x

Iklan

Hersubeno Arief

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nasib Jokowi, Golkar Pasca Novanto

Nova

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Hersubeno Arief

Seperti menghitung suara tokek, banyak orang menanti apakah Golkar akan menggelar Musyawarah Nasional Luar biasa (Munaslub), atau tidak?

Sejumlah pengamat dan kalangan internal Golkar termasuk tokoh senior  seperti Akbar Tanjung dan Jusuf Kalla,  mendorong partai berlambang pohon beringin tersebut segera menggelar Munaslub. Kondisi internal Golkar “sedikit”  bergolak  pasca Setya Novanto terkena OTT (Operasi Tabrak Tiang) dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi yang memahami tradisi  dan  kondisi internal  Golkar saat ini sangat mahfum,  melengserkan Setnov dan mendorong Munaslub tidak mudah, walaupun bukan berarti tidak mungkin. Setidaknya ada dua alasan yang menjadi penyebabnya.

Pertama, berkaitan dengan masa depan politik Jokowi terutama Pilpres 2019. Golkar adalah kartu  andalan sekaligus kartu truf  bagi mulus tidaknya Jokowi untuk maju ke periode kedua. Dengan perolehan suara sebanyak 14.75 persen pada Pileg 2014, maka Jokowi hanya perlu menggandeng satu partai lagi untuk bisa lolos dan memenuhi syarat presidential threshold 20 persen.

Tak lama setelah Golkar menyeberang dari Koalisi Merah  Putih (KMP) dan ketua umum diambil alih  Setnov,  sudah jauh-jauh hari dengan tegas menyatakan akan kembali mencalonkan Jokowi sebagai presiden. Disusul kemudian oleh Nasdem dan PPP.

Dengan tambahan suara Nasdem 6.72 persen, maka tiket capres 2019 sudah aman di tangan Jokowi. Sementara dukungan PPP masih belum pasti karena adanya dualisme kepemimpinan antara Djan Faridz dan Romahurmuzy. Karena itu Golkar pasti akan dipertahankan secara mati-matian oleh Jokowi, at all costs.

Dengan Golkar di tangan, selain aman,  Jokowi juga punya posisi tawar yang sangat kuat ketika berhadapan dengan Megawati c/q PDIP. Sebagai partai utama pengusung Jokowi, sekaligus sebagai pemilik suara terbesar, PDI (18.95 persen) hingga kini sama sekali belum menyuarakan akan kembali mengusung Jokowi.

Melihat gelagatnya, dan pilihan cagub di beberapa daerah terpenting seperti Jatim dan kemungkinan Jabar, PDIP bersimpang jalan dengan Jokowi. Tidak menutup kemungkinan Jokowi dan PDIP akan berpisah pada Pilpres 2019. Kalau mereka kembali bersatu, maka kalkulasi dan tawar menawarnya pasti sangat alot.

Jika ingin tetap didukung PDIP, maka kepentingan Megawati harus terakomodasi dengan baik, dengan menempatkan orang kepercayaannya menjadi cawapres Jokowi. Pilihannya bisa Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Puan Maharani, atau nama lain yang sangat dipercaya Megawati. Bila tidak, maka kemungkinan Megawati akan mengajukan  figur lain berhadapan dengan Jokowi.

Kedua, seperti dikatakan para senior Golkar antara lain mantan Sekjen Sarwono Kusuma Atmadja dan Akbar Tandjung, kondisi internal Golkar saat ini sudah berubah dan lebih berorientasi finansial dan transaksional.

Sarwono menyebutnya saat ini di Golkar tidak ada yang betah mendiskusikan gagasan, ide, tapi lebih senang bicara “siapa, dapat apa, dan berapa?”. Sementara dalam bahasa Akbar, orang-orang Golkar lebih tertarik bicara “gizi,” dibandingkan dengan misi.

Pernyataan Akbar mengacu pada pengalaman cendikiawan muslim Nurcholis Majid ketika mencoba mencari tiket dari Golkar untuk maju pada Pilpres 2004.

Untuk menuju Munaslub, maka tahapan yang harus ditempuh lumayan panjang dan harus full di-back up oleh berkarung-karung “gizi” yang menyehatkan. Akan lebih baik bila memenuhi syarat empat sehat, lima sempurna.  Tahapannya mulai dari Rapimnas, dan bila disetujui barulah bisa digelar Munaslub.

Saat ini Golkar memiliki 540 DPD II, 34 DPD I, dan 10 ormas yang mendirikan dan didirikan. 2/3 suara mereka harus dimenangkan bila ingin menggelar Munaslub. Bisa dibayangkan berapa banyak karung “gizi” yang harus disiapkan untuk mengamankan suara mereka.

Karena itu bagi yang tidak paham kultur Golkar akan menganggap situasinya sedang sangat genting dan akan porak poranda. Padahal kemelut Golkar justru menjadi “kabar baik” bagi pengurus DPD, karena inilah  “musim panen” yang dinantikan. Semakin banyak kemelut, semakin menyenangkan, karena bisa panen berkali-kali, hanya dalam satu musim.

Dari beberapa kali pemilu dan dilanda berbagai kemelut, suara Golkar masih tetap aman-aman saja. Paling hanya mengalami sedikit penurunan dan masih berada dalam tiga besar perolehan suara.

Kekuatan “gizi” meminjam istilah Akbar, atau “siapa dapat apa, dan berapa,” seperti kata Sarwono akan sangat menentukan, apakah Setnov diganti atau tidak?  Melihat kekuatan Setnov yang bisa tetap bertahan sebagai ketum, maupun sebagai ketua Golkar, menunjukkan siapa dia, dan kekuatan besar seperti apa yang berada di belakangnya.

Setnov akan kembali menempuh pra peradilan, dan bila kembali menang, maka dia bisa dengan gagah mengatakan I’ll be back, seperti Arnold Swarzenegger dalam fim Terminator.

Situasinya akan berubah bila Setnov kalah di praperadilan dan kemudian divonis bersalah dan masuk penjara. Munaslub akan lebih mudah didorong, dan Golkar akan menjadi perebutan antara kubu yang akan tetap ingin bersama Jokowi, atau menentang Jokowi.

Pertaruhan Jokowi

Secara sederhana kemelut di  di internal Golkar saat ini adalah pertempuran mengamankan tiket Jokowi.   Seorang tokoh senior Golkar secara bercanda menyebut Jokowi  adalah ketua umum Golkar sesungguhnya. Sementara Setnov adalah “ketua  harian.” 

Kalau Setnov diganti, maka ketua hariannya dipastikan haruslah tetap orang Jokowi. Ibarat sebuah kereta, kudanya boleh ganti, namun saisnya harus tetap sama untuk menjamin tujuannya tidak melenceng, atau berubah. Pertanyaannya seberapa kuat sesungguhnya Jokowi?

Secara kasat mata Jokowi sangat kuat. Sebagai presiden, Jokowi tentu saja seorang penguasa tunggal dan utama. Semua sumberdaya, baik politik maupun finansial berada di tangannya. Namun melihat praktik politik saat ini,  Jokowi belum terlalu berhasil melakukan konsolidasi kekuasaannya.

Ada tiga indikator yang bisa kita gunakan untuk mengukurnya.

Pertama, Secara eksternal Jokowi cukup berhasil dengan melakukan akusisi politik . Golkar, PPP, PAN, dan kemungkinan besar menyusul Demokrat --bila terjadi reshufle kabinet—sudah  dalam genggamannya. Dia berhasil memporakporandakan KMP dalam barisan oposisi dan menyisakan Gerindra dan PKS sebagai  sisa “Laskar Pajang.”

Sayangnya secara internal Jokowi tampaknya belum cukup berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan. Dia masih berada dalam bayang-bayang  Megawati sebagai pemegang otoritas PDIP. Di lingkungan pemerintahan juga banyak orang bertanya-tanya siapa presiden sesungguhnya. Apakah Jokowi, Luhut, atau siapa? Terlalu banyak Bos. Too many chief, not enough Indians.

Kedua, dijadikannya Setnov sebagai tersangka oleh KPK menunjukkan bahwa lembaga anti rasuah itu tidak sepenuhnya berada dalam kontrol Jokowi. Ada kekuatan besar lain yang bermain dan tidak berada di bawah kendali Jokowi.

Sebagai sekondan, dan sebagai pemegang kartu truf, seharusnya Setnov bisa dilindungi oleh Jokowi. Alih-alih melakukan manuver politik, Jokowi  malah memerintahkan Setnov untuk mengikuti dan mematuhi proses hukum ketika Setnov meminta perlindungannya.

Ketiga, berbagai survei menunjukkan sebagai incumbent yang didukung oleh proses pencitraan tiada henti (permanent campaign), elektabilitas Jokowi sangat rendah. Angkanya berkisar diantara 30-an persen, dan paling tinggi 40 persen. Itupun diduga sejumlah lembaga survei ketika mempublikasikan temuannya memilih angka margin of error dalam batas yang tinggi, untuk mendongkrak elektabilitas Jokowi.  Ini jelas lampu merah telah menyala.

Kabar baiknya bagi Jokowi, sampai saat ini belum ada figur lain dengan elektabilitas tinggi yang berpotensi menyainginya. Prabowo yang dianggap sebagai rival abadi Jokowi, elektabilitasnya stagnan dan cenderung menurun.

Gatot Nurmantyo yang digadang-gadang oleh sebagian umat Islam bisa menjadi lawan tanding yang sepadan bagi Jokowi,  sudah mengibarkan bendera putih sebelum pertempuran dimulai. Dalam Rakernas IV  Partai Nasdem Gatot malah menyampaikan “mimpi buruk” Indonesia seandainya Jokowi tidak terpilih untuk kedua kalinya.

Tidak jelas apakah pernyataan Gatot serius, atau hanya strategi karena dia akan segera memasuki masa pensiun. Apakah Gatot  sedang  “bertakiah,” meminjam strategi orang Syiah yang sedang menyembunyikan jati dirinya, ketika masih lemah? Atau  memang itulah jati dirinya yang sesungguhnya? 

Tidak adanya nama lain di luar Jokowi dan Prabowo, bukan berarti posisi Jokowi cukup aman. Dia masih harus berakrobat untuk terus mempertahankan elektabilitasnya, agar tidak turun lebih rendah.

Melihat indikator ekonomi nasional yang terus melemah, dan bayang-bayang kemungkinan mangkraknya berbagai program infrastruktur yang menjadi andalannya, kemungkinan kian tergerusnya elektabilitas Jokowi sangat besar. Pada saat itulah publik dan parpol akan mulai mencari figur lain sebagai alternatif.

Belajar dari kasus Pilkada DKI 2017 siapa yang berani menduga, bahkan berandai-andai Ahok sampai kalah. Elektabilitas Ahok selalu di atas 50 persen. Tingkat kepuasan publiknya juga sangat tinggi sekitar 70 persen. Ahok toh runtuh juga.  Muncul figur yang tidak pernah diduga, Anies Baswedan.

Apakah skenario Pilkada DKI 2017 akan terulang lagi? Tidak pernah ada yang bisa menduga. There’s nothing new under the Sun

25/11/17

 

 

Ikuti tulisan menarik Hersubeno Arief lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler