x

Iklan

meita Eryanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perayaan Itu Bernama Lomba Video Konsultasi Antibiotika

Antibiotic Awareness Week dirayakan setiap tahun pada bulan November. Tahun ini IAI mengadakan lomba video untuk merayakannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku melihat tautan video dari youtube di status seorang teman yang berprofesi sebagai apoteker ketika aku sedang menjelajahi lini masa facebook. Video itu menampilkan seorang apoteker yang sedang memberi edukasi tentang penggunaan antibiotika pada pasien.

“Dia jadi dosen juga, trus ini bahan ajarnya kali yah?” tanyaku dalam hati.

Namun saat aku membaca komentar-komentar yang masuk di statusnya, taulah aku ternyata dia sedang mengikuti lomba membuat video konsultasi obat yang diadakan oleh IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) berkerjasama dengan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam rangka Antibiotic awareness week.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Katakanlah aku lagi sinis, tapi apa coba faedah dari lomba bikin video ini? Maksudnya biar orang-orang bisa membandingkan mana apoteker yang bagus dan yang tidak? Lagipula, melayani konsultasi adalah kewajiban apoteker. Masak sih perlu dilombakan seperti cerdas cermatnya anak-anak sekolah?

Aku sempat melihat beberapa video peserta lomba yang diunggah ke YouTube. Ada sebuah video yang berlatar di sebuah rumah sakit, apoteker menjelaskan pemakaian antibiotika di ruang konsultasi. Bertanya basa-basi dengan pasien dan menjelaskan 2 macam obat dengan detail sampai ke cara pembuangan obat itu.

Aku pernah bekerja sebagai apoteker rumah sakit, dan gaya penjelasan seperti itu sangat jarang bisa dilakukan. Di rumah sakit, resep obat yang masuk instalasi farmasi bisa ratusan bahkan ribuan sehari. Yang mendapatkan antibiotik? Lebih dari 50%. Aku menghadapi pasien yang mengantri sejak dia masuk parkiran, mengantri saat pendaftaran, mengantri saat mau diperiksa oleh dokter, mengantri untuk pembayaran, dan mengantri untuk mendapatkan obat sehingga kalau terlalu lama memberikan informasi obat dia bakal marah karena sudah terlalu lelah. Kalau pasiennya nyaman dengan pemberian informasi obat yang bertele-tele, pasien lain yang akan marah karena dia jadi lebih lama menunggu.

Ada juga video yang berlatar di apotek. Dalam video itu pasien ingin membeli antibiotika. Bukannya dapat obat yang diinginkan, pasien mendapat penjelasan tentang obat antibiotika yang seharusnya tidak dibeli tanpa resep dokter, tentang cara penggunaan obat antibiotika yang seharusnya, dan apa akibat dari penggunaan antibiotika yang tidak tepat. Si pasien menerima masukan itu dan tidak jadi membeli antibiotikanya.

Seorang temanku yang menjadi penanggung jawab di apotek pernah dihina oleh pasien karena dia tidak mau menjual antibiotika pada pasien yang tidak menyerahkan resep dari dokter.

“Alah, sok banget, kamu dapet gaji juga hasil dari jualan obat-obat ini kan?” kata pasiennya. “Di apotek sana aja aku biasa beli antibiotika. Gak ada tuh ditanya-tanya mana resepnya.”

Menurutku, bila mau membatasi penggunaan antibiotika, buat saja peraturan yang tegas. Perlakukan antibiotika seperti psikotropika atau narkotika yang jelas aturan dan sangsinya. Pembelian obat antibiotika harus dengan resep dokter. Apotek wajib membuat laporan tentang pembelian dan penjualan antibiotika. Bila ada penjualan antibiotika tanpa resep dokter, berarti apoteknya harus kena sangsi.

Yang lebih lucu lagi, video yang menampilkan sepasang suami istri. Sang istri adalah apoteker. Dalam adegan itu, Sang istri mengenakan jas apoteker. Po yo ono sih, apoteker yang sedang leyeh-leyeh di rumah mengenakan jas apoteker? Suaminya mengalami sakit perut karena diare, ceritanya. Sang suami lalu mencari obat antibiotika untuk meredakan diarenya. Alih-alih mendapat obat yang dia cari, Sang suami malah mendapat ceramah tentang penggunaan obat yang bijak. Di akhir cerita Sang istri berkata, “Udah sana minum obat apa kek, gak perlu antibiotik ya...”

Kalau yang jadi Sang suami adalah suamiku, dia tidak akan pasrah begitu saja. Suamiku akan menjawab, “Ya obat apa yang harus diminum? Kamu nglarang-nglarang gak ngasih solusi sih?”

Ya kalo tidak mau nyebut merek obat mbok bilang, “Ini aja nih diminum, nanti kalo gak sembuh tak anter ke dokter.”

Atau kalau obatnya tidak ada di kotak obat, bilang, “Sebentar aku beliin obatnya di apotek depan ya?”

Atau...

Kok jadi gue ngatur-ngatur ya?

Seorang teman apoteker kemarin mengunggah status di facebook, “Byk yg update tentang bahaya resistensi antibiotik. Ada jg yg selfie dgn berbagai macam gaya dengan ajakan bijak menggunakan antibiotik. Kmrn berkunjung ke 3 fasilitas kesehatan, coba beli antibiotik *******. Yg ditanya bukan gejala ataupun pemberian edukasi.. Yg ditny itu mau berapa? Ditanya balik, bs beli 1 biji? Ya bisa!!! Apa gunanya kata2 dan posting foto dimana2 kalo prakteknya nol. Seminar sana sini hanya utk memperoleh SKP. Banyak apoteker yg curhat disini. Dr yg muda sampai senior. Mempertanyakan relevansi antara teori dan praktek.#hanyasekedarsharing #selamatpagi

Begitupun yang aku lihat dari lomba ini. Belum terasa tindakan nyata untuk menggunakan antibiotika secara bijaksana. Semuanya, masih sekedar perayaan semata. 

Ikuti tulisan menarik meita Eryanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu