x

Iklan

Febrian Damian

Generasi Milenial, aktif menulis literasi media
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bayang-bayang Ber (ingin)

Masyakat sangat memahami psikologi kader Golkar, yang menginginkan agar Setya Novanto secepatnya diganti

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini ingin merawat kembali memori kita pasca Golkar diterpa bencana dualisme kepemimpinan waktu itu. Hentakan yang sama saat Ketua Umum Golkar, Setya Novanto dijadikan tersangka oleh KPK. Tulisan ini sebuah resume ulang yang pernah saya gambarkan saat dualisme kepemimpinan Golkar, salah satu portal online (baca https://www.qureta.com/post/golkar-tercabut-dari-ontologi-demokrasi ). Dan saya menyadari untuk menguliti kembali tulisan itu sebagai bahan refleksi bersama terutama Golkar, agar tidak terajadi bentuan yang hebat baik saat penetapan Plt Ketua Umum maupun saat Munaslb nantinya.

Masyakat sangat memahami psikologi kader Golkar, yang menginginkan agar Setya Novanto secepatnya diganti. Dan perdebatan pengangkatan Plt Ketua Umum dan Munaslub pun kian khidmad kita lihat. Masyarakat sangat memahami itu, dan menginginkan agar Golkar tetap solid dan tidak ada friksi yang membuat kegaduhan

Partai berlambang pohon Beringin, sudah mendeklarisikan diri mendukung Jokowi, maju dalam Pilpres 2019 mendatang. Hal tersebut disampaikan secara resmi, saat Rakornis Partai Golkar di Menara Panonsoli, Slipi Jakarta, Wilayah Indonesia 1 meliputi, Pulau Sumatera dan Jawa. Golkar pun kian memperlihatkan strateginya di dengan publik bahwa politik itu, seni merebut kekuasaan. Meskipun, "kekuasaan itu bukan dalam ingatan".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Politik tanpa konsistensi sikap tidak akan mampu membangun demokrasi yang kukuh. Model politik demikian adalah ungkapan kedangkalan berdemokrasi, politik yang sumir, lahan subur fragmatisme dan oportunisme. Dari "taman", bangunan politik dan pohon sosial demokrasi demikian akan sulit menghasilkan buah yang matang yang mampu mensejahterakan sebagian besar rakyat, secara lengkap dan utuh.

Partai politik demikian lebih kurang sebagai sebagai bangunan sosial atomistik, kerumunan kepentingan pribadi dan kelompok, materialisme dialektis. Juga tidak memadai sebagai komunitas politik dan alamat demokrasi transendental, Pancasilais.

Jika pola partai politik melalu horizontal-materialistik, maka sesungguhnya semangat politik demikian adalah jalan yang rawan kecelakaan demokrasi. Untuk itu, rakyat harus memiliki ketampanan kritisisme yang resolut, senjata makan tuan.

Bukan oposisi yang semu, tidak juga antagonisme bermental algojo demokrasi dan, tentu saja tidak menjadi penyumbang akrobatik politik demi keuntungan ekonomis atau politis pribadi atau kelompoknya.

Bagaimana kabar Partai Golkar pasca Munaslub di Bali, 14-17 Mei yang lalu? Apakah partai berlambang Pohon Beringin itu telah menampilkan para fungsional-fungsional, "pekerja-pekerja" (baca para politisi Golkar) yang sungguh berkeringat, banting tulang dan mengalami aneka fluktuasi "harga politik" (baca dinamika politik nasional) tatkala menuju Munaslub? Atau "Palu Sidang Terlempar dari Forum" (baca Munaslub ditentukan di luar forum) Munaslub?

Jika "palu sidang terlempar dari ruang Munaslub", bukankah forum tertinggi Golkar itu sebagai ungkapan formalisme demokrasi? Pertanyaan "Litanistik" ini muncul dari sebuah refleksi sumir, sebab tidak ada kesan yang mendasar di pihak Golkar yang dengan gagah berani mendukung Pemerintahan Jokowi-JK, sementara Golkar adalah bagian dari palang penghalang gapura utama bagi Jokowi-JK pada masa Pilpres, bukan? Atas fakta politik ini, Golkar mungkin melegitimasi diri dengan berkata, "politik itu betapa dinamis, dan perubahan posisi politik Golkar ini juga demi bangsa dan negara."

Pasa Golkar di dalam KMP juga bukan demi bangsa dan negara? Atau Golkar tidak melakukan kajian politik sebelum Pilpres? Atau Partai Golkar tidak peduli dengan etika politik karena yang terpenting adalah Golkar memperoleh kenyamanan dan keuntungan politik? Dan bila tidak menguntungkan lagi, kapan saja boleh pindah "kontrakan" (baca mitra atau kolegia politik)?

Manusia, komunitas sosial, organisasi seperti Partai Politik di Negara Pancasila haruslah merupakan ekspresi ontologis atas para Pahlawan Bangsa dan Negara. Ekspresi ontologis parpol itu juga tidak hanya bergema di audio sosial, memikat visual khalayak rakyat.

Tetapi juga harus sebagai ungkapan solidaritas kepada rakyat pada umumnya, khususnya yang di pinggiran sosial atau terpinggirkan secara politik pendidikan, ekonomi, kesehatan, hukum dan infrastruktur. Semua itu tentu harus mengalir, pantha rei - seperti kata Sang Bijak Yunani kuno, di dalam tata kelola kepentingan umum yang baik dan benar.

Di tengah rakyat demikialah mestinya Partai Golkar bertumbuh, berakar, berimbun dan berbuah. Pertanyaannya, "apakah Partai Golkar berpeluh atas arah aras politiknya kepada Ahok mantan politisi Golkar itu? Atau Golkar langsung memekarkan diri, membuat lapak politiknya di "Kebun Ahok" dengan segala rasa dan cerita di dalamnya?

Inilah pertanyaan etika politik bagi Partai Golkar. Dan sekaligus sebagai "warning" demokrasi agar Golkar tidak menampilkan diri sebagai parpol mencla-mencle, gemar melakukan "reklamasi AD/ART" di semua sudut strategis panggung percaturan politik nasional. Jika tidak, Golkar bisa menjadi tinggal kenangan, terhempas oleh dinamika politik nasional yang tidak hanya mendendangkan nasionalisme tetapi juga serentak mengimplementasikan patriotisme ( E Pluribus Unum);

Partai Golkar adalah salah satu "aset" politik dan demokrasi nasional. Betapapun demikian, Golkar tidak memiliki alasan untuk bermukim di kawasan arogansi institusional. Bukan pula pohon yang membusungkan dada dan dahan kepentingan, dan bukan menjadi onggokan karung berisi buah demokrasi di tepi jalan yang menunggu "kendaraan" politik yang lebih nyaman dan pasti menuju tujuan oligarki demokrasi.

Golkar tidak boleh cengeng, tetapi harus bangun ("Wake Up") dari romantisme historis kekuasaan dan beranjak ke taman demokrasi modern di mana terbangun etika politik, mental "fair play", dan kucuran keringat.

Untuk itu, mencuat pertanyaan, "Apakah Golkar konsisten mendukung Jokowi-JK hingga akhir periode pemerintahan Tahun 2019"?  Kalau publik "peduli" kepada Golkar, kepedulian itu tidak selalu identik dengan kecintaan publik kepada Golkar. Tetapi ibarat petugas ronda malam, publik "was-was" kepada partai warisan Orde Baru ini.

Apa yang (akan telah) dilakukan oleh Golkar untuk mengantisipasi kewaspadaan publik itu? Atau elit Golkar sudah tidak peduli akan nasib rakyat khususnya konstituennya karena yang terpentingan elit Golkar tetap legitim untuk menggenggam "Pohon Beringin" entah berbuah atau tumbang? Atau Golkar menjadi benalu demokrasi Republik Indonesia?

Sejatinya, sejak berdirinya, agar eksistensinya, konteks kelahirannya dan teleologisnya, Golkar adalah pembela setia Pancasila. Lagi dan lagi, pertanyaan kritisnya, "Apa atau bagaimana sikap Partai Golkar terhadap korupsi yang telah begitu lama mendera Pancasila"?

Sebab bukankah korupsi yang merasuki hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita bertentangan dengan Pancasila? Kenapa Golkar pasca MUNASLUB belum mendacing pemberantasan korupsi, sementara menjadi "Jokowers dan Ahokers" nampak begitu lihai gesit terang-terangan dan dengan amat cekatan "memotong berbagai prosesi rambu politik"? Karena Partai Golkar telah tercabut dari Ontologi Demokrasi?

Testimoni Ketua Umum Golkar Nantinya

Nama nama Ketua Umum Partai Golkar banyak dihembuskan di media. Argmentasi para pengamat pun kian mewarnai situasi, siapa yang layak jadi Ketua Umum Golkar nantinya. Saya menyakini kalau Golkar konsisten nantinya mengusung Jokowi 2019 mendatang, maka Ketua Umum yang digambarkan harus memiliki visi dan misi yang sama dalam pemerintahan.

Memang tidak seperti membalikkan tangan. Butuh konsep strategis, dan tentu saja aktor-aktor yang tampan berwibawa untuk mencapai efektifitasnya. Kesulitan itu juga tidak lepas dari kemajemukan bangsa, khususnya adat-istiadat budaya kita, termasuk di dalamnya ketidakmerataan pendidikan secara nasional sebagai peninggalan Orde Baru. Meski demikian, revolusi mental Presiden ke-7 kita ini tetap memiliki kemungkinan untuk menjadi "way of life" bangsa kita. Apalagi, kalau Presiden Jokowi memiliki "partner politik revolusi mental" yang handal revolusioner;

Umumnya adalah "pembicara" yang tidak jarang kurang tertib dalam disiplin tertib berkomunikasi. Silahkan anda amat atau perhatikan, seberapa sering model dan isi komunukasi para pejabat publik kita sarat dengan "argumentum ad populum atau misericordiam".

Kepiawaian para pemangku kepentingan umum, memiliki tiga poros Keadaban Publik (Masyarakat Warga atau "Civil Society", Pasar dan Pemerintah) yang merupakan subjek utama para pejabat publik akan semakin menggeliat dalam menginternalisasikan revolusi mental menjadi sikap, tindakan mereka.

Rakyat akan menanti Ketua Umum Golkar baru akan datang dengan menikmati refleksi sumir ini, kiranya Golkar selalu mengakomodir pandangan masyarakat luas umtuk kebaikan Golkar menghadap Pilpres maupun Pemilu akan datang.

 

 

Ikuti tulisan menarik Febrian Damian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler