x

Iklan

Tatang Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tersenyumlah di Alam Sana Ajengan

“Jang bejana ayeuna teh PKI geus rame ek bangkit deui, lamun PKI bangket deui, bapak mah kajeun perang.” itulah perkataan engkau yang akan selalu ku ingat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tersenyumlah Di Alam Sana Ajengan

Oleh : Tatang Hidayat*)

            Pagi yang kurasakan tidak akan sama seperti pagi yang telah berlalu, tidak akan ada lagi suara yang selalu menemaniku di pagi-pagi buta, suara tersebut seakan mempunyai pesan kepadaku untuk segera bergegas mengangkat selimut yang begitu nikmat menemani malamku. Tidak akan ada lagi suara khas lantunan salam, do’a setelah tidur, kalimat thoyyibah, dan lantunan ayat suci al-Qur`an melalui pengeras suara dari masjid yang selalu menemaniku di waktu shubuh.

Waktu sahur yang akan datang akan berbeda dengan waktu sahur yang telah berlalu, tidak akan ada lagi sosok yang selalu mengingatkanku melalui pengeras suara dari masjid untuk segera melaksanakan makan sahur, baik untuk shaum ramadhan maupun shaum sunnah.

Tidak akan ada lagi suara khas melalui pengeras suara dari masjid yang mengingatkanku untuk segera melaksanakan shalat tahajud. Begitupun mengingatkanku untuk berhenti makan dan minum karena waktu imsyak telah tiba. Semua itu akan tinggal kenangan yang tak akan pernah terlupakan, kenangan yang begitu mengesankan di waktu pagi, saat orang-orang masih terlelap dalam tidur panjangnya, namun ia dengan suaranya seakan memecahkan kesunyian di pagi hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tepat Ba’da Dzuhur pada hari Senin, 20 November 2017 diriku mendapatkan kabar yang sontak membuat mata ini berkaca-kaca, sosok yang selalu menemaniku di pagi hari dan menjadi inspirasi tersebut di panggil terlebih dulu oleh Sang Pencipta. Sosok yang melegenda di pagi hari  tersebut sangat dicintai oleh Sang Pencipta, sehingga Sang Pencipta ingin segera bertemu dengannya.

Setiap jam 3 shubuh dengan istiqomahnya beliau selalu pergi ke Masjid yang dicintainya, dan beliau mulai melantunkan kalimat-kalimat thoyyibah seakan memecahkan kesunyian di waktu shubuh, kemudian sesekali sosok tersebut  melantunkan ayat suci al-Qur`an dengan memakai pengeras suara, dengan tujuan untuk membangunkan masyarakat untuk melaksanakan shalat malam, tak jarang beliau juga yang adzan dan memimpin shalat shubuh berjama’ah.

Setelah memimpin shalat shubuh berjama’ah, tak ketinggalan sosok tersebut melanjutkan pengabdiannya sebagai pelayan ilmu untuk mengajarkan ilmu agama, karena santri-santrinya sudah menunggu di madrasah. Sejak aku kecil sampai saat ini, aktivitas tersebut masih beliau jalani dengan ikhlas.

Pernah sesekali diriku menemani beliau pulang selepas ta’lim kitab safinnatun naja karya Syaikh Salim al-Hadhrami, dan memang beliau ahlinya dalam bidang fiqh. Di sepanjang  perjalanan, aku sangat terkagum dengan beliau, bayangkan seorang ulama sepuh dengan tongkat yang menyertainya sebagai pengiring jalan masih semangat dalam mendidik santrinya, sesekali diriku bertanya kepada beliau mengenai suka dukanya mendidik.

Diriku melihat begitu ikhlasnya beliau mengajar meskipun usianya sudah sepuh dan tongkat yang menyertainya sebagai pengiring jalan ditambah sering sakit-sakitan, penulis yakin tidak ada niatan dari beliau mengajar karena tujuannya materi, karena kehidupan di kampung, jangankan untuk membiayai pendidikan yang mahal, untuk bisa makan sehari-haripun sudah bersyukur.

Meskipun usianya sudah sepuh, semangat beliau tidak kalah dengan para pemuda yang usianya jauh berbeda dengan beliau. Itu terlihat ketika suatu waktu, sehabis shalat Ashar berjama’ah, sengaja diriku tidak keluar duluan dari masjid, tetapi aku menunggu sampai beliau keluar masjid terlebih dahulu, tetapi beliau tetap duduk di tempat shalatnya. Tidak lama kemudian beliau bercerita, dan tentu diriku mendengarkan cerita beliau, sesekali diriku bertanya kepada beliau mengenai perjuangannya dalam mencari ilmu ketika masa beliau muda.

Diriku begitu sangat terkagum-kagum dengan semangat dan perjuangan beliau dalam mencari ilmu. Dalam obrolan tersebut, ada salah satu pernyataan yang tidak akan aku lupakan tentang semangat beliau dalam mengobarkan Ruhul Jihad, secara tidak langsung beliau telah menanamkan nilai-nilai Ruhul Jihad kepada diriku.

Beliau mengatakan suatu pernyataan dalam bahasa sunda “Jang bejana ayeuna teh PKI geus rame ek bangkit deui, lamun  PKI bangket deui, bapak mah kajeun perang.” Dalam dalam bahasa Indonesia berbunyi “Jang, katanya sekarang itu PKI sudah ramai mau bangkit lagi, kalau PKI mau bangkit lagi, bagi bapak lebih baik berperang.” katanya.

Sontak saja diriku tidak bisa berkata apa-apa, hanya terdiam dan malu dengan diri ini. Apakah kamu terbayang perkataan tersebut keluar dari seorang ulama sepuh dan tongkat menyertainya sebagai pengiring jalan. Bagaimana dengan kita yang masih muda? Apakah Ruhul Jihad dan Ghirah Islamiyyah itu masih ada?

Secara logika jika benar beliau lebih baik berperang, dengan usia yang sudah sepuh dan tongkat yang menyertainya untuk pengiring jalan, tentunya tenaga dan fisik beliau tidak akan sekuat anak muda, namun tanpa disadari ternyata beliau sedang mengajarkan penanaman nilai-nilai Ruhul Jihad dalam membela agama ini. Usiaku masih muda daripada beliau, tetapi diriku merasa masih pengecut dalam membela agama ini.

Tersenyumlah di alam sana Ajengan, engkau akan selalu hidup di setiap nafasku, namamu tak akan terganti wahai sosok inspirasiku Ajengan KH. Omo Muchtar. Pesantren Miftahul Huda Nurul Qomar Tasikmalaya akan menjadi monumen sejarah akan perjuanganmu.

Aku pasti akan merindukan masa masa indah menjadi santrimu, menemanimu ketika pulang selepas ta'lim, mendengarkan kisah perjuanganmu selama hidup dan akan selalu merindukan saat-saat berdiskusi denganmu setelah shalat berjama'ah.

Penanam nilai-nilai Ruhul Jihad yang telah engkau tanamkan dalam sebuah pernyataan “Jang bejana ayeuna teh PKI geus rame ek bangkit deui, lamun  PKI bangket deui, bapak mah kajeun perang.” itulah perkataan engkau yang akan selalu ku ingat.

Tersenyumlah di alam sana Ajengan. Engkau di panggil terlebih dahulu karena Sang Pencipta begitu menyayangimu. Di dunia ini tidak ada yang abadi, suatu saat pasti aku selaku santrimu akan menyusul ke alam sana.

Datang akan pergi, lewat kan berlalu, ada kan tiada, bertemu akan berpisah. Awal kan berakhir, terbit kan tenggelam, pasang akan surut, bertemu akan berpisah. Wahai Ajengan sampai jumpa dilain hari, untuk kita bertemu lagi, kurelakan dirimu pergi. Meskipun, ku tak siap untuk merindu, ku tak siap tanpa dirimu, ku harap terbaik untukmu []

*) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia 

Ikuti tulisan menarik Tatang Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu