x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gie dan Aktivis Jaman Now

Apakah kini sosok aktivis seperti Gie masih cocok menjadi panutan aktivis jaman now?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gie. Sosok aktivis legendaris. Buku hariannya mungkin menjadi buku wajib dibaca bagi aktivis. Konsistensi itulah satu katu yang pantas dilekatkan pada sosok ini.

Di saat Soekarno berkuasa, ia termasuk aktivis mahasiswa yang ikut menumbangkannya. Ia pula termasuk aktivis yang mendorong lahirnya rejim Orde Baru. Ini mungkin salah satu 'dosa politik' seorang Gie. Ikut membidani lahirnya rejim korup dan menindas Orde Baru.

Namun, Gie sebenarnya berusaha menebus 'dosa politik'-nya itu. Ia rajin menulis di berbagai media untuk mengecam rejim Orde Baru yang sudah mulai korup dan menindas di saat awal-awal dilahirkannya. Ia mengecam pembunuhan massal ratusan ribu orang-orang yang dituduh komunis tanpa proses pengadilan. Kritiknya terhadap pembunuhan massal itu tergolong berani. Kritik itu bisa menggoyahkan pondasi rejim Orde Baru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gie juga mengecam kawan-kawan aktivisnya yang sibuk bersolek di parlemen bentukan Orde Baru, setelah Soekarno dijatuhkan. "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan," ungkapnya. Sebuah ungkapan yang menampar wajah aktivis salon, yang bermesraan dengan kekuasaan sementara penindasan masih terjadi di depan hidungnya.

Waktu berlalu. Rejim Orde Baru, yang ikut didorong dan kemudian dikritik Gie dengan tajam, telah tumbang di tahun 1998 silam. Soeharto sudah tidak lagi menjadi presiden. Kran demokrasi sudah dibuka. Pemilu langsung untuk memilih anggota parlemen, kepala daerah hingga presiden sudah dilakukan beberapa kali sejak rejim Orde Baru tumbang.

Nah, dengan kondisi seperti itu, apakah kini sosok aktivis seperti Gie masih cocok menjadi panutan aktivis jaman now?

Justru, sosok aktivis seperti Gie makin relevan. Bagaimana tidak, bila Gie dulu tajam mengecam kekuasaan, siapapun mereka, yang dinilai menindas, kini aktivis jaman now justru bungkam, bahkan sibuk membela tokoh junjungannya ketika mereka merugikan kepentingan publik. Sementara di sisi lain, menjadi sangat kritis terhadap tokoh yang bukan junjungannya, meskipun tokoh tersebut belum tentu merugikan kepentingan publik.

Lihatlah drama aktivis jaman now sekarang ini. Pada pilpres 2014, aktivis jaman now terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama mendukung Jokowi, kubu kedua mendukung Prabowo.

Sebagaian aktivis jaman now yang mendukung Jokowi, sekarang merapat ke istana. Mereka yang dulu kritis, tiba-tiba bungkam, bahkan sibuk membela junjungannya Jokowi, ketika ada kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan publik. 

Tak jauh berbeda dnegan aktivis jaman now di kubu kedua, yang mendukung Prabowo. Mereka juga bungkam, bahkan juga mati-matian membela junjungannya ketika muncul krtitik atau kasus yang menimpa junjungannya tersebut.

Drama aktivis jaman now berlanjut saat pilkada DKI. Sebagaian aktivis jaman now mendukung Ahok. Sebagian lagi mendukung Anies-Sandi. Bagi aktivis jaman now yang mendukung Ahok, setiap tindakan Ahok pasti benar. Mereka bungkam ketika Ahok menggusur warga miskin kota, membangun jalan raya untuk memfasilitasi pergerakan mobil pribadi dan juga mengijinkan reklamasi untuk kawasan komersial baru dan pemukiman mewah segelintir orang kaya.

Aktivis jaman now lainnya yang menjadi pemuja Anies juga melakukan hal yang sama. Mereka sibuk membela pujaannya ketika beberapa kebijakan Anies sebagai Gubernur DKI, setelah mengalahkan Ahok, mulai merugikan kepentingan publik.

Loyalitas aktivis jaman now terletak pada tokoh pujaannya, bukan pada kepentingan rakyat. Mereka akan bungkam meskipun penindasan terhadap rakyat ditampakan secara nyaris telanjang di depan matanya, jika yang melakukan penindasan itu adalah tokoh pujaannya.

Karakter sosok Gie dan aktivis jaman now seperti langit dan bumi. Lantas, perubahan macam apa yang bisa kita harapkan dari aktivis jaman now, yang loyalitasnya ada pada junjungannya bukan kepentingan rakyat?

sumber gambar: https://indonesiana.tempo.co/read/103271/2016/12/11/andywijaya070/gie-dan-resah-yang-tak-kunjung-usai

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB