x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Transformasi, Bukan Mbagusi

Kepemimpinan yang ugal-ugalan menyebabkan konsumen lari, puluhan milyar hilang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Leadership Growth: Truth Doesn't Have a Side

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mohamad Cholid

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Humility is a grasp of the distance between us and the stars, yet having the feeling that we’re part of the stars. – Jim Rohn.

 

Mike Webster meninggal mendadak, di luar dugaan semua orang di sekitarnya. Sebelumnya Mike Webster dikenal sebagai pemain penting di Pittsburg Steelers, tim para pemain profesional American Football berbasis di Pittsburg, Pennsylvania. Mereka berkompetisi dalam NFL (National Football League). 

Bertahun-tahun Mike berjuang menghadapi cognitive and intellectual impairment, kepapaan, mood disorder, penyalahgunaan obat, tekanan batin, dan godaan untuk bunuh diri.

Berdasarkan autopsi awal, otak Mike kelihatan normal. Dokter Bennet Omalu, ahli patologi forensik di Pusat Coroner Allegheny County, Pittsburg, yang melakukan  autopsi, tidak menyerah. Dengan ongkos dari tabungan pribadi, Dokter Omalu melakukan tissue analysis, berdasarkan kecurigaannya kemungkinan Mike mengalami dementia pugilistica, yaitu dimensia yang diakibatkan oleh benturan berkali-kali seperti yang dialami para petinju.

Kemudian terungkap bahwa Mike Webster terkena chronic traumatic encephalopathy (CTE), gegar otak kronis.     

Penemuan fakta-fakta yang merenggut Mike Webster dari kehidupan normal dan menyebabkannya menderita bertahun-tahun, sebelum akhirnya meninggal, merupakan hadiah penting bagi Dokter Omalu dan dunia kedokteran olah raga. Dokter Omalu, lahir di Idemili Selatan, Nigeria, kemudian dikenal sebagai penemu CTE. Itu terjadi tahun 2002.

“Gift yang saya terima dari Mike Webster ternyata membahayakan,“ kata Dokter Omalu, dalam pidato di depan para pemain football, mantan pemain, dan keluarga mereka. Membahayakan karena penelitian yang berlanjut terhadap pemain-pemain football lainnya yang meninggal, diantaranya karena bunuh diri, dan indikasi penyakit lainnya karena CTE, mengancam kepentingan bisnis milyaran dolar. Penemuan Dolkter Omalu dibantah dan dilawan dengan keras oleh pihak NFL.  

Cerita tersebut dapat kita lihat dalam film Concussion (2015), berdasarkan kisah nyata tentang Dokter Omalu yang berhasil mengungkapkan fakta baru nasib pemain football dan menghadapi perlawanan NFL, yang waktu itu ngotot, didukung dokter ahli rematik, bahwa para pemain football otaknya baik-baik saja. Di film Concussion, Dokter Omalu diperankan Will Smith.

Perjuangan menegakkan ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah menghadapi arogansi NFL sampai kemudian NFL mengakui di hadapan kongres relevansi antara football dan CTE, awalnya ditulis wartawan Jeanne Marie Laskas di majalah GQ 2009. Cerita ini kemudian dia bukukan dengan judul Concussion (Penguin Random House, 2015).

Dokter Omalu belakangan juga menulis buku Truth Doesn't Have a Side: My Alarming Discovery about the Danger of Contact Sports, diterbitkan Harper Collins Agustus 2017.

Dokter Omalu, Master of Public Health (MPH) University of Pittsburg Graduate School of Public Health  (2004) dan MBA Tepper School of Business at Carnegie Mellon University (2008), menegaskan, dirinya tidak bermaksud memusuhi NFL. “Memang seharusnya tidak begitu,” katanya. Ini pasar bebas. Tugas NFL sebagai korporasi adalah menghasilkan uang – dalam hal ini dari bisnis football, olah raga yang di kalangan masyarakat AS sudah menjadi semacam agama kedua.  

The issue is parents,” kata Dokter Omalu. Sepantasnya para orang tua bertanya kepada diri mereka sebelum membiarkan anak-anak ikut football: "Do I love football more than I love my child?"

NFL menghadapi kenyataan tidak menyenangkan. Riset-riset lain tentang CTE akibat football dilakukan juga oleh lembaga-lembaga berbeda. Mereka menemukan fakta sejumlah pemain yang depressed, terdorong bunuh diri, dan efek lain akibat benturan kumulatif di kepala.

Pilihan NFL adalah melakukan transformasi. “America is in love with football but is struggling with its truth,” kata Dokter Omalu.

Organisasi-organisasi bisnis, juga institusi non-bisnis, yang sudah berhasil mempengaruhi publik dengan mendalam selama puluhan tahun, seperti NFL itu, cenderung menolak realitas baru atau fakta-fakta tidak menyenangkan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi jika fakta itu oleh para bos organisasi dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan mereka.

Pilihannya adalah melakukan transformasi atau menjadi tidak relevant dengan kenyataan sekarang.

Dalam dunia bisnis, sebagaimana banyak orang sudah menuliskannya, Kodak, Nokia, Black Berry, dan lainnya tenggelam akibat menganggap enteng perubahan lanskap bisnis, pentingnya perilaku kepemimpinan yang lebih efektif, inovasi business model, dan perilaku pasar. Mereka kemudian ditinggalkan konsumen.  

Merasa pernah sukses atau merasa menjadi bagian dari perusahaan besar dengan reputasi bagus lantas bersikap arogan di pasar, di hadapan konsumen, akibatnya juga dapat ditinggalkan pembeli.

Fakta tersebut belum lama menimpa sebuah proyek properti di Jawa, dimana sekian puluh orang yang sudah bayar panjar ramai-ramai mundur setelah mereka ditantang oleh pengelola baru proyek tersebut, jika tidak yakin uang akan dikembalikan 100%. Kalau di Yogya, perilaku semacan itu cenderung direspon begini: “Nyak, mbagusi, wis tinggal wae ….” ("Kok berlagu amat, tinggalin saja yuk..."). Jika satu unit seharga Rp 1 M, maka sekian puluh milyar revenue yang sudah di tangan terbang akibat kepemimpinan yang arogan, ugal-ugalan.

Arogansi, menolak perubahan, menutup mata terhadap metode-metode baru yang tervalidasi dan proven meningkatkan kinerja organisasi, plus menyepelekan budaya lokal tempat organisasi beroperasi, akibatnya bisa fatal. Merugikan organisasi.

Manusia yang takut menghadapi dunia nyata cenderung menutup diri, menolak perspektif baru untuk kegiatan-kegiatannya dalam bisnis dan kehidupan, merasa nyaman hidup dalam cangkang pikirannya sendiri. Mereka menganggap cangkang pikirannya itu merupakan satu-satunya tempat berpijak, tidak perlu ditata ulang, kendati menghadapi dunia yang terus berubah.

Rasa nyaman karena kedudukan, karena pencapaian kemaren, membuat manusia jadi pengecut dan tidak relevant lagi dengan kenyataan hari ini.

Maka kelihatannya selalu nyambung untuk mengingat kata-kata Michael Gerber, pelatih bisnis yang sudah membimbing puluhan ribu perusahaan di pelbagai negara dan menulis buku The E Myth Revisited dan E- Mastery.

Kata Michael Gerber, kebanyakan bisnis yang gagal ternyata bukan karena para pengelolanya kurang memahami keuangan, marketing, manajemen, dan operasional. Tapi karena mereka menghabiskan energi dan waktu untuk mempertahankan hal-hal yang mereka pikir sudah mereka ketahui. Sebaliknya, orang-orang yang exceptionally good dalam bisnis adalah mereka yang selalu merasa tak terpuaskan, ingin tahu lebih banyak lagi.

Mereka yang exceptionally good tersebut biasanya selalu bersikap rendah hati, mengakui keterbatasan diri, menyadari bahwa dimensi kehidupan dan aktivitas di dalamnya, termasuk kegiatan bisnis, berlapis-lapis. Dari satu tabir fakta ke tabir berikutnya. Mereka bersedia menerima feedback dan feedforward stakeholders demi kemajuan bersama.

Mereka berani keluar dari cangkang pikirannya sendiri, juga siap membangun diri untuk sigap menyeberang dari satu dimensi kenyataan menuju ke realitas baru.

Para eksekutif dan leaders yang efektif, serta para pengelola usaha yang sukses berkepanjangan, lazimnya juga sangat disiplin mengimplementasikan hasil pembelajaran dari mitra dan pembelajaran bersama coach-nya.  

Berani, rendah hati, dan disiplin sebagaimana tersebut diatas merupakan tiga prinsip dasar program pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC).

Ini penting untuk membiasakan para eksekutif dan leaders menggunakan perspektif berbeda dalam melihat konteks eksistensinya di dunia. Selalu melakukan cek ulang, apakah yang sudah dilakukan kemaren tetap relevan untuk hari ini. Apakah yang sukses kita lakukan hari ini masih seratus persen fit untuk esok hari?

Di sini pula pentingnya setiap organisasi memiliki core ideology atau life purpose, sebagai gyroscope menjaga keseimbangan dan konsistensi mencapai tujuan. Sementara strategi dan taktik, jurus-jurus kepemimpinan dan manajemen, dapat diubah dan diasah menjadi lebih efektif.

Sampai saat ini banyak eksekutif dan pengelola organisasi masih berspekulasi untuk mengubah keadaan, dunia yang problematis, chaos. Jika mereka gagal, faktor-faktor di luar diri yang dituding sebagai penyebabnya (blaming). Atau mencari-cari alasan (excuses) dan menyangkal fakta. Sikap dan perilaku seperti itu menempatkan diri sebagai korban keadaan.

Jika kita bersikap sebagai pemenang, maka tantangan utama adalah diri sendiri, bagaimana memiliki ownership, menjadi lebih engaged, terhadap organisasi. Accountable dan responsible atas semua proses yang dipilih bersama.

Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching melatih dan membiasakan kita semua, termasuk para stakeholders, menjadi lebih efektif mengembangkan diri dan organisasi, dengan perspektif sebagai pemenang. Agar tetap relevan, day in day out.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Consulting.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(www.nextstageconsulting.co.id)   

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB