, dan mereka kini melawan balik.”      

 

Akibatnya, tak terhindarkan memang: percakapan publik sontak jadi riuh, dinamis, gegap gempita, dan kadangkala tak karuan. Hiruk pikuk makin kuat terjadi pada situasi terbelah rata, ketika ada dua kubu sama kuat yang sama-sama bersikeras pada versi kebenarannya. Dua pihak itu umumnya meyakini kebenaran posisinya dan menafikan apapun yang disampaikan lawannya. Pada satu titik, akan terjadi perang propaganda yang sistematis untuk saling menjatuhkan. Di sinilah, wabah hoaks dan disinformasi mulai meluas.  

 

Yang memprihatinkan, platform media sosial kita umumnya tak siap menghadapi situasi konflik diametral semacam itu. Seperti yang kita saksikan pada saat referendum tentang Uni Eropa di Inggris Raya dan pemilihan presiden Amerika Serikat akhir 2016 lalu, media sosial tak berusaha memberikan tanda untuk konten yang berpotensi keliru dan bohong. Walhasil, algoritma mereka tetap mendorong penyebaran konten-konten itu semakin luas, terutama di antara orang-orang yang cenderung berpikiran sama. Perbedaan pun menajam, polarisasi menguat, kebencian antar kubu berbeda mencapai titik kulminasi. Situasi ini amat berbahaya untuk demokrasi.

 

Dalam atmosfer semacam itu, seharusnya ada pihak yang mengambil peran sebagai wasit. Wajar jika kemudian publik berharap pada media arus utama. Sesuai tradisi jurnalisme yang mengakar lama, redaksi media massa diharapkan melakukan fungsinya memverifikasi dan mengkonfirmasi informasi. Karena hanya informasi yang diperiksa berkali-kali yang bisa dipublikasikan lewat media massa, sudah sewajarnya dia menjadi rujukan. Ketika ada dua keping informasi yang bertolak belakang mengenai satu peristiwa yang sama, khalayak serta merta berpaling pada media arus utama.

 

Sayangnya kebanyakkan media gagap menjalankan peran ini. Tak sedikit media yang sudah melupakan esensi keberadaannya sebagai clearing house of information dan puas menjadi agregator cerita-cerita populer di dunia online. Mereka meninggalkan fungsi penyaring (filter) dan seleksi informasi yang tadinya dibanggakan sebagai senjata bagi jurnalis untuk membentuk realitas yang dipahami pembacanya. Sebutan media sebagai penjaga gerbang (gate-keeper) informasi kini tak lagi bermakna.

 

Tak bisa dipungkiri jurnalisme memang sedang mengalami krisis identitas. Revolusi digital mengobrak-abrik persepsi publik tentang proses penggalian dan penyampaian informasi yang tadinya dikenal sebagai jurnalisme. Siapapun kini bisa menjadi reporter atau pelapor, cukup berbekal kamera di telepon pintar. Siapapun kini bisa menjadi komentator, cukup dengan menulis blog di dunia maya. Gempuran teknologi digital juga mengguncang model bisnis industri media, hingga ia tak lagi bisa mengandalkan pemasukan dari iklan dan sirkulasi. Ini membuat media arus utama megap-megap dan mengerahkan segala daya upaya hanya sekadar untuk bertahan hidup.

 

Dalam situasi pelik seperti itu, media tak punya pilihan selain melakukan reorientasi nilai dan visi. Wartawan perlu menyadari bahwa ekosistem informasi di era digital sudah berubah dan mereka tak bisa lagi mengandalkan cara kerja tradisional untuk menjawab masalah seputar reliabilitas informasi di jaman kontemporer ini. 

 

Salahsatu opsi yang bisa dikaji adalah dengan menyerahkan pelaporan peristiwa (breaking news) pada platform berjejaring terbuka seperti Twitter, atau jejaring sosial yang dibuat programmer Indonesia, Sebangsa. Redaksi bisa mendorong warganet untuk menjadi reporter aktif sehingga tak ada satu pun peristiwa di sekeliling kita yang luput dari publikasi. Jurnalisme rakyat (citizen reporting) perlu diintensifkan agar berfungsi sebagai mata dan telinga khalayak ramai.

 

Di Afrika Selatan, model ini sudah dikembangkan oleh sebuah koran di sana, Daily Sun. Bekerjasama dengan lembaga non pemerintah, Code For Africa, mereka mengembangkan sebuah platform bernama GrassRoot. Lewat aplikasi dan situs web, publik bisa melaporkan apa masalah yang mereka hadapi, mengorganisasikan rapat dan protes, serta memantau berbagai kebijakan publik yang akan berdampak pada mereka.

 

Kalau skema jejaring pelaporan semacam itu sudah tercipta, maka media massa arus utama bisa fokus bekerja untuk memastikan bahwa semua informasi yang terpublikasi itu merupakan refleksi yang akurat dari realitas kita. Jadi, fungsi media bisa diarahkan tak lagi sebagai penyeleksi realitas, namun sebagai pemeriksa fakta dengan metode verifikasi jurnalistik.  Dengan demikian, perdebatan publik sepanas apapun, tak akan jadi racun bagi kehidupan demokrasi kita, selama dilakukan berdasarkan fakta.

 

Banyak contoh menunjukkan bagaimana tensi politik kita cenderung naik ketika hoaks dan disinformasi menyerang kredibilitas pihak seberang,  dengan julukan provokatif dan insinuasi yang kerap tak berdasarkan fakta. Semua imbas negatif itu bisa diredam jika media arus utama bisa berperan memilah fakta dari hoaks dan kabar bohong.  

 

Tak hanya itu. Keterampilan redaksi media massa dalam menganalisa dan memprediksi tren masa depan, berdasarkan kekayaan arsip yang mereka miliki soal peristiwa sejenis di masa lampau juga bisa menjadi kekuatan baru media di era digital. Ditambah lagi dengan makin mudahnya mengakses data digital di internet, pengembangan jurnalisme data menjadi kian relevan untuk masa depan media. Liputan berbasis data (data driven journalism) berpotensi membuat pembaca memahami gambar besar atau arah jangka panjang dari sebuah peristiwa.  Itulah pentingnya media memiliki kanal khusus yang didedikasikan untuk mempromosikan data terbuka.

 

Hanya dengan cara inilah, media arus utama bisa menjawab tantangan media sosial dan menjadi bagian integral dari ekosistem baru media digital.  Selain itu, menyediakan fungsi periksa fakta (fact-checking) juga tak kalah penting. Dengan fungsi itu, pembaca yang bingung akan punya rujukan untuk mencari kebenaran ketika hoaks merajalela di mana-mana. Keberadaan fitur periksa data akan membawa media konvensional ke area layanan informasi baru yang selama ini belum dirambah dan justru amat dibutuhkan publik.

 

Puncaknya, redaksi media harus terjun ke wilayah yang tak bisa dimasuki sembarang jurnalis warga atau blogger, yakni: jurnalisme investigasi.  Mengekspos skandal dan pelanggaran yang tersembunyi akan tetap menjadi fungsi jurnalis dan media yang tak tergantikan.

 

Tentunya reorientasi visi dan nilai media arus utama semata, tak akan berhasil mensanitasi percakapan publik kita dari hoaks dan disinformasi jika tak ada perubahan mendasar dari algoritma media sosial sendiri. Status, meme, posting dan keping informasi apapun di media sosial perlu diberi penanda yang memadai agar pengguna memahami kualitas fakta yang menjadi dasarnya. Tanpa itu, khalayak akan mudah disesatkan oleh upaya terorganisir untuk menyebarkan keresahan dan kebencian. Syukurlah belakangan ini kita mulai melihat inisiatif inovatif dari Facebook dan Google untuk menggandeng penerbit media (publishers) untuk bersama-sama memerangi hoaks.  

 

Akhirnya, harus disadari bahwa media adalah bagian tak terpisahkan dari publik. Berkualitas tidaknya informasi yang disajikan media, atau baik tidaknya fungsi kurasi dan seleksi yang dilakukan media, amat bergantung pada derajat literasi media khalayak yang dilayaninya. Jika jutaan pembaca memilih untuk membaca informasi sampah, tentu informasi sampah pula yang bakal mendominasi ruang publik kita.

 

Sebaliknya, jika publik hanya mengakses berita dari media yang kredibel, bahkan bersedia menjadi pelanggan digital untuk membiayai operasional media itu, maka sebagian besar masalah kita sudah terpecahkan.  Hidup mati media sejatinya memang tergantung di ujung jempol kita semua ketika kita mengakses internet di telepon genggam masing-masing.  (*)

 

 

Ikuti tulisan menarik Wahyu Dhyatmika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler