x

Seorang pengikut aliran kepercayaan Umbanda membawa persembahan untuk Dewi Yemanja di Pantai Copacabana, Rio de Janeiro, Brasil, 30 Desember 2015. Para pengikut aliran ini melarung sesaji untuk bersyukur dan meminta berkat untuk tahun baru mendatang.

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setitik Pencerahan Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Lalu apakah kita pernah mendengar aliran kepercayaan mengamuk dan meneror kaum beragama?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penghayat kepercayaan atau bisa disebut agama asli Nusantara tengah mendapat setitik  pencerahan dengan diijinkannya  mereka mencantumkannya “Aliran Kepercayaan”di kolom agama KTP. Sudah lama mereka mendamba agar penghayat kepercayaan itu diakui negara. Entah kenapa agama “negara” seperti keberatan jika mereka diakui sebagai bagian dari masyarakat beragama. Yang diakui di Indonesia sebagai agama adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu Budha dan Kong Hu Tju, Padahal penghayat kepercayaan itu sudah ada sejak sebelum  agama-agama itu hadir di Nusantara. Begitu angkuhkah agama sehingga  tidak menganggap Penghayat kepercayaan sebagai bagian dari kehidupan religi masyarakat.

Sunda Wiwitan, Kejawen dianggap bukan agama, keberadaaanya hanya dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Apakah dengan tidak memiliki Figur besar  seperti nabi terus tidak dianggap sebagai agama? Penulis sebetulnya tidak hendak meruncingkan perbedaan atau sengaja membenturkan antara agama-agama resmi dengan aliran kepercayaan, tapi pada kenyataannya mereka menjalankan kepercayaannya dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa  dengan falsafah – falsafah yang tertanam kuat dalam diri mereka. Baduy misalnya mempunyai keterikatan kuat terhadap masa lalu dan tidak ingin tergerus zaman dengan mengorbankan kepercayaan yang telah dipegang teguh turun temurun. Dengan kekuatan kepercayaan mereka hutan-hutan seputar tempat tinggalnya tetap lestari karena mereka menerapkan keharmonisan antara ciptaan Tuhan yaitu alam, manusia dan hewan yang menciptakan alam semesta. Baduy tidak membabat habis hutannya hanya untuk menerapkan aji mumpung, atau sekedar ingin memperkaya diri dengan mengorbankan alam semesta. Tidak perlu tinggi-tinggi mempelajari doktrin-doktrin agama tetapi apa yang mereka lakukan, mereka kerjakan sama antara tingkah laku dan perkataan dan perbuatan.

Sebagai introspeksi kita yang beragama kadang-kadang sering berantem untuk saling mempertentangkan  ideologi agama masing-masing. Semuanya mengklaim agama yang terberkati, Jika mengikut agamanya tentu akan masuk surga. Apakah agama itu menjadi obyek perlombaan keimanan?Lalu dengan munculnya permusuhan antar agama datanglah kata yang sangat menakutkan akhir-akhir ini yaitu terorisme, teror . Teror merunut dari asal katanya dari bahasa Latin Terrere: menimbulkan getaran, termasuk getaran ketakutan manusia beragama yang terjangkiti trauma terorisme yang  telah meminta korban jutaan orang di seluruh dunia. Di Indonesia teror dan terorisme juga menjadi momok menakutkan, semuanya berasal dari agama resmi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu apakah kita pernah mendengar aliran kepercayaan mengamuk dan meneror kaum beragama?Penulis belum pernah mendengar. Bedakan penganut aliran kepercayaan dengan atheisme? Aliran Kepercayaan tetap mempercayai keberadaan Tuhan. Mereka menghargai alam sebagai bagian dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Coba simak filsafat jawa berikut: Nora Ngandel marang gaibing Hyang Agung, anggelar sakalir-kali, kalamun temu-tinemu, kabegjan anekani, kamurahaning Hyang Manon. Anuhoni kabeh kang duwe panyuwun yen temen-temen sayekti Allah aparing pitulung, nora kurang sandhang bukti, saciptanira kalakon (Tidak percaya kepada rahasia Tuna Hyang Maha Agung, (yang) membentangkan segala-galanya(dibumi dan langit),bilamana bersungguh-sungguh(cita-cita tentulah)tercapai kebahagiaan tiba(ialah) kemurahan Tuhan Maha tahu. Tuhan menepati (janji – Nya) kepada semua yang mempunyai permohonan, jika bersungguh sungguh tentulah Allah memberikan pertolongan(sehingga dia) tidak kekurangan sandang pangan, semua yang dicita-citakan (dapat) terkabul. Sumber buku;Agama Ageming  Aji(menelisik akar spiritualisme Jawa)Penulis Asti Musman. Frans Magnis Suseno(1991) mengungkapkan orang Jawa tradisional  dikenal memiliki rasa halus (alus). Dalam kepercayaan Jawa dikenal juga falsafah penuh mistik yaitu jumbuhing kawula lan gusti, manunggaling kawula lan Gusti, warangka manjing curiga. Ungkapan ungkapan itu memiliki perlambang khusus (simbolis). Warangka manjing curiga itu sebutlah istilah keris, akan lebih lengkap jika keris bersatu dengan warangka (atau bajunya, wadahnya).

Jika Seorang ulama menganggap dengan diakuinya aliran kepercayaan sebagai agama berarti Indonesia kembali ke zaman batu, patut dipertanyakan kadar Keindonesiaannya. Biasanya mereka (Kyai, Pemimpin agama, Pendeta) yang berilmu tinggi tentu mempunyai falsafah padi semakin berilmu semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu tentu semakin halus budi bahasanya.  Biarkan Aliran kepercayaan menemukan ruh kepercayaannya. Penulis yakin mereka akan menjaga alam semesta , kerukunan, kedamaian dengan falsafah turun temurun yang terbukti bisa menjaga harmoni  alam dari serbuan ideologi modern yang membabat alam membabi buta.

Penulis tak hendak menggurui pembaca namun baik juga nasihat bijak berikut ini. Pitutur iku sayektine apantes tiniru, nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes siro anggo(serat wulangreh Gambuh) terjemahan bebasnya kurang lebih Nasihat baik itu, sesungguhnya pantas untuk ditiru, walaupun nasihat itu berawal dari orang biasa, jika baik isi ajarannya, itu sangat baik jika kamu pakai.(referensi dari buku karangan Asti Musman ;Pitutur Luhur Jawa, ajaran hidup dalam serat Jawa).

 

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler