x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ruang-ruang Inklusif

Pada prinsipnya, ruang inklusif diciptakan untuk menegakkan rasa empati sesuai takarannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Inklusifitas bbukan lagi “milik” mutlak para disabilitas. Kini mulai banyak komunitas yang menyediakan ruang inklusif untuk orang – orang dari kalangan umum. Komunitas yang mengatasnamakan kepedulian sosial ini, mengajak kalangan umum ikut berempati. Tidak sekedar membantu, tapi juga merasakan betapa terbatasnya dunia disabilitas melalui alat simulasi. Bentu ruang inklusif itu berbagai macam, mulai dari instalasi seni hingga penerapan kebijakan.

 

Beberapa komunitas mengggunakan instalasi sebagai sarana untuk memperkenalkan dunia Tunanetra kepada khalayak umum. Instalasi ini berupa ruang gelap yang dibuat satu spektrum dengan apa yang dilihat oleh Tunanetra. Misalnya, di bulan Mei, Komunitas inklusif yang menamakan dirinya Saae, pernah membuat instalasi ruang yang menggambarkan tingkat penglihatan Tunanetra. Mulai dari low vision ringan, low vision berat hingga kebutaan total.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Jenis instalasi seperti ini sudah diperkenalkan Singapura melalui  wahana yang dinamakan, I Can See in the Dark. Instalasi inklusif ini diperuntukkan bagi orang melihat merasakan pengalaman sebagai Tunanetra. Pengunjung diajak masuk ke dalam ruangan sangat gelap, tanpa dapat melihat apapun. Sampai di dalam, pengunjung diajak berjalan seolah  ke Marina Bay Sand dan Bugis Street. Pengunjung juga diajak mengenali perbedaan kontur tanah dan mencium buah-buahan , dalam keadaan tidak melihat. Demi menjaga penglihatan tetap gelap, pengunjung dilarang menggunakan kacamata,jam tangan, topi dan dilarang membawa ponsel.

 

Instalasi gelap ini kemudian juga diadaptasi sebagian oleh Think Web, agensi teknologi yang mengadakan acara inklusif bertema “Semua Bisa, Bisa Semua” di Gedung British Counsil, Ahad 22 Oktober 2017. Di dalam instalasi gelap itu, pengunjung dituntun Tunanetra untuk menelusuri tempat tempat tertentu. Di dalam ruang gelap, pengunjung umum diajak meraba uang kertas dan menggunakan teknologi komputer bicara. Di dalam instalasi inilah, kemampuan disabilitas bertukar dengan kalangan umum. Sebab, di dalam ruang gelap, Tunanetra yang malah menuntun dan memberikan informasi kepada pengunjung.

 

Selain instalasi, ruang inklusif diwujudkan pula dalam bentuk lukisan dan fotografi. Dalam acara itu juga dipamerkan lukisan tiga dimensi karya Hana Maknes, berupa replika lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci dan replika lukisan  Perang Diponegoro karya Raden Saleh. Keduua lukisan itu dibuat timbul agar Tunanetra dapat menikmati. Guna melengkapi informasi tersebut, lukisan disertai keterangan audio.

 

Dalam bidang fotografi, ruang inklusif pernah diwujudkan fotografer Tempo, Dhemas Reviyanto. Ia mmenggambarkan visualisasi dalam penglihatan Tunanetra. Ternyata, pandangan Tunanetra tidak selalu gelap. Ada Tunanetra yang melihat asap putih pekat dalam pandangannya. Ada pula yang melihat gambaran titik abu abu – seperti siaran televisi yang sudah habis. Bahkan ada Tunanetra yang melihat rona kecoklatan seperti seragam polisi.

 

Pada prinsipnya, ruang inklusif diciptakan untuk menegakkan rasa empati sesuai takarannya. Empati yang berlebihan bisa tergelincir menjadi rasa kasihan. Sedangkan, empati yang kurang bisa tergelincir menjadi perilaku diskriminatif. Bagaimanapun, disabilitas adalah mahluk Tuhan yang diciptakan dalam bentuk berbeda. Mereka tetap memiliki hak menjalani kehidupan yang sama dengan manusia pada umumnya. Meski harus menjalani dengan cara yang berbeda.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler