x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Polarisasi Parpol Menuju Pilpres 2019

Pendafataran Capres-Cawapres pada 4 – 10 Agustus 2018 (sekitar 9 bulan dari sekarang), sementara pencoblosan Pilpres-Pileg akan dilaksanakan 17 April 2019.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilu 2019 akan diikuti 14 Parpol, yang terdiri atas 10 parpol yang kini punya kursi di DPR (PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra, PKB, Nasdem, PAN, PKS, PPP, Hanura) plus 4 Parpol yang lolos verifikasi (PBB, PKPI, PERINDO, PSI). Dan sesuai Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan Pemilu 2019, pendafataran Capres-Cawapres pada 4 – 10 Agustus 2018 (sekitar 9 bulan dari sekarang), sementara pencoblosan Pilpres dan Pileg akan dilaksanakan pada 17 April 2019.

Dan di atas kertas, posisi Jokowi memang diuntungkan sebagai petahana. Lima Parpol sudah menyatakan akan mengusung Jokowi sebagai Capres 2019: PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura dan PPP. Jokowi konon sedang mematangkan Cawapresnya.

Sementara kubu Prabowo Subianto tampaknya masih sibuk tawar-menawar posisi dengan Parpol calon koalisinya. Besar kemungkinan Prabowo akan tetap diusung Gerindra bersama PKS, PAN, PBB. Perdebatannya terkesan seru dan alot tentang siapa Cawapres yang akan mendampingi Prabowo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kubu lain yang bisa muncul, dan pasti sedang mengkalkulasi semua alternatif, adalah koalisi Demokrat yang diasumsikan akan didukung PKB, PKPI, PERINDO, PSI. Hingga saat ini, kubu Demokrat belum terbaca akan menjagokan siapa untuk maju sebagai Capres-Cawapresnya. Ada kemungkinan kubu Demokrat akan menjagokan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tapi kalau AHY dipaksakan maju sebagai Capres, dia berpotensi mengulang kegagalannya dalam Pilgub DKI 2017. Tapi kemungkinan lain sama pahitnya: jika AHY maju sebagai Cawapres, hampir mustahil akan merapat ke kubu Jokowi. Sementara merapat ke Prabowo, mungkin akan menghadapi resistensi dari anggota koalisi Gerindra.

Terkait itu, ada beberapa catatan sebagai berikut:

Pertama, seperti halnya dalam Pilpres 2014, jumlah pasangan Capres-Cawapres pada Pemilu 2019, paling banyak tiga pasangan calon. Buat saya, lebih baik kalau hanya dua pasangan, biar proses pemilihan berlangsung cepat: satu putaran saja.

Kedua, karana Pemilu 2019 akan memparalelkan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), maka polarisasi Parpol tidak sepenuhnya bisa dijadikan acuan untuk menganalisis keterkaitan antara perolehan suara Parpol dengan jumlah suara pasangan Capres-Cawapres.

Sebab, mungkin akan banyak pemilih tetap memilih Parpol dengan pertimbangan ideologinya, namun pada saat yang sama, menggunakan pertimbangan pragmatis ketika memilih pasangan Capres-Cawapres. Harus diingat, pemilihan berlangsung simultan. Seorang pendukung fanatis PDIP bisa saja tetap memilih PDIP (untuk Pileg), namun memilih Prabowo (untuk Pilpres) atau sebaliknya.

Ketiga, Parpol-parpol pendukung di setiap koalisi hanya berpeluang bernegosiasi untuk figur Cawapres. Sebab posisi Capres sudah dikavling. Golkar misalnya yang mendukung Jokowi, hanya bisa nego soal Cawapres. Begitu pula Nasdem, Hanura dan PPP. Hal yang sama akan terjadi di Koalisi Gerindra dan Koalisi Demokrat.

Dengan kata lain, pertarungan dan negosiasi antar Parpol di setiap kubu sesungguhnya berada pada Cawapresnya. Sebab Cawapres bisa menjadi pendulang suara tambahan, tapi juga berpotensi menjadi penyebab kekalahan. Sebagai contoh, sebuah survei mengunggulkan Jokowi sebagai Capres 2019. Tapi ketika Jokowi dipasangkan dengan Puan Maharani, suaranya langsung melorot.

Keempat, beberapa nama kepala daerah (gubernur, walikota, bupati) atau tokoh lain, yang masuk bursa Cawapres, agar bisa dipinang, memang harus berjuang di dua lini sekaligus: kepada Capres dan juga kepada Parpol pengusungnya. Dan ini cukup berat. Sebab boleh jadi Cawapres pilihan Jokowi, misalnya, justru mendapatkan resistensi di kalangan PDIP. Apalagi, restu Ibu Mega adalah semacam palu godam di PDIP. Demikian pula di kubu Probowo.

Terkait itu, di atas kertas, Ibu Mega mungkin merasa cukup aman untuk Pilpres 2019. Karena itu, bidikan ibu Mega mungkin lebih mengarah ke Pilpres 2024, ketika Jokowi tak lagi berhak maju sebagai Capres, yang berarti wakilnya akan memiliki peluang besar. Artinya, bagi Ibu Mega, pilihan Cawapres Jokowi di Pilpres 2019, harus diproyeksikan tetap mewakili kepentingan PDIP di Pilpres 2024.

Simulasi: katakanlah Jokowi memilih Tuangguru Bajang (Gubernur NTB) sebagai Cawapres dan menang di 2019. Berarti peluang TGB untuk maju sebagai Capres pada 2024 menjadi sangat besar. Apakah TGB akan tetap menimbang kepentingan PDIP di Pilpres 2024? No body knows.

Karena itu pula hampir mustahil Ibu Mega merestui AHY untuk mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019. Sebab jika itu dilakukan, berarti “bunuh diri PDIP” di Pilpres 2024, karena membuka peluang lebar bagi AHY (baca: kubu Demokrat atau SBY) pada Pilpres 2024.

Kelima, seperti Pemilu sebelumnya, pasangan Capres-Cawapres yang mendominasi suara di 3 provinsi lumbung suara di Pulau Jawa (Jabar, Jateng, Jatim), dengan sendirinya cenderung akan menang. Artinya, Gubernur di tiga provinsi tersebut yang maju sebagai Cawapres juga akan turut memperbesar peluang menang.

Karena itu, dari beberapa Gubernur yang masuk bursa Cawapres, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan berpeluang besar dipinang sebagai Cawapres. Sementara Gubernur Jateng (Ganjar Pranowo) kayaknya di luar radar survei Cawapres. Begitu pula Gubernur Jatim (Saifullah Jusuf). Apalagi Jatim dan Jateng akan melaksanakan Pilgub pada 27 Juni 2018. Artinya Gubernur Jatim dan Jateng yang terpilih sekalipun, akan kehilangan momentum dipinang sebagai Cawapres.

Cuma pemilih di Jatim dan Jateng, biasanya relatif konsisten, siapapun gubernurnya. Jateng akan dikuasai PDIP. Sementara Jatim akan tetap didominasi PKB bersama NU. Masalahnya, hingga saat ini, sikap politik PKB terkait Pilpres belum terbaca. Bisa saja PKB tetap mendukung Jokowi seperti pada Pilpres 2014, atau PKB akan berkoalisi dengan Demokrat. Jawabannya ada di kepala di Ketum PBB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

Keenam,  semua survei tentang pasangan Capres-Cawapres hanya berguna setelah pasangan diajukan ke KPU (pada 4 – 10 Agustus 2018). Artinya, setiap survei Pilpres sebelum pendaftaran ke KPU, harus diperlakukan sebagai simulasi saja, dan karena itu, kurang valid dijadikan acuan memprediksi pemenang pertarungan.

Syarifuddin Abdullah | 29 Nopember 2017 / 11 Rabiul-awal 1439H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler